Pilihan EditorTravelog

Tana Toraja: Budaya, Alam, dan Manusia

Beberapa hari yang lalu, seorang kolega dari Luwuk, mengabari bahwa ia akan pulang ke Makassar dan mengajak saya beserta beberapa kawan lainnya untuk menghabiskan akhir pekan di Toraja, Sulawesi Selatan. Tentu ajakan dari kawan lama ini tidak bisa saya tolak.

Pagi itu, saya berjalan keluar dari rumah, sekitar 300 meter sampai di depan SPBU jalan utama. Sekitar pukul 09.00 WITA, rekan-rekan saya tiba. Selang sebentar, mobil kami melaju sepanjang jalan lintas provinsi dari Makassar menuju Pare-Pare. Jalanan tampak lenggang. Kami singgah sebentar di sebuah minimarket sebelum meninggalkan Makassar.

Tidak ada percakapan yang berarti, hanya cerita-cerita kosong selama perjalanan. Sekitar pukul 13.00 WITA, kami tiba di rumah Kak Istya di Kota Pare-Pare, kawan yang menginisiasi liburan akhir pekan di Toraja ini. Kami singgah istirahat sebentar sekitar setengah jam, lalu melanjutkan perjalanan ke Toraja melalui Kabupaten Sidrap.  

Salah satu hal yang baik dari bepergian dengan kawan yang tidak ditemui untuk waktu yang lama adalah cerita-cerita yang tidak ada habisnya. Kalau dihitung-hitung, hampir setahun belakangan saya tidak bertemu dengan Kak Istya. Maka, di perjalanan dari Pare-Pare ke Enrekang ini penuh dengan cerita-cerita perihal dunia kerja, kegiatan-kegiatan setelah sarjana, keresahan-keresahan, dan banyak lainnya.

Sekitar pukul 19.00 WITA kami singgah di Kabupaten Enrekang, tepatnya di rumah salah satu kawan kami, Kak Yuda namanya. Jarak rumah Kak Yuda dengan Kabupaten Toraja hanya sekitar 20 menit dengan kendaraan, sehingga kami memutuskan untuk mengakhiri hari dan beristirahat di sini sebelum melanjutkan perjalanan keesokan pagi. 

Singgah ke Kete Kesu, Telaga Tilanga, dan Pekuburan Londa

Suasana pagi hari itu begitu syahdu, ada secangkir teh hangat, kue-kue bugis, dan hijaunya pegunungan Enrekang dihadapan. Kami memulai perjalanan ke Toraja sekitar pukul delapan pagi. 20 menit kemudian, kami memasuki gerbang Kabupaten Toraja. Sebuah gerbang kota dengan atap rumah tongkonan yang menjadi ciri khas dari tanah berbudaya ini.

Kami lalu menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam, melewati banyak tempat wisata yang semestinya kami singgahi. Tetapi, berdasarkan diskusi bersama sejak di Enrekang tadi, kami memutuskan untuk berkonsultasi terlebih dahulu ke Kak Ari, salah satu teman yang kini bekerja di Pia’s Poppies Hotel, sebuah homestay di Kabupaten Toraja Utara untuk merencanakan tempat mana saja yang menarik untuk dikunjungi mengingat waktu kami cukup terbatas.

Kami sampai di halaman depan Pia’s Poppies Hotel sekitar pukul sepuluh pagi. Aroma kopi Toraja dan hamparan sawah di belakang penginapan menyambut kedatangan kami. Perbincangan pun berlangsung diselingi tawa dan esapan kopi yang meninggalkan rasa pahit dan sedikit asam pada pangkal lidah.

Toraja adalah kampung halaman Kak Ari, mudah untuknya memberikan saran. Akhirnya setelah menyesuaikan jadwal dan lokasi masing-masing tempat wisata, kami memutuskan untuk mengunjungi Kete Kesu, Telaga Tilanga, dan Pekuburan Londa hari ini.

