Travelog

Boekoe Theotraphi Jogja: Harapan Kebangkitan Toko Buku Alternatif?

Belakangan ini kita terkejut dengan tutupnya toko buku Gunung Agung yang telah berjaya selama hampir 70 tahun. Banyak pihak yang cukup menyayangkan keputusan tersebut. Beberapa pihak turut menilai adanya senja kala bagi ruang hidup literasi di negeri ini.

Alih-alih menilai minat baca masyarakat yang rendah, sejumlah pihak menganggap penutupan toko legendaris tersebut lebih karena pengelolaan yang kurang optimal. Tata kelola tersebut berhubungan dengan adanya peralihan antara konsumsi buku masyarakat dan industri buku yang terjadi hari ini.

Sejalan dengan itu, saya tertarik untuk menelusuri kembali seberapa relevan kehadiran toko buku sekarang. Mengingat arus teknologi dan informasi yang kian deras, membuat masyarakat kita rasanya tidak begitu perlu jika sekadar membaca buku.

Menyambangi Toko Buku Alternatif

Saya cukup bersyukur. Meskipun banyak toko buku besar perlahan menutup gerainya, akan tetapi tidak sedikit pula toko-toko buku alternatif yang bermunculan. Toko buku alternatif ini setidaknya dapat mempertemukan publik dengan buku, serta memberi ruang bagi siapa pun untuk terbiasa dengan membaca.

Salah satu toko tersebut mudah saya jumpai di pusat Kota Jogja, tepatnya Boekoe Theotraphi di Jl. Gendeng Centel No. 324, Muja Muju, Umbulharjo, Yogyakarta. Berbeda dengan toko buku besar yang belakangan mulai menunjukan gejala kematian, toko satu ini justru membawa konsep kecil layaknya berada di rumah sendiri.

Konsep tersebut yang akan membuat siapa saja, termasuk saya, merasa begitu dekat dengan buku. Etalase buku yang mereka tampilkan tampak begitu mudah terjangkau oleh mata, sehingga saya tak perlu mengeluarkan banyak energi untuk sekadar mencari buku. Meskipun demikian, judul-judul buku yang mereka tawarkan cukup inklusif bagi para penerbit independen yang juga sedang merintis usahanya.

Selain karena tempatnya yang cukup sederhana dan kecil, di toko ini saya merasa mudah merasa dekat dengan orang-orang yang berada di toko ini. Tak terkecuali oleh pemiliknya sendiri, Ahmad. Saya kerap menjumpainya sedang menunggui toko sembari sesekali mengajak ngobrol pengunjung yang mampir. Kedekatan tersebut menjadikan tempat ini tidak beroperasi dengan metode SOP yang ketat, melainkan membuat pengunjungnya seperti sedang menyambangi rumah sendiri.

Selain menjual buku, Boekoe Theotraphi juga menyediakan beberapa buku sehingga siapa pun dapat membaca secara gratis. Alhasil kesempatan tersebut tidak saya sia-siakan. Setidaknya sebelum menyesal membeli buku, saya bisa membacanya terlebih dahulu di perpustakaan. Jika sudah cocok dan sesuai, barulah saya membeli buku tersebut.

Boekoe Theotraphi Jogja: Harapan Kebangkitan Toko Buku Alternatif?
Kedai kopi Renaisansi yang letaknya seatap dengan Boekoe Theotraphi/Mohamad Ichsanudin Adnan

Tak berhenti di situ. Boekoe Theotraphi juga menyediakan sebuah kedai yang dapat dipesan sewaktu-waktu. Kedai bernama Renaisansi Coffee tersebut telah menyediakan berbagai menu makanan dan minuman yang dapat pengunjung pilih untuk menemani waktu membaca di bagian teras. Meskipun teras yang tersedia masih terlalu kecil, tetapi proses kedekatan antara saya dan pengunjung lain, bahkan pemiliknya sendiri, selama membaca dan ngopi di kedai itu ternyata membawa pengalaman tersendiri yang tak mudah terlupakan.

Di bagian depan beranda, terpampang dengan cukup jelas sebuah kalimat “Tidak Menjual Buku, Tapi Menyebarkan Ilmu”. Selama perbincangan saya dengan Ahmad, saya menangkap adanya semangat di balik rangkaian kata tersebut. Semangat tersebut menegaskan ulang eksistensi dirinya hari ini, serta cara pandang baru untuk melihat toko buku bukan sekadar aktivitas memutar kapital. Lebih dari itu, toko buku hadir untuk menjembatani sumber pengetahuan dengan pembacanya.

Maka tak heran Boekoe Theotraphi menginisiasi banyak forum publik yang berlangsung secara rutin. Forum tersebut di antaranya berupa diskusi, bedah buku, rangkaian kelas, hingga aksi-aksi panggung yang telah mewadahi banyak seniman hingga penyair muda di Kota Jogja.

Bangkitnya Toko Buku

Berbeda dengan toko buku konvensional yang perlahan karam karena hanya menyediakan buku kepada masyarakat, dan berjalan sekadar meraup untung sebesar-besarnya. Boekoe Theotraphi berupaya menerapkan model strategi yang tepat guna melihat bergesernya tren konsumsi buku oleh masyarakat hari ini.

Toko buku tidak hanya menjadi etalase mati yang siapa pun harus mengeluarkan uang untuk bisa membacanya. Toko buku mesti mengupayakan tersebarnya pengetahuan dan menyediakan wadah kontak antara sumber ilmu dengan pembacanya. 

Selain itu hadirnya forum-forum publik di Boekoe Theotraphi sejatinya turut menghidupkan kembali kebutuhan sejumlah komunitas kecil di Jogja akan tersedianya ruang. Kebutuhan ini ditopang dengan pengetahuan yang dapat diakses melalui perpustakaan mereka, rasa betah ketika menyeruput kopi, kehangatan ketika duduk dan berbincang bersama tanpa mengenal batas gender dan ras, hingga ruang aktualisasi untuk siapa pun mempresentasikan gagasannya.

Selama menyambangi Boekoe Theotraphi, sejatinya saya menemukan kembali kebangkitan toko buku yang akan terus-menerus menghidupi iklim literasi kita di masa mendatang. Strategi semacam inilah yang kiranya perlu untuk dihidupi secara berkelanjutan. Sehingga toko buku bukan lagi mati karena alasan minat baca, melainkan gagal melihat eksistensi dirinya sendiri dengan tren yang berkembang di masyarakat saat ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Mohamad Ichsanudin Adnan

Kerap dipanggil sebagai Suden, kini tinggal di Yoyakarta dan sedang menempuh pendidikan panjangnya di menfess Twitter.

Kerap dipanggil sebagai Suden, kini tinggal di Yoyakarta dan sedang menempuh pendidikan panjangnya di menfess Twitter.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Food & Roots: Membaca Problem Pangan Kita Hari Ini