Interval

Catatan Gempa Cianjur: Puing-Puing Trauma (1)

Berbicara mengenai mitigasi bencana, kita kerap menghadapi data statistik guna mengetahui kerugian fisik dan material akibat bencana. Tak jarang data menjadi informasi penting yang perlu kita ketahui apabila hendak menjalani proses evakuasi dan mitigasi kebencanaan sekaligus.

Data dan persentase statistik di dalamnya menjadi komoditas yang sangat mudah kita jumpai di berbagai kanal digital. Terlebih banyak dari aksi volunter justru menekankan pada pekerjaan penimbunan data.

Akan tetapi, ada aspek yang luput dari proses penimbunan data. Hal tersebut tidak lain adalah trauma. Data dan persentase statistik terhadapnya tak pernah bisa mengungkapkan trauma, bahkan tak pernah adil membaca manusia. Seolah jumlah korban jiwa akibat bencana hanya pajangan angka yang tak lagi bernilai harganya.

Maka penting kiranya menghadirkan sebuah tulisan yang dapat memahami korban dari perspektif mental dan trauma yang dihasilkan. Perspektif tersebut tampaknya lepas dari aksi-aksi sukarelawan dan ekspos pers. 

Catatan Gempa Cianjur: Puing-Puing Trauma (1)
Kondisi posko pengungsian warga setelah gempa bumi Cianjur/Mohamad Ichsanudin Adnan

Gempa Bumi Cianjur dan Trauma

Momen traumatis dari gempa bumi Cianjur memang sudah terlewat sangat lama. Bahkan hari ini sebagian masyarakat sudah bisa menjalani aktivitas secara normal. Namun, saya berusaha menghadirkan tawaran refleksi yang saya peroleh, ketika mengemban tugas menjadi jurnalis selama masa darurat berlangsung di Cianjur.  

Berbekal kereta api kelas ekonomi, saya melaju dari Yogyakarta dan tiba di Cianjur pada 3 Desember 2022. Kebetulan waktu itu seorang kawan menawari saya ruang singgah yang sedang terpakai untuk posko logistik. Dia sedang menjalani masa bakti sebagai relawan dan sudah seminggu berada di lokasi. Sebelum melakukan liputan, saya mendapat banyak panduan dan arahan darinya.

Berbekal sepeda motor matic, kami menyusuri jalan menuju ke Desa Cibulakan. Desa itu merupakan lokasi dengan tingkat kerusakan yang cukup parah. Sejauh saya memandang, hampir setiap rumah di desa tersebut runtuh tak bersisa. Rumah berbahan beton, teralis besi, hingga material permanen lainnya ternyata telah rata dengan tanah. Saya melihat beberapa warga yang sibuk membongkar puing-puing tersisa. Berupaya mengais barang-barang yang sekiranya masih bisa mereka selamatkan. 

Selama menyusuri Cibulakan, saya mendapati banyak warga, utamanya penduduk rentan, tampak pasrah di depan halaman. Mereka tak melakukan apa pun. Hanya menatap kosong bekas huniannya yang sudah tidak bisa lagi mereka tempati.

Saya juga menjumpai pemandangan miris. Terlihat kerumunan anak mengevakuasi boneka kesayangan yang ikut tertimbun di antara puing-puing. Mereka sampai menyusuri bongkahan beton besar, sampai menyusup ke bawah teralis besi yang sewaktu-waktu bisa ambruk menimpa mereka. Para warga pun panik. Sampai-sampai ayah dari anak tersebut menariknya paksa agar tidak mendekati reruntuhan. Saya yang melihatnya langsung merasa sedih sekaligus gagal, karena saya tidak bisa berbuat apa pun untuk membantu meringankan beban sang anak.

Di luar itu kami menyempatkan diri mengobrol bersama seorang ibu. Ia sedang menyiapkan makanan di dalam sebuah tenda biru. Di belakang ibu tersebut, terdapat seorang anak yang masih terlihat ketakutan melihat tenda yang menaunginya itu. Namanya Ani, anaknya sendiri. “Di sini gempa susulannya masih ada, Kang. Gempanya memang tidak sebesar dulu, hanya saja Ani masih ketakutan (trauma) kalau poskonya bergetar sedikit. Bahkan banyak yang panik sampai teriak-teriak histeris,” sahut sang ibu.

Tidak seperti anak-anak lainnya yang masih berkeliaran di luar rumah, Ani masih takut jika harus jauh dari sang ibu. Terlebih ia mengaku sedih, karena lapangan yang kerap ia pakai bermain, kini telah beralih fungsi menjadi posko pengungsian.

Perbincangan dengan Pak Djunaedi

Malamnya kami menyempatkan diri berbincang dengan Pak Djunaedi. Beliau merupakan ketua RT di Desa Limbangsari. Dari sorot matanya yang lesu, saya melihat beban fisik dan mental yang ia tanggung kala itu. 

Sepanjang hari ini Pak Djunaedi sibuk mendistribusikan bantuan ke setiap kepala rumah tangga. Bantuan tersebut ia salurkan dari para sukarelawan yang menyambanginya saat pagi. Ketika kami berbincang santai sembari menikmati beberapa sajian kopi dan rokok, seketika Pak Djunaedi menasihati saya, “Hanya Allah yang tahu, mau diapain. Terkecuali, paribasana mah eweh-eweh teing ker ngalengkah cek paribasana mah, moal ditenden naon-naon.”

Meskipun saya kurang tahu artinya, tetapi secara tersirat saya mendapatkan gambaran mental dan upaya Pak Djunaedi untuk bertahan. Upaya tersebut seolah memberi informasi kepada saya, bahwa kita sebagai manusia tak akan pernah bisa melampaui kehendak Tuhan. Utamanya alam itu sendiri.

Kondisi mental dan trauma yang Pak Djunaedi beserta warga dan anak-anak lainnya alami, sepertinya tak pernah bisa diartikulasikan oleh data. Data selalu berbicara mengenai angka korban jiwa dan kerugian material yang ditimbulkan. Namun, data gagap membaca efek trauma para korban.

Melihat fenomenena itu saya memandang bahwa bantuan material dan pemulihan fisik lainnya memang diperlukan. Akan tetapi, aspek memori dan traumatis juga tak kalah pentingnya untuk diperhatikan, karena perlahan akan membentuk simpul trauma yang mereka gunakan dalam menyikapi fenomena kebencanaan berikutnya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Kerap dipanggil sebagai Suden, kini tinggal di Yoyakarta dan sedang menempuh pendidikan panjangnya di menfess Twitter.

Kerap dipanggil sebagai Suden, kini tinggal di Yoyakarta dan sedang menempuh pendidikan panjangnya di menfess Twitter.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Rekonsiliasi Konflik Tembakau melalui Kesenian Jaran Kepang