Kami berbincang sekitar sejam lebih, sementara saya tenggelam dengan beberapa buku-buku berbahasa asing seperti Inggris, Perancis, dan Jerman yang ditinggalkan oleh tamu-tamu di sini. Tepat sebelum jam duabelas siang, kami lalu berpamitan dan bergerak menuju lokasi pertama yakni Desa Adat Kete Kesu. 30 menit kemudian, tiba di sana.

Kete Kesu merupakan desa adat yang menjadi salah satu tujuan wisata sejak lama. Di sini, pengunjung langsung dibuat takjub dengan deretan rumah tongkonan. Rumah-rumah ini begitu sarat akan sejarah kebudayaan Toraja. Rumah dengan atap mirip perahu ini juga dihiasi dengan tanduk-tanduk kerbau (atau tedong) yang menggantung di tiang tepat depan rumah tongkonan.

Setiap rumah memiliki jumlah tanduk tedong yang berbeda-beda. Tanduk-tanduk yang disusun vertikal ini melambangkan seberapa sering pemilik rumah melakukan upacara adat dan kemampuan ekonomi juga terlihat dari jumlah tanduk ini, sebab upacara-upacara dalam budaya Toraja kerap kali menyembelih kerbau yang tidak murah. Tidak hanya tanduk kerbau di depan rumah, tetapi semua hal yang ada pada rumah ini begitu sarat akan filosofi, bahkan arah mata angin dari rumah ini pun memiliki arti tersendiri. Selain rumah adat tongkonan, di sini juga terdapat museum dan pusat oleh-oleh.

Setelah menelusuri detail tongkonan dari dekat, berfoto, dan berbelanja, kami melanjutkan perjalanan ke Telaga Tilanga. Namun, kami singgah menjemput Kak Citra, teman kami selama di Makassar yang juga orang asli Toraja. Kebetulan rumah Kak Citra sejalan dengan tujuan kami.

Telaga Tilanga berlokasi sekitar setengah jam dari Kete Kesu, jalan menuju ke sini berupa tanjakan. Sepanjang jalan, kami menikmati pemandangan persawahan hijau dan kuburan-kuburan unik yang tidak seperti kuburan pada umumnya. Begitu sampai di Telaga Tilanga, saya benar-benar merasa ingin menceburkan diri kedalam airnya yang jernih, dan nampak kebiruan. 

Telaga Tilanga begitu rindang, banyak pohon-pohon besar dan bambu disekitarnya. Kami menikmati makan siang seadanya di sini, ditambah nasi dan tollo burak (sejenis hidangan ayam bersama sayuran yang dimasak dalam bambu) dari Kak Citra. Sayangnya kami hanya singgah sebentar, sekitar satu jam, sebelum bergerak menuju tempat selanjutnya yakni Londa.

Londa berjarak tak jauh dari Telaga Tilanga, hanya sekitar 10 menit perjalanan. Di sini, pengunjung cukup membayar Rp50 ribu per rombongan untuk melihat keunikan pekuburan dan tengkorak-tengkorak manusia yang berumur ratusan tahun. Di mulut goa dan dinding-dingin depannya, tampak tau-tau, patung kayu yang diukir menyerupai jenazah yang disemayamkan.

Pemandu wisata yang memandu kami selama di dalam goa menjelaskan banyak hal perihal tradisi pemakaman, mulai dari cerita tengkorak-tengkorak, makna peti kayu dengan ukirannya, sampai filosofi dari makam goa ini. Pekuburan Londa menjadi tempat terakhir yang kami singgahi, tetapi tidak menutup petualangan kami hari itu. Setelah dari Londa, kami bertemu beberapa kawan di Makale, menikmati suasana kota malam hari, dan berkunjung ke salah satu kafe di kota kecil ini.       

Berkunjung ke Toraja semakin membuka mata saya bahwa Indonesia benar-benar kaya akan kebudayaan dan keindahan alamnya. Sebuah tanah dimana masyarakatnya hidup berdampingan dengan alam dan warisan kebudayaan dijaga dengan erat dan masih tumbuh sampai hari ini.

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *