Travelog

Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau

Bersama doa yang intens dan usaha-usaha untuk mewujudkan acara yang menyenangkan bersama anak-anak di Pulau Sarappo Caddi, Kabupaten Pangkep, saya dan sejumlah teman di Sikola Cendekia Pesisir menyibukkan diri dalam program Ramadan. Kami mengadakan aneka lomba, pembagian donasi yang berhasil kami kumpulkan, serta bermain dan belajar selama tiga hari kegiatan mulai Jumat sampai Minggu. Beberapa teman yang tidak begitu sibuk memutuskan berangkat lebih awal, sebab pulau menyimpan banyak sekali kegiatan menyenangkan yang jarang ditemui di kota. 

Sarappo Caddi adalah satu dari ratusan pulau di gugusan Kepulauan Spermonde. Pulau ini terletak di Kelurahan Mattiro Langi, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Dinamakan Sarappo Caddi, sebab pulau ini dahulu banyak ditumbuhi pohon pinang atau sarappo dalam bahasa Makassar. Sedangkan caddi berarti kecil, merujuk pada pulau yang berseberangan dengan pulau ini, yakni Sarappo Lompo.  Meskipun terletak di Kabupaten Pangkep, tetapi banyak aktivitas transportasi dari pulau ini bersandar di sepanjang kanal dekat Pelabuhan Paotere, Kota Makassar. 

Kanal ini letaknya sangat dekat dari Pelabuhan Paotere. Bedanya, kanal ini untuk kapal-kapal kecil dari berbagai pulau. Di sini cukup kotor. Ada banyak sampah dan jalannya sempit. Kita bisa menemukan pabrik es balok di ujung lorong. Es balok tersebut biasanya merupakan pesanan nelayan yang rutin diangkut dari kota ke pulau oleh kapal-kapal kecil ini. 

Tempat teraman menitipkan kendaraan bermotor kami adalah di dalam Pelabuhan Paotere, tepat di samping surau. Di sini seorang bapak setia menjaga motor dan helm-helm pengunjung. Untuk tarif parkir motor sebesar Rp10.000 selama 2—3 hari. Kami menaiki kapal milik warga Sarappo Caddi dengan membayar Rp25.000 per orang. Kapal ini bersedia mengantar kami melintasi laut Makassar selama satu jam lebih dari Kanal Paotere sampai ke Sarappo Caddi, tempat kami melakukan beragam aktivitas menyenangkan bersama warga pulau. 

Perjalanan laut berlangsung mulus, meskipun kapal kami tergolong cukup kecil. Kami menghabiskan waktu lebih lama dari perkiraan dan baru tiba di pulau saat lomba azan anak-anak hampir berakhir. Namun, tak mengapa. Toh kedatangan kami membawa misi tertentu, di antaranya membantu persiapan buka puasa bersama dan malam puncak dari rangkaian kegiatan Ramadan di Pulau Sarappo Caddi.

Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau
Seorang relawan bermain bersama anak pulau di lepas pantai/Nawa Jamil

Abrasi di Pulau Sarappo Caddi

Pulau ini tidaklah asing. Saya telah mengunjungi Sarappo Caddi sejak 2019. Perjalanan ini merupakan kali ketiga. Selain itu saya juga mengenal seorang kawan yang lahir dan besar di pulau ini. Namun, sama seperti sebagian besar pulau kecil yang bertarung dengan isu lingkungan, Sarappo Caddi pun bernasib sama.

Salah satu bagian pulau yang menjorok keluar menarik perhatian saya saat berlabuh di dermaga. Abrasi mengikis bagian pulau tersebut, menyisakan bangunan rumah kosong yang kehilangan sedikit pondasinya. Abrasi mengancam keberadaan banyak pulau-pulau kecil di Kepulauan Spermonde, apalagi melihat bagaimana permukaan air semakin menaik dan cuaca ekstrem yang kerap terjadi belakangan. 

Pulau ini tergolong padat. Sarappo Caddi (kecil) hanya memiliki luas sekitar 33.000 meter persegi, dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000 orang. Kami melewati jalan setapak yang tergenang, sehingga kami harus memutar. Mencari jalan alternatif yang tidak terendam. Faktanya kondisi ini tak hanya terjadi di Pulau Sarappo Caddi, melainkan juga di beberapa pulau lain. Parahnya cuaca ekstrem akhir tahun kemarin menyebabkan kejadian banjir rob di beberapa pulau, termasuk Sarappo Caddi. 

Keseruan Lomba bersama Anak-anak Sarappo Caddi

Setiap kali saya dan teman-teman ke pulau, kami selalu pulang membawa kesenangan berlipat ganda. Sama seperti momen mengunjungi Sarappo Caddi di bulan Ramadan. Perlombaan dimulai sejak hari Kamis sampai Sabtu. Kemudian lanjut buka puasa bersama dan pembagian hadiah pada Sabtu malam sebelum kembali ke daratan Kota Makassar pada Minggu pagi. 

