Pilihan EditorTravelog

Menepi di Gunung Andong

Matahari tepat di atas kepala. Suhu 34°C Yogyakarta menimbulkan biasan pada jalan aspal Yogyakarta–Magelang. Saya hendak mendaki Gunung Andong bersama dua orang teman, Adi dan Yongki. Menurut rencana, saya akan menghampiri Peto—begitu saya biasa menyapa Adi—dan Yongki di Magelang dan selanjutnya kami akan meneruskan perjalanan menuju pintu rimba Gunung Andong yang terletak di Dusun Sawit, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang.

Pendakian ini tidak perlu banyak rencana, malah terhitung dadakan. Pada malam sebelumnya, ketika saya belum juga bisa tidur pada jam dua dini hari, tiba-tiba saja saya mengirim pesan kepada Adi, “Peto, ke Andong, yuk!”

Tak disangka, Adi juga belum terlelap. Seketika balasan darinya tiba, “Sekarang?”

“Ya enggak sekarang juga. Besok bagaimana?” balas saya.

“Berangkat!” tukas Adi.

Maka jadilah saya di sini.

Panas menyengat itu tidak terasa di hati saya. Saya melajukan si hitam—sepeda motor kesayangan—menuju Magelang dengan hati sejuk.

Sesampai di Magelang, di rumah Adi, kami bertiga mempersiapkan segala keperluan logistik dan peralatan. Lepas magrib, kami pun bergegas meninggalkan Kota Magelang. Dua sepeda motor perlahan melaju pada jalanan berliku dan menanjak ketika kami memasuki Desa Ngablak. Gelap dan dingin.

“Sedikit sekali lampu penerangannya, Pet,” ucap saya kepada Adi.

“Iya, Mbak. Kalau yang tidak hafal jalan harus hati-hati karena bahaya,” jawab Adi.

Lepas satu jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Dusun Sawit. Udara sejuk. Dusun tidak begitu ramai oleh pendaki. Dihitung-hitung, tidak lebih dari 20 motor pendaki yang terparkir. Saya membayangkan ini akan menjadi pendakian yang tenang menyenangkan. Pasalnya kami mendaki tidak pada akhir pekan, saat Gunung Andong yang berdebu bisa dijejali para pendaki sampai-sampai setapak menuju puncak macet. Tak terbayangkan bagaimana rasanya jika terjebak macet begitu.

Saya melihat arloji di tangan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam ketika kami meninggalkan salah satu rumah warga, memulai pendakian lepas beristirahat dan mengisi perut. Petak-petak ladang warga dengan hijau sayur-sayuran menggiring langkah kami menuju pintu rimba. Udara sejuk dan malam belum pekat.

sunrise gunung andong
Menyaksikan matahari terbit di Gunung Andong/Lucia Widi

Kulo nuwun,” gumam dalam hati ketika saya mulai menapaki tangga memasuki hutan Gunung Andong setelah melepas ladang sayur warga. Pendakian kami disinari oleh bulan purnama yang cahayanya masuk bebas melalui celah barisan pohon cemara. Kami kali ini berhutang pada bulan yang seolah memberi restu untuk menyusuri rimba.

Seekor kucing menemani ketika kami beristirahat sejenak di suatu tanah landai. Warnanya abu-abu. Dalam perutnya jelas berlindung beberapa janin kucing kecil—ia sedang mengandung!

“Hei, kamu kuat sekali mengikuti kami. Apa perutmu tidak berat?” tanya saya kepada si kucing yang sedang mengusapkan tubuhnya ke kaki saya.

Kucing itu manja sekali. Ia juga mengusap-usapkan tubuhnya ke kaki Adi dan Yongki, lalu kembali pada saya. Begitu terus. Minta dielus.

Wis, njagong sing anteng. Ora usah nggeriseni,”¹ ujar Adi kepada si kucing.

Lepas beristirahat, kami melanjutkan pendakian, melipat jarak dengan puncak gunung yang memiliki ketinggian 1.726 meter di atas permukaan air laut itu, masih ditemani temaram bulan dan udara sejuk dan pemandangan lampu-lampu desa. Syahdu sekali.

Perjalanan menuju puncak Gunung Andong dapat ditempuh selama dua sampai tiga jam. Jalurnya tidak curam, dengan kombinasi tangga, batu, dan tanah. Terdapat empat pos pemberhentian berupa shelter dan warung. Jarak antarpos pun tidak begitu jauh. Maka, tak jarang Gunung Andong menjadi pilihan para pendaki yang baru memulai hobi.

“Sudah berapa kali kamu mendaki Andong, Pet?” tanya saya kepada Adi ketika kami tiba di Pos 3.

“Sepuluh kali lebih, Mbak,” jawab Adi santai.

“Berarti hafal jalur sekali, ya?”

“Iya, Mbak. Kalau kangen naik gunung, pasti larinya ke Andong.”

“Berarti Andong sudah berhasil menjadi rumah menepimu?”

“Iya,” jawab Adi singkat sembari terkekeh.

Begitu juga Yongki. Ia yang berjalan di depan, disiram berkas-berkas cahaya bulan yang jalang di antara hutan cemara gunung, tanpa menggunakan headlamp. “Sudah hafal,” katanya.

sumbing sindoro dieng andong
Makam Ki Joko Pekik di Puncak Gunung Andong dengan Sumbing, Sindoro, dan Plato Dieng sebagai latar belakang/Lucia Widi

Saya selalu suka jika kembali masuk hutan. Ada rasa yang entah apa namanya jika berada di tempat yang sudah saya anggap rumah ini. Aroma hutan tropis yang keluar menghadirkan energi bagi saya. Kedamaian abadi menyelimuti ketika saya menyandarkan tubuh pada pohonnya. Ada keheningan yang tak sunyi jika saya duduk di tanahnya, juga ketenangan yang tak tertandingi oleh apa pun atas gemericik air dan kerisik ranting.

Ketika menulis ini, saya teringat percakapan ringan dengan seorang teman ketika saya usai mendaki Gunung Pangrango pada Agustus silam, “Kapan kamu mendaki gunung lagi, Wid?”

“Memangnya kenapa?”

“Mau aku doakan,” jawabnya. “Gila! Kamu kuat sekali.”

Sekonyong-konyong saya tertawa. Ada-ada saja teman saya yang satu ini. Seolah dia menunggu pendakian saya selanjutnya. Namun, seketika itu pula saya merasa bersyukur bahwa ada orang yang senang melihat aktivitas saya ini dan ingin mendoakan agar saya kuat dan selamat dalam pendakian. Teman saya itu bernama Reni.

Kata-kata Reni itu pun membuat saya tertegun, heran dengan diri sendiri; mengapa saya selalu diberi kekuatan ketika mendaki sebuah gunung?

“Tidak tahu juga, Ren, kenapa aku bisa kuat mendaki,” jawab saya kala itu.

Tak jauh dengan Reni, seorang teman lain bernama Natalia menulis komentar pada unggahan foto saya di Instagram, “Hebat banget kamu, Wid, naik gunung melulu.”

Seketika saya membalas, “Kadung cinta sama gunung, Nat, jadinya menepinya ke gunung.”

Ya, begitulah saya begitu mencintai gunung. Ia adalah energi yang selalu menghadirkan candu untuk memanggil saya kembali menepi di hutan, di dalam gunung tropis.

Maka di sinilah saya lagi dan lagi, di antara pohon cemara gunung dan di bawah temaram bulan purnama.

merbabu dan merapi
Gunung Merbabu dan Merapi tampak dari puncak Gunung Andong/Lucia Widi

Satu jam berlalu sejak dari Pos 3. Pepohonan tidak lagi tinggi. Langit terbuka dan bulan semakin jalang. Jalan setapak yang semula batu telah berubah menjadi tanah yang empuk, terasa nyaman di kaki.

“Ayo, semangat! Sebentar lagi sampai,” ucap Yongki.

