Perjalanan saya kali ini agak berbeda dari sebelumnya. Jika biasanya saya mengunjungi situs peninggalan kolonial atau rumah pengusaha abad ke-18, perjalanan yang saya lakukan sebelum Ramadan kala itu ingin menyelami lebih jauh budaya dan adat warga lereng Gunung Merapi dan Merbabu di Boyolali. Meski Ramadan sudah berlalu, tetapi tidak dengan rasa kebahagiaan dan kekeluargaan yang terpancar ketika berada di Desa Sumbung, Kecamatan Cepogo.
Bagi kalian yang tinggal di lereng gunung atau pinggiran kota, tentu tidak asing dengan tradisi Sadranan atau Nyadran. Setiap tahun menjelang Ramadan, saya tidak melupakan Nyadran sebagai amanat yang harus kita pertahankan supaya tidak lupa asal dan leluhur yang sudah wafat.
Begitu juga dengan warga Sumbung. Mereka menggelar Sadranan sebagai bagian dari budaya dan adat yang mereka warisi secara turun temurun dari para leluhur setempat. Bagi sebagian masyarakat di luar sana, Nyadran identik dengan makan bersama dan ajang silaturahmi. Dan itu yang saya alami selama sehari mengikuti Nyadran.
Namun, jangan salah sangka. Warga mempersiapkan tradisi tersebut sejak satu bulan sebelumnya. Biaya yang mereka keluarkan pun terbilang tidak sedikit untuk menjamu tamu dan menggelar acara bersih desa.
Sejarah dan Substansi Sadranan
Sadranan berlangsung setiap tahun hampir di setiap daerah di Jawa. Akan tetapi, tidak semuanya menggelar makan bersama, terkadang hanya bersih makam dan mendoakan leluhur. Adapun warga Desa Sumbung mengadakan acara makan-makan selepas bersih makam dan berdoa bersama.
Penyebaran pandemi Covid-19 sempat membuat upacara Sadranan di seluruh wilayah Boyolali vakum selama dua tahun. Hanya boleh melakukan ziarah dan bersih makam. Ari Wibowo dan keluarganya, rekan saya yang asli warga Desa Sumbung, turut merasakan masa-masa itu. Ketika pandemi berakhir dan pemerintah mengizinkan kembali penyelenggaraan kegiatan kebudayaan, Ari mengabarkan saya jika sadranan kembali digelar. Ia memberitahu dua hari sebelum acara.
Sadranan atau Nyadran, berasal dari kata sraddha yang artinya keyakinan atau kepercayaan. Tujuan tradisi ini adalah untuk mendoakan leluhur yang sudah wafat sebelum memasuki Ramadan, bulan puasa nan suci. Biasanya digelar pada bulan Syakban (Hijriah) atau Ruwah (penanggalan Jawa).
Seiring perkembangan zaman, Sadranan memuat acara kesenian dan kebudayaan. Wujud akulturasi budaya Jawa dan Islam. Hidup di desa berarti harus siap dengan segala konsekuensi dan tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya kewajiban gotong royong atau dalam bahasa Jawa nyengkuyung semua budaya dan adat yang sudah ada secara turun-temurun di desa.
Sebagai pelengkap, di akhir upacara digelar kembul bujono atau makan bersama di lingkungan makam. Namun, tradisi Sadranan merupakan adat turun-temurun dan setiap daerah bisa jadi berbeda.
Menurut rekan saya, “Ini [Sadranan] tradisi turun-temurun. Tidak ada yang tahu pasti kapan pertama kali digelar. Orang tua pun tidak tahu. Intinya tiap tahun akhir bulan Ruwah, mau puasa, seluruh warga desa ke makam untuk besik (bersih) makam, doa, dan diakhiri kembul bujono (syukuran).”
Tamu yang Serasa Keluarga
Selama saya mengikuti proses dari awal hingga akhir, apa yang Ari sampaikan benar adanya. Sadranan mulai sekitar pukul 08.00 pagi, rutenya kirab dari desa menuju makam. Kirab terdiri dari perwakilan setiap rumah tangga dengan bekal masing-masing untuk kembul bujono bersama.
Makanan tradisional tersaji, isinya urap sayur, ayam ingkung, lauk pauk dan beberapa jajanan pasar tradisional. Sesampainya di makam, mereka melakukan besik makam dan doa bersama. Setelah didoakan pemuka agama, kembul bujono pun berlangsung dan warga saling menukar makanan yang dibawa.
Semua agenda inti selesai sekitar pukul 10.00. Warga kembali ke rumah masing-masing untuk persiapan kedatangan tamu. Para tamu tidak hanya tetangga, penduduk desa sebelah, atau teman sekolah anak-anak mereka. Saya pun diterima dengan penuh suka cita. Bagi warga, kedatangan para tamu merupakan berkah dari Yang Mahakuasa.
Hal menarik selama saya berada di rumah rekan, sang ibu terkejut mendapati saya ikut mengabadikan momen perayaan ini. Ia tidak tahu keberadaan saya sebelumnya. Sang ibu menyampaikan ungkapan terima kasih dalam bahasa Jawa dengan nada terisak, “Oalah, Mas, Mas! Mbokdhe tidak tahu kalau kamu datang! Terima kasih sudah berkenan hadir, Mas. Kalau tahu mau datang, mendingan tidur sini. Ikut acaranya dari pagi. Silakan lanjutkan dulu. Kalau mulai lapar, langsung masuk rumah.”
Saat yang saya tunggu akhirnya tiba. Setelah dari pagi ikut di makam hingga siang, tiba waktunya makan bersama. Lagi-lagi, terjadi kejadian yang tidak saya duga. Sewajarnya tamu disuguhkan teh atau minuman ringan seperti soda. Akan tetapi, tidak bagi rekan saya. Ia membuatkan saya segelas kopi hitam khas Desa Sumbung. Padahal tidak ada yang minum kopi selain saya.
“Kopinya nanti saja. Minum teh dulu, ngemil, makan selesai, baru ngopi,” canda saya..
Sembari menghabiskan waktu obrolan kami, mata saya tertuju pada plastik hitam di atas meja. Isinya tape ketan berbungkus daun pisang. Pernahkah mencoba makan tape ketan dengan emping goreng? Rasanya enak. Cobalah sesekali. Selama mengikuti Nyadran di di sini, saya menghabiskan enam bungkus.
Pesan dari Sadranan
Ada hal menarik dan harus kita pahami ketika mengunjungi kehidupan warga desa. Selain menaati aturan dan adat yang berlaku. Pertama, jangan takut atau malu bertegur sapa dengan warga yang lebih tua. Kedua, anggap mereka saudara serta usahakan menerima semua kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki.
Menurut penuturan sesepuh desa, Sadranan atau Nyadran memiliki nilai budaya yang cukup tinggi di masyarakat. Nyadran merupakan momen bagi mereka yang masih hidup dan memiliki tanggung jawab untuk mendoakan leluhurnya yang telah wafat sebagai bentuk penghormatan.
Menurut saya, maknanya lebih dari itu. Nyadran amat erat kaitannya dengan kehidupan warga desa, begitu juga dengan rangkaian upacara yang mereka lalui. Upacara bertujuan memperkokoh rasa kerukunan dan kekeluargaan antarwarga.
Dalam pandangan saya, secara keseluruhan rangkaian upacara Nyadran memiliki maksud untuk tetap melestarikan budaya supaya tidak kehilangan jati diri. Dan terus mengingat asal usul dari leluhur yang telah wafat. Bagi mