Wabah corona kian merebak. Berbondong-bondong warga kelas menengah gaungkan tagar-tagar soal melakukan berbagai hal dari rumah. Para pekerja kantoran bergegas atur ruangan khusus di rumah atau kos demi kenyamanan kerja sambil leyeh-leyeh.
Terus bagaimana dengan wisata? Apakah bisa dilakukan di rumah pula?
Jauh sebelum berbagai wacana “dari rumah” memenuhi lini masa, perihal “wisata di rumah” sudah ada dan bahkan sempat jadi tren dengan sebutan “staycation.” Sayangnya, kelewat banyak orang salah kaprah perihal istilah itu. Apalagi “sosok-sosok” berpengikut ribuan orang di Instagram alias influencer turut menggiring konteks istilah ini ke arah “menginap di hotel mewah.”
Imbasnya, 2019 Year in Search Indonesia versi Google Trends menyebut bahwa penelusuran “staycation” melonjak sampai 3,7 kali lipat dari sebelumnya.
Padahal, makna “staycation” bukan hanya sekadar bisa tidur-foto-makan di kasur “ukuran raja” hotel berbintang atau menenggelamkan diri di bak mandi sembari melihat lalu lintas dari ketinggian kamar hotel. “Staycation” juga bisa berarti memilih berlibur di rumah dan luangkan waktu untuk eksplorasi lingkungan sekitar.
Istilah “staycation” sendiri pertama kali muncul dari seorang jurnalis di Myrtle Beach Sun News, Terry Massey, tahun 2003. Lewat istilah “staycation” yang ia ciptakan, Terry Massey coba menggambarkan sembilan hari yang dihabiskan di rumah untuk menonton pertandingan olahraga dan menyiapkan ruangan bayi bersama istri.
Kepopuleran istilah “staycation” pun kian meningkat. Titik pentingnya adalah saat krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat pada 2008. Orang AS merasa kesulitan berwisata seperti yang biasa mereka lakukan saat musim panas. Dan “staycation” pun jadi semacam alternatif wisata karena semua serba mahal. Mereka akhirnya liburan di rumah atau jalan-jalan di dalam kota.
Jadi, sebenarnya secara tidak langsung kegiatan nonton Netflix and chill-out di rumah atau sekadar berkebun di rooftop sudah tergolong “staycation.” Begitu pun saat sekarang ketika kita diimbau untuk menjaga jarak dan berdiam di rumah kalau tidak perlu-perlu amat bepergian.
Kita sedang berlibur!
Wisata virtual lewat gawai
Buat yang berjiwa cenderung ekstrover dan menggebu terus untuk bertualang, rasanya terus-terusan berdiam diri di rumah tentu menyiksa. Mau dilabeli “staycation” pun sepertinya sama-sama saja.
Namun, ada berbagai alternatif wisata yang sebenarnya bisa kita lakukan selama berdiam di rumah. Satu di antaranya adalah jalan-jalan ke berbagai museum secara online.
Beberapa museum mancanegara selama ini memang sudah ada yang menyediakan online visit, baik gratis maupun berbayar. Setelah virus corona merebak, jumlah museum yang membebaskan akses museumnya lewat teknologi kian bertambah.
Satu di antaranya Metropolitan Museum of Art di New York yang bisa diakses via YouTube dengan format visual 360 derajat. Mengikuti videonya satu per satu pun memang beri sensasi seperti ikut tur asli di museum, lengkap dengan penjelasan dari pemandu. Kalau enggan dengar ceramah pemandu museum, bisa pilih Hintze Hall di London yang juga punya scan 3D. Informasi di dalamnya berupa teks sesuai yang ditunjuk.
Kalau masih kurang, ada konser virtual yang bisa ditonton sambil selimutan di kasur. Berliner Philharmoniker lewat situs digitalconcerthall.com kasih gratis suguhan konser apik dengan cara tukar voucer.
Ini saatnya tunda liburan jauh dan #dirumahaja dulu. Tahan hasrat menjelajah langsung, ganti ke perjalanan digital atau buku.
Bacaan
Anonim. (2011). Vacations are on the rise; Staycations still popular. Travel Agent, 338 (10), 8.
James, A. dkk. (2016). Using Lifestyle Analysis to Develop Lodging Packages for Staycation Travelers: An Exploratory Study, Journal of Quality Assurance in Hospitality & Tourism, 18:4, 387-415, DOI: 10.1080/1528008X.2016.1250240.
Kay, M. J., & Yawei, W. 2010. Marketing the staycation: The salience of the local in destinations branding. Proceedings of The Northeast, Business & Economics Association, 590-592. Vackova, A. (2009). Future of tourism.New Economic Challenges, 481-487.