Bertahun-tahun ke belakang, saya sering berpikir dunia tidak adil pada sebagian orang. Beberapa kelompok tidak memiliki banyak pilihan dalam hidup, seperti kelahiran mereka beriringan dengan batasan-batasan pencapaian—dan saya cukup sering patah semangat dalam beberapa kesempatan. Namun, menghabiskan banyak masa muda mengelilingi pulau-pulau dan bertemu banyak orang, membuat saya tersadar. Mungkin saja selama ini saya terlalu pesimis dan memaksakan sepatu sendiri pada orang lain—bisa saja bahagia mereka berbeda. Di pulau ini, di tengah air payau, listrik sepanjang 12 jam sehari, dan tanpa motor untuk berkeliling; senyum anak-anaknya tidak kalah lebar dari anak-anak kota. Di sini, laut menjadi taman bermain terbaik dan di atas pasir anak-anak berkreasi tanpa batas. Bermain di bawah terik matahari tanpa memedulikan kulit yang makin menghitam. 

Kehadiran kakak-kakak dari Makassar selalu mereka tunggu-tunggu. Biasanya kami mengajar di dalam kelas, menggelar tikar penuh buku-buku anak, lalu bermain di pantai saat sore. Namun, kali ini kami membawa semangat perlombaan bernuansa Ramadan, seperti lomba praktik salat, hafalan surah pendek, sambung ayat Al-Qur’an, dan hafalan doa sehari-hari. Anak-anak mengikuti lomba dengan semangat. Saat kami datang, lantunan anak-anak yang tengah menghafal surah pendek terdengar dari corong suara surau, diikuti seruan anak-anak lainnya. Terdengar menyenangkan. Sayangnya kami harus sesegera mungkin menyiapkan hidangan berbuka puasa bersama. 

Buka Puasa Bersama dan Perpisahan yang Menyenangkan

Begitu tiba, kami langsung membuka barang bawaan kami. Aneka buah dan bahan-bahan bakal es buah, gorengan, dan kue basah yang mudah dibuat untuk sore nanti. Setelah bercerita sedikit dengan kawan-kawan yang datang lebih awal, saya langsung menyibukkan diri di dapur. Sebagian mengerjakan agar-agar, lainnya mulai memotong buah-buah, seperti pepaya, apel, melon, dan semangka.

Tidak ada yang jauh berbeda dengan menyiapkan buka puasa di rumah. Kecuali, tidak ada opsi memasukkan agar-agar di dalam kulkas agar cepat mengeras sebab listrik tidak menyala kala siang hari. Kami sibuk menyiapkan takjil sejak siang dan rampung sekitar pukul 17.00 sore. Waktu yang tepat. Saya lekas memberesi semuanya dan menikmati waktu sore di pinggir pantai. Relawan lain mengambil alih untuk membagikan takjil di surau. 

Selepas magrib dan langit mulai gelap, kami mengikuti ibadah salat berjemaah di masjid. Selanjutnya bersiap menuju lapangan serbaguna pulau yang terletak persis di samping masjid. Anak-anak ramai berkumpul, begitu pun orang tua mereka. Segalanya berlangsung menyenangkan dan kami mengakhiri hari dengan menyantap aneka kuliner malam di pulau ini. Meskipun tidak banyak yang dapat dicoba, tetapi melahap bakso tahu ikan dengan kecap manis dan saus kacang, asinan mangga, dan bakwan bersama kawan relawan lainnya, sembari mendengar riuh angin malam dan deburan ombak, hanya dapat kami nikmati sekali di malam itu saja. 

  • Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau
  • Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau

Pulang saat Subuh

Berbeda dengan waktu keberangkatan dari daratan Makassar ke Pulau Sarappo Caddi, jadwal kapal kembali dari pulau ke kota selalu saat Subuh. Saya memutuskan tidak tidur selepas sahur agar tetap terjaga dan membereskan perlengkapan. 

Di beberapa kesempatan saya sempat bertanya terkait kapal yang berangkat lebih siang, tetapi nihil. Kapal yang berangkat lebih siang jarang ditemui, sebab para penumpang dari pulau berangkat ke kota untuk berbelanja kebutuhan dapur. Waktu tempuh sekitar satu jam lebih dan mereka butuh waktu lama untuk berbelanja. Jika kembali ke pulau pada siang hari, maka ombak akan makin kencang. 

Subuh itu, kami berangkat saat langit masih setengah terang dan cahaya fajar masih belum terlihat. Kapal ukuran sedang itu mengangkut sekitar 20 relawan. Kami duduk berdempetan. Beberapa kawan duduk di bagian belakang kapal, tepat di bawah mesin dengan bunyi yang memekakkan. Sementara tiga orang relawan laki-laki berani duduk di ujung kapal yang lancip. Sinar fajar yang hangat dan syahdu menyambut kami di tengah perjalanan, di antara pulau-pulau kecil dan laut Makassar.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Nawa Jamil

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Overtourism dan Ketenangan di Desa Penglipuran