Travelog

Mencari Kesegaran di Taman Sidhandang

Cerita perjalanan saya dimulai pada Hari Raya Idul Fitri tahun 2018 kemarin ketika banyak sanak saudara sedang berkumpul. Seperti keluarga besar lainnya, di hari pertama kami melakukan tradisi sungkeman (bermaaf-maafan) kemudian mengunjungi rumah-rumah tetangga sekitar hingga waktu Zuhur.

Setelah menyambangi rumah-rumah tetangga, kami pun istirahat siang. Saat itulah tiba-tiba salah seorang saudara saya yang sedang main smartphone menunjukkan sebuah postingan Instagram tentang Taman Sidhandang, sebuah pemandian alami di Kaligesing.

Kaligesing, kalau kamu belum tahu, adalah sebuah kecamatan di wilayah perbukitan Kabupaten Purworejo yang berbatasan dengan Provinsi DI Yogyakarta. Namanya tenar sebagai penghasil kambing etawa.

taman sidhandang
Melipir pinggir kolam sedalam 2,5 meter/Adyatma Arya

Kembali pada cerita. Akhirnya, setelah melihat unggahan di Instagram itu, beberapa di antara kami jadi tertarik untuk ke sana.

Selang beberapa hari, kami bertujuh, menumpang empat unit sepeda motor, meluncur ke Taman Sidhandang. Kami sengaja berangkat siang-siang agar bisa merasakan kesegaran pemandian alami di Purworejo itu secara lebih maksimal.

Di awal perjalanan, kami melewati jalanan ramai khas suasana Idul Fitri. Banyak titik kemacetan yang kami temui, yang penuh mobil perantau berpelat nomor luar Kabupaten Purworejo. Kemacetan itu, juga matahari yang bersinar terik, bikin saya makin tidak sabar untuk segera tiba di pemandian. Saya sudah bisa membayangkan betapa segar rasanya berendam dan bermain air di kolam-kolam alami Taman Sidhandang.

Selepas berkutat dengan macet selama sekitar setengah jam, kami mulai meluncur santai di jalanan yang lebih sepi. Sedikit sekali kendaraan yang lewat selain empat sepeda motor yang membawa kami. Bukit-bukit yang berbaris di pinggir sawah membuat pemandangan jadi hijau dan menyegarkan mata.

taman sidhandang
Batuan licin yang mengeliling pemandian alami Taman Sidhandang/Adyatma Arya

Sebentar kemudian, kami masuk jalanan menanjak dan berbelok. Kami pun berkendara semakin hati-hati, sebab mesti cermat mengantisipasi kendaraan yang lewat dari arah berlawanan.

Akhirnya tibalah kami di Taman Sidhandang. Kami memarkirkan kendaraan di sebuah lahan parkir yang dikelilingi pepohonan besar dan tebing-tebing batu.

Lokasi pemandian berada di seberang tempat kami memarkir motor. Baru mulai berjalan, kami langsung disambut gerbang selamat datang dan loket tiket. Harga tiket masuk Taman Sidhandang Rp3.000 dan biaya parkir Rp2.000.

Semakin dekat dengan kolam dan air terjun, jalanan semakin naik-turun. Kami juga mesti melewati bebatuan yang licin.

Tiap-tiap kolam di pemandian alami itu ternyata punya papan bertuliskan kedalaman. Kolam terdalam mencapai 7 meter. Sisanya lebih dangkal—5, 3, dan 2,5 meter. Kami memilih untuk nyebur ke dalam kolam 2,5 meter. Karena tidak pandai berenang, saya menyewa ban agar bisa mengambang di permukaan sambil bersantai menikmati pemandangan sekitar dan kesegaran air. Sanak saya yang lain menikmati Taman Sidhandang dengan cara mereka masing-masing, dari mulai berenang sampai “loncat indah.”

Meloncat ke dalam kolam dari bebatuan/Adyatma Arya

Tak terasa, hari semakin sore. Hawa di sekitar tempat rekreasi itu pun terasa makin dingin. Suasana makin sepi karena para pengunjung sudah beranjak dari air. Kami pun menyudahi kesenangan itu kemudian naik ke darat untuk membilas tubuh.

Keluar dari air dalam kondisi lapar, kami mampir ke salah satu warung untuk menyantap mi instan dan gorengan.

Begitu makanan habis, tak ada alasan lain bagi kami untuk menunda kepulangan. Kami memulai perjalanan kembali ke rumah sekitar jam 4.30 sore lewat jalur yang sama dengan yang kami gunakan ketika berangkat. Perjalanan pulang terasa lebih cepat sebab jalanan yang kami lewati lebih lengang. Sesore ini, sedikit sekali kendaraan yang lalu-lalang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Lahir dan besar di Kota Tangerang sebelum pindah ke Purworejo. Mahasiswa biasa di Program Studi Antropologi Universitas Brawijaya.

Lahir dan besar di Kota Tangerang sebelum pindah ke Purworejo. Mahasiswa biasa di Program Studi Antropologi Universitas Brawijaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *