Tahun-tahun belakangan ini, pemerintah kerap menerapkan kebijakan kenaikan cukai pada produk rokok. Kebijakan ini bermula dari pernyataan Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, yang menilai bahwa perokok adalah beban negara dan telah menghabiskan anggaran BPJS sampai 15 triliun rupiah.
Padahal bila menelusuri lebih jauh, sektor penjualan tembakau nyatanya telah memberi keuntungan pada negara sebesar Rp164,87 triliun. Angka tersebut sudah pasti telah menutup tanggungan triliunan dari BPJS.
Meskipun demikian, sepertinya kebijakan cukai dari pemerintah luput membaca kondisi di lapangan. Utamanya kondisi para petani tembakau di daerah pinggiran yang tak tersentuh oleh pusat kekuasaan di Jakarta.
Kondisi Petani Tembakau di Temanggung
Berlangsungnya kebijakan cukai rokok, yang pada tahun-tahun ini sedang gencar berlaku, ternyata tak membuat petani tembakau benar-benar sejahtera. Hal tersebut jelas bertentangan dengan tujuan cukai untuk kesejahteraan petani.
Sebagaimana yang saya jumpai di lapangan, ketika saya dan seorang kawan memutuskan untuk singgah lama di Bringin. Dusun yang terletak di pinggiran kota Temanggung ini terkenal sebagai pusat olahan tembakau yang terdistribusi ke pasar rokok nasional.
Selama singgah, kami juga tidak luput berbagi cerita bersama para warga. Khususnya para petani tembakau di Dusun Bringin. Aktivitas berlangsung di kediaman Mas Suti, yang setiap malamnya banyak dari masyarakat Bringin berkumpul di rumah tersebut sembari menikmati malam.
Para pemuda, pegiat sanggar seni, hingga petani tembakau, satu per satu menyempatkan waktu untuk srawung di rumah sederhana itu. Dari perkumpulan tersebut kami berupaya menghimpun cerita sebanyak yang kami bisa, mengenai upaya bertahan dari desakan serta peminggiran yang mereka alami hari ini.
Di tengah berbincang, saya mendapati suatu hal yang mengejutkan. Sebagaimana Mas Suti katakan, meskipun dusun ini terletak di lereng Gunung Sindoro, sepanjang jalan utama menuju dusun sudah terdapat deretan pabrik rokok besar yang menjadi tempat penyimpanan tembakau sementara. Tempat ini berfungsi untuk memasok olahan tembakau dari para petani. Selanjutnya didistribusikan menuju Jawa Timur, daerah sebagian besar pabrik induk tersebut berada.
Kondisi tersebut menjadi bukti betapa kuatnya sektor rokok swasta yang berlangsung di daerah ini. Hanya sebagian yang dikelola oleh pengusaha lokal, sisanya lebih banyak dimiliki oleh orang di luar Temanggung. Mirisnya lagi, tembakau yang dihasilkan di tanah Temanggung hanya menjadi bahan baku tambahan karena rasanya yang begitu berat.
Dampak Kenaikan Cukai terhadap Petani Tembakau Temanggung
Di luar itu, pemerintah kerap mensosialisasikan kebijakan kenaikan cukai dengan mempertimbangkan kesejahteraan petani tembakau. Namun, pada praktiknya justru berlawanan. Para petani tembakau malah menjadi kelompok paling tertindas dalam pusaran kapital dan kebijakan yang tidak seimbang tersebut.
Meski etalase di warung telah memasang harga puluhan ribu hanya untuk pembelian sebungkus rokok, petani masih terjerembap dalam pusaran rentenir dan keuntungan produksi yang timpang. Dengan kata lain, selisih dari tingginya harga rokok sangat jomplang dengan pendapatan para petani tembakau hari ini. Bahkan banyak dari mereka mengaku rugi menanam tembakau, sehingga beberapa di antaranya lebih memilih untuk menanam komoditas cabai.
Kemudian terdapat pula praktik adu domba yang gencar terjadi. Praktik ini berjalan dengan cara menempatkan kebencian kepada sesama warga di dalamnya. Menebar ketidakpercayaan dan menimbulkan pertikaian antarkelompok. Alhasil satu sama lain saling menanggung tatapan curiga, sekalipun itu adalah tetangga dan saudara dekat mereka.
Menurut Mas Ato, petani tembakau yang saya temui di kediamannya, praktik ini kerap dilakukan oleh para calo guna menjaga alur distribusi tetap masuk ke kantong mereka. Selain itu, guna menjaga kepercayaan dari para petani agar tetap menyerahkan segala bentuk investasinya, termasuk tembakau, kepada mereka.
Selain pasaran harga tembakau dan ritme kehidupan petani, naiknya cukai juga berdampak pada cara petani memperlakukan tanah garapannya sendiri. Hal ini saya jumpai ketika sedang berbincang dengan salah satu warga di Bringin. Dahulu para petani kerap mengadakan ruwatan atau doa sebelum menanam tembakau.
Selain ruwatan, mereka juga kerap mempertimbangkan kondisi dari tanah olahan mereka. Jika sudah tidak lagi musim tanam, mereka akan membiarkan tanah dan tidak menanam komoditas apa pun. Sebagaimana manusia, tanah pun membutuhkan istirahat. Cara ini terbukti ampuh menjaga kualitas tembakau, karena tanahnya sendiri memiliki waktu untuk tidak terkontaminasi pestisida dan berbagai macam komoditas lainnya.
Akan tetapi, belakangan ini para petani sudah jarang melakukan tradisi ruwatan dan pengkondisian tanah. Irama produksi rokok yang serba cepat dan penghasilan yang tidak menutupi biaya produksi, memaksa tanah bekas garapan tembakau mesti segera berganti dengan komoditas lain, seperti cabai. Maka para petani pun menjadi makin eksploitatif dan tidak memberi ruang napas terhadap tanah olahannya sendiri.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Kerap dipanggil sebagai Suden, kini tinggal di Yoyakarta dan sedang menempuh pendidikan panjangnya di menfess Twitter.