Lestari alamku
lestari desaku
di mana Tuhanku
menitipkan aku
Mungkin penggalan lirik lagu Lestari Alamku dari Gombloh itu menggambarkan perjalanan saya kali ini. Suatu kebetulan, saya tinggal di salah satu desa yang terletak di lereng timur Gunung Merapi. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia dan dunia.
Tema perjalanan saya sengaja mencatat tentang relasi kehidupan antara kehidupan warga desa dan ekosistem sungai, yang acap kali terlupakan oleh masyarakat perkotaan. Jika ada yang bilang hidup di desa tidak berkecukupan, itu hanya mitos belaka.
Selama bijak memanfaatkan sumber daya alam, saya yakin kita mampu bertahan hidup. Namun, jangan sampai mengeksploitasi secara berlebihan supaya tidak mengalami kerugian satu sama lain, seperti kerusakan ekosistem dan hilangnya sumber air sebagai kunci kehidupan.
Rumit memang, tetapi begitulah yang saat ini tengah terjadi. Sama-sama memberikan dampak baik dan buruk. Akan tetapi, apabila salah kelola tentu satu pihak atau bahkan keduanya bisa merugi. Seperti apa yang saya saksikan, ketika berjalan menikmati kehidupan dan kehangatan warga desa di lereng Gunung Merapi. Tepatnya di aliran sungai Kali Apu, Dukuh Klakah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali.
Rezeki dan Bom Waktu Pasir Merapi
Gunung Merapi, dengan segala keindahan dan sumber daya yang dihasilkan, masih ada segelintir warganya yang menggantungkan nasib pada kehidupan di sekitarnya. Mereka rela menjadi penambang pasir di aliran sungai Merapi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tentu berbahaya, tetapi ini jamak terjadi.
Para penambang bekerja dengan alat sederhana dan semampunya. Mereka bekerja di sekitar aliran air yang tidak terlalu deras untuk mempermudah mengumpulkan pasir. Setelah terkumpul cukup banyak, biasanya sang istri atau kaum perempuan memindahkan pasir ke pinggir jalan untuk diambil pengepul.
Selama bekerja, tidak jarang mereka membawa bekal dari rumah dan menikmatinya bersama penambang lain kala istirahat. Momentum saya tepat saat itu. Saya menyambangi ketika mereka tengah mencari pasir di aliran Kali Apu, salah satu sungai aliran lahar dingin aktif, yang berhulu di puncak Merapi. Tempat saya berada berjarak sekitar sembilan kilometer dari puncak Merapi.
Aliran sungai lahar dingin tentu membawa material pasir yang tumpah ruah di dalamnya. Tak ayal masyarakat memanfaatkannya sebagai sumber mata pencaharian. Rezeki bagi para penambang. Namun, jika pengelolaan tidak tertata, tentu akan menjadi bom waktu bagi keduanya. Kerusakan ekosistem dan perubahan daerah aliran sungai tampak nyata di depan mata.
Efek jangka panjang dapat memengaruhi perkebunan dan ladang warga desa lain yang ada di sepanjang sungai. Bahkan aliran hulu ke hilir pun bisa sewaktu-waktu berubah apabila tidak ada pengelolaan berkelanjutan. Sangat disayangkan, tetapi fakta bercerita.
Bertaruh Nyawa demi Menjemput Asa
Selama di aliran Kali Apu, saya cukup tertegun dengan apa yang ada di depan mata. Sepasang suami istri saling membantu merajut asa di tengah gejolak Gunung Merapi. Uang yang mereka dapat pun tidak seberapa daripada nyawa dan peluh keringat saat menambang pasir.
“Sebenarnya juga takut, kalau dari atas ada hujan bisa banjir di sini. Tapi, ya, bismillah saja. Kalau ada apa-apa langsung pergi,” ungkap salah satu perempuan penambang.
Mereka sudah biasa lantaran tinggal di sekitar aliran Kali Apu dan memahami kondisi sekitar gunung. Ketika terjadi erupsi atau hujan lahar dingin di puncak, mereka menghentikan semua aktivitas pertambangan.
Hal yang membuat saya khawatir adalah tebing di sisi kiri dan kanan yang sewaktu-waktu bisa longsor. Tentu bukan ulah mereka saja, tetapi tidak stabilnya tanah pun bisa ikut menjadi pemicu terjadinya bencana. Namun, ia mencoba mengklarifikasi, “Tebing tidak ditambang, Mas. Itu isinya tanah, pasirnya sedikit. Kalau di tengah sungai ini, jelas pasir banyak.”
Tetap saja, bagi siapa pun yang menyaksikan mereka pasti merasakan kekhawatiran seperti saya. Mereka tetap melanjutkan pekerjaan, meski terganggu aktivitasnya karena kehadiran saya. Di tengah asyik memotret mereka, tiba-tiba seorang ibu memanggil untuk mengajak saya istirahat sejenak.
Saya sambut ajakannya untuk sekedar melepas penat. Mereka membawa bekal untuk dimakan bersama. Meski hanya jajanan tradisional, tetapi yang terpenting adalah kebersamaan.
“Ambil [jajanan] ini, Mas! Silakan, seadanya. Kalau mau minum teh saya juga ada. Masih panas,” tawarnya.
Karena saya lahir hingga tumbuh dewasa di desa, saya harus mau menerima tawaran mereka sebagai bentuk penghormatan. Sama seperti apa yang kami lakukan d isini, yaitu menghormati dan menerima pemberian alam. Mungkin tidak semua orang akan memahami kalau belum pernah tinggal di perdesaan lereng gunung. Masyarakat lereng gunung memiliki prinsip yang sama, yakni saling menghormati, membantu, dan berbagi. Hanya cara dan wujudnya saja yang berbeda.
Setelah sekitar 30 menit beristirahat, mereka kembali bekerja. Saya memutuskan berpamitan karena sudah hampir dua jam bercengkerama. Tak lupa mereka menawarkan diri supaya suatu saat saya berkunjung ke kediamannya.
Ancaman di balik Eksotisme Hulu Kali Apu
Puas menyambangi para penambang, rasa penasaran saya terhadap hulu Kali Apu menuntun saya hingga ke Desa Kinahrejo, Sleman, Yogyakarta. Titik nol sungai yang saya datangi berjarak kira-kira satu kilometer dari puncak Merapi. Tempat ini termasuk Kawasan Rawan Bencana (KRB) III yang paling terancam bahaya erupsi.
Tidak ada maksud melawan kekuatan alam, tetapi saya hanya sekadar menikmati eksotisme Merapi dari sudut lain. Tidak pernah saya duga sebelumnya, alam memberikan restu agar saya menikmati setiap detiknya.
Puncak Merapi tampak cerah tanpa tertutup awan maupun kabut. Tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada, saya segera mengabadikan sang ancala sekaligus jalur sungai lahar panas yang mengalir di sepanjang lereng gunung.
Di sini, makin jelas terlihat bahwa sungai yang masuk areal gunung berapi aktif, sangat rentan rusak dan merusak apa pun di sekitarnya. Termasuk kehidupan warga desa. Dengan kedalaman di luar perkiraan, bahkan tidak tampak adanya aktivitas pertambangan di bawahnya, tentu sangat berbahaya.
Beberapa warga yang sempat saya temui, mengaku sebenarnya merasa khawatir. Terlebih di kala puncak Merapi terang benderang. Mereka takut apabila terjadi erupsi dan melihatnya secara langsung.
“Kalau puncak seperti ini [cerah] saya takut kalau terjadi apa-apa [dan] melihat secara langsung. Kalau kabut atau berawan [malah] tidak apa-apa, kita bisa mewanti-wanti,” ujar salah satu warga.
Meski menyimpan ketakutan, tetapi karena harus menafkahi anak dan istri, semua pekerjaan dilakoni. Tak terkecuali sebagai penambang pasir, selain berkebun sebagai mata pencaharian utama. Sekalipun aliran sungai tempat mereka bekerja amat rawan bencana. Dilema memang.
Kalaupun mereka membanting kemudi kehidupannya ke sektor pariwisata, tentu dituntut harus memiliki kemampuan lebih. Tidak semua warga memiliki keahlian mumpuni. Mayoritas warga Desa Kinahrejo berprofesi sebagai petani sayur, penambang pasir, peternak, dan hanya sebagian sopir jip wisata.
Mereka tidak malu sedikit pun, meski banyak orang kota berkunjung, berfoto, dan merasa senang melihat desanya. Tidak sedikit juga yang merasa kurang cocok untuk diabadikan, tetapi selama ini tidak ada masalah.
Malahan kita yang berkunjung wajib menghargai sesama serta menjaga adat istiadat dan tata krama di mana pun. Apabila kita mampu dan bisa menjalani, tentu warga setempat sangat senang dan menaruh perhatian. Hidup harus selaras, seimbang, dan merasa cukup. Begitu kiranya prinsip warga desa sepanjang aliran Kali Apu.
Makna Perjalanan di Kali Apu
Pelajaran berharga dari perjalanan saya ke Kali Apu ternyata sangat banyak. Ada beberapa poin yang mungkin relevan dengan kondisi saat ini. Tidak masalah seseorang bekerja menjadi apa pun, asal halal dan mampu menjadikan kita lebih wawas diri serta mengerti akan kondisi sekitar.
Menjadi penambang pasir tentu memiliki risiko lebih tinggi daripada nominal pendapatannya dalam sehari. Maka kita patut bersyukur tidak sampai memiliki kehidupan yang seberat itu. Walaupun demikian tetap harus menjaga keseimbangan alam dan jangan mengeksploitasi berlebihan.
Para penambang tentu membutuhkan uang. Namun, alam pun memerlukan ruang untuk menjaga ekosistemnya. Singkatnya, saling menghargai.
Untuk kalian yang orang tuanya bekerja di pertambangan, tidak perlu malu. Justru harus bangga. Mereka bisa menghidupi kalian dari jerih payahnya, meski nyawa jadi taruhan.
Apabila terjadi erupsi atau banjir lahar dingin dari puncak Merapi, jangan terlampau larut dalam kesedihan. Tentu dengan intensnya komunikasi antara warga desa, dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Untuk meminimalisasi kerugian korban jiwa dan harta.
Alam memberikan kita segalanya, termasuk aliran sungai dengan segala isinya. Adakalanya alam meminta kembali sesuatu yang telah ia berikan, karena kerusakan yang kita perbuat. Berani berbuat berani bertanggung jawab.
Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung. Setiap orang sudah sepatutnya menghormati segala hal yang berlaku di tempat ia tinggal, termasuk menjaga ekosistem alam dan hayati yang terkandung di dalamnya.
Tulisan ini diikutsertakan dalam kampanye “TelusuRI Sungai dan Mangrove Indonesia” untuk memperingati Hari Mangrove Internasional 26 Juli dan Hari Sungai Nasional 27 Juli
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.