Seketika energi saya hadir dua kali lebih kuat dari sebelumnya. Langkah saya ringan, bibir saya menyunggingkan senyum merekah.

“Ayo! Aku semangat banget kalau sudah mau sampai,” jawab saya yang kemudian disusul oleh gelak tawa Adi dan Yongki.

“Tinggal dua tikungan lagi, Mbak,” sahut Adi.

“Iya, kanan dan kiri,” jawab saya santai, menyahut canda Adi.

Namun, perkataan Yongki itu benar. Tidak butuh lama untuk kami tiba di puncak. Saya senang sekali, perjuangan atas lelah dan haus akhirnya tiba di titik pemberhentian.

Dengan sigap, kami mendirikan tenda dilanjutkan memasak makan malam. Gunung Merbabu berdiri megah di hadapan, menemani senda gurau kami bersama gelas-gelas kopi panas menghabiskan malam.

gunung merbabu
Gunung Merbabu tampak dari pintu rimba Gunung Andong/Lucia Widi

Esok harinya, saya membuka mata ketika matahari hendak berangkat. Langit belum sepenuhnya terang. Biru tua menuju muda. Gunung Merbabu yang sejak semalam tua kini nyata dipandang dengan Gunung Merapi di balik punggung kanannya. Di punggung kiri, Gunung Lawu juga tak mau kalah meski ia jauh. Sementara bola api raksasa sedang berusaha mewarnai langit dengan sinar emasnya. Indah.

Ketika saya berbalik arah, alangkah terkejutnya saya atas apa yang saya lihat. Gunung Sumbing dan Sindoro ternyata tak mau kalah menghiasi langit barat, Prau menemani si kembar dari jauh, sementara Gunung Ungaran berdiri sendirian di sudut utara.

Mata saya tercengang, kagum sekaligus tak percaya atas apa yang saya lihat: tujuh gunung saling sahut di atas awan menghiasi langit, memanjakan kornea mata, menggenapkan penepian saya sejenak ke Gunung Andong. Semua letih terbayarkan.

Kami bertiga berjalan menuju area yang tertancapkan bendera Merah Putih sebagai tanda, itulah titik tertinggi Gunung Andong, 1.726 meter di atas permukaan air laut. Bola emas yang semula malu-malu kini tak lagi ragu. Ia telah bulat penuh dengan sinar kemegahan, membuat kehidupan senantiasa semarak. Padahal ia tak pernah berbuat sesuatu yang lebih untuk kehidupan. Ia hanya bangun di timur dan tidur di barat.

Tak lupa juga kami mengambil beberapa foto untuk mengabadikan momen ini. Momen sebagai bayaran atas segala letihnya kaki melangkah dan hausnya punggung-punggung atas ransel-ransel berat. Momen terisinya kembali energi yang dikosongkan oleh kota.

Menepi kali ini sungguh berhasil. Bagi saya, alam adalah obat adiktif yang selalu berhasil menyembuhkan kepenatan. Melalui kerisik pohon yang bisa membisikkan aroma, memalui embusan angin mampu menyiulkan suara, menyadarkan manusia bahwa sudah seharusnya merawat alam agar tetap lestari, pun melantunkan segala puji atas semua berkah yang telah diberikan oleh alam. Karena, sejatinya, alam itu hidup seperti napasmu jika kau mampu berselaras dengannya.

Pendakian ini, bagi saya, jadi makin bermakna karena nama Gunung Andong berasal dari nama daun yang jadi salah satu syarat dalam ritual kepercayaan masyarakat Jawa, andongo, yang berarti “berdoa kepada Sang Pencipta.” Dan, masyarakat Desa Girirejo rutin mengadakan syukuran sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan serta sebagai bentuk penghormatan kepada Ki Joko Pekik yang makamnya berada di puncak Gunung Andong.


[¹] Sudah, duduk yang tenang. Tidak usah mengganggu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Mengalir sampai jauh. Terbang hingga menghilang.

Mengalir sampai jauh. Terbang hingga menghilang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *