Kampung Inggris Pare adalah lanskap yang selalu berubah. Bangunan silih berganti beralih fungsi. Manusia datang dan pergi. Itulah sebabnya setiap cerita tentang Pare akan selalu berbeda dan mewakili satu rentang waktu tertentu.
Saya berusia seperempat abad saat pertama kali menginjakkan kaki di Pare. Sendirian saya menyusuri Jalan Kemuning mencari kursusan tempat saya akan belajar grammar bahasa Inggris selama hampir setengah tahun.
Entah bagaimana sekarang, tapi yang jelas dulu Jalan Kemuning masih belum diaspal—dan di Pare masih belum ada Go-Jek. Pendengaran masih dipenuhi suara sepeda bergetar yang menggelinding di atas jalanan yang tak rata. Persawahan masih terbentang luas di sisi selatan. Di sisi utara kursusan dan rumah-rumah yang dijadikan camp berjejeran.
Kursusan yang saya cari, Elfast, tampak mencolok. Bangunannya bernuansa oranye. Saya berjalan melintasi halaman penuh sepeda menuju office Elfast. Deg-degan. Rasanya seperti pertama kali kenalan dengan teman-teman KKN dulu.
Datang sehari sebelum tanggal 10, saya mendaftar untuk kelas yang dimulai keesokan harinya. (Di Pare kelas dimulai tanggal 10 dan 25 tiap bulan.) Saya mengambil program grammar paling dasar, Basic Program I, yang kelasnya tiga kali sehari—main class, parts of speech, dan study club. Libur hanya Sabtu dan Minggu.
Tiga kelas dalam sehari bagi saya cukup. Saya urungkan niat untuk sekalian mengambil program tingkat dua. Jika saya ikut terlalu banyak kelas dalam sehari, pasti materi yang saya terima masuk kanan keluar kiri. Lagian saya memang sengaja meluangkan waktu untuk ke Pare. Jadi buat apa tergesa-gesa?
Tak pernah bolos kelas
Saya kaget sendiri mendapati bahwa saya tak pernah bolos sekali pun selama belajar di Kampung Inggris Pare. Jangankan bolos, terlambat pun tidak pernah. (Seingat saya, pernah sekali saya masuk kelas barengan dengan guru, yakni pada hari pertama program grammar tingkat dua.)
Saya merasa rugi kalau terlambat, sebab ilmu-ilmu yang ditransfer begitu menarik. Kelas-kelas yang saya ikuti bak praktikum di laboratorium biologi. Tiap-tiap bahasan seperti preparat segar yang menyajikan organisme-organisme mikroskopik baru dari palung terdalam di dunia.
Di tiap kelas, saya punya spot reguler. Dari sanalah saya berusaha mencerna setiap materi yang saya dapat: mengamati tulisan di papan tulis, menyalinnya ke buku, menginternalisasikannya, lalu mengeluarkannya kembali sebagai jawaban dalam latihan dan ujian.
Saking seriusnya belajar, saya seperti menjadi makhluk antisosial di kelas. Enggan saya melayani obrolan basa-basi tanpa arti, sebab saya sadar bahwa sedetik saja melengah bangun ilmu bahasa Inggris yang ada dalam kepala saya bisa saja goyah. Saya hanya bersuara kalau ingin bertanya pada guru yang sedang menerangkan pelajaran di depan.
Lucunya, hampir semua kelas di Kampung Inggris Pare seperti tarawih di bulan Ramadan; semakin lama pesertanya kian sedikit. Semula, kelas Basic Program I yang saya ikuti berisi lima belas siswa. Pada akhirnya yang ikut ujian akhir hanya lima orang! Saya cowok satu-satunya di antara lima orang itu.
Biasanya yang pertama gugur adalah siswa-siswa paling vokal di kelas yang selalu menyanggah apa pun yang diterangkan guru. Terlalu sibuk menyanggah, mereka lupa menghayati materi-materi baru yang mereka terima. Di Parelah saya mulai mengerti maksud pepatah “diam itu emas.”
Sebuah mikro-utopia bernama Jendela Mimpi
Kampung Inggris Pare seperti negeri di atas pelangi yang disebut-sebut dalam lagu “Somewhere over the Rainbow.” Mimpi-mimpi berkeliaran di jalanan Pare, menggelinding bersama sepeda yang pada masa itu bisa disewa seharga Rp 80 ribu per bulan.
Pare adalah utopia. Banyak yang terlena di sana selama bertahun-tahun sebelum sadar dan buru-buru kabur ke luar. Untuk membuktikannya, kamu bisa tanya sendiri pada para mister dan miss yang mengajar di berbagai kursusan di Kampung Inggris Pare.
Di antara mereka, banyak yang semula hanya ingin satu atau dua bulan saja di Pare. Namun, tanpa sadar setengah tahun berlalu, kemudian setahun, dua tahun, dan mereka masih di sana-sana saja. Sementara di luar sana Planet Bumi masih berputar mengelilingi matahari.
U, salah seorang kawan karib saya di Pare, bukan guru bahasa Inggris. Tapi dia juga akhirnya “terjebak” di Kampung Inggris. Dia dari Banten, dulunya ketua BEM di universitas negeri paling top di provinsi itu. Sempat bekerja selama beberapa tahun di sebuah institusi swasta, tiba-tiba dia ingin melanjutkan studi master di negerinya Mustafa Kemal Atatürk.
Dia ke Pare. Beberapa waktu di sana, belum sempat menuntaskan sebuah program kursus, ia malah tertarik untuk membuka usaha. Ceritanya, sekalian mencari uang untuk membiayai kursus. Akhirnya ia buka kafe yang diberi nama Jendela Mimpi. Alih-alih kursus, ia malah sibuk mengembangkan bisnis.
Kebetulan saya tiba di Pare hampir bertepatan dengan dibukanya kafe itu. Jendela Mimpi kemudian jadi tempat nongkrong saya selama di Pare. Hampir tiap hari saya ke sana—bahkan bermalam di sana saat ada deadline yang harus ditepati.
Jendela Mimpi jadi semacam mikro-utopia saya. Kafe kecil di pelosok Kediri itu jadi tempat saya dan kawan-kawan berdiskusi tentang banyak hal, belajar bahasa Inggris, memupuk tekad untuk meraih mimpi, bernyanyi bersama dengan iringan gitar—nonton Piala Dunia 2014!
Kembali ke dunia nyata
Mendekati akhir puasa ketika akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke Jogja. Waktu itu saya sudah menyelesaikan enam program—lima program grammar dan satu IELTS.
Pare rasanya makin sepi. Jalan Brawijaya, Bali House, Ketan Susu—sepi. Satu per satu teman-teman pergi, entah pulang ke daerahnya atau melanjutkan perantauan ke negeri-negeri jauh. Ketika berpamitan, kami selalu berjanji untuk bertemu lagi suatu saat dan mengenang kembali kisah-kisah klasik selama di Kampung Inggris Pare.
Pagi itu saya berpamitan dengan kawan sekamar. Diantar oleh E, kawan asal Makassar yang di kemudian hari akan tinggal satu kos dengan saya di Jogja, saya pergi ke perempatan Tulungrejo. Di sana saya mencegat elf menuju Jombang. Pare perlahan menjauh.
Dipikir-pikir, Kampung Inggris Pare seperti sebuah kapal besar yang membawa penumpang dari satu dermaga ke dermaga lain; ke tujuan masing-masing. Hanya saja, Pare tidak ke mana-mana.
Di awal tulisan saya menyebut bahwa Pare adalah lanskap yang selalu berubah. Tanpa sadar, di akhir masa tinggal di Pare saya pun jadi bagian dari perubahan itu. Dalam bayangan saya, sepeninggal saya seorang awak “KM Pare” pasti langsung ke kabin yang saya tempati selama hampir setengah tahun untuk membersihkannya agar siap ditempati penumpang lain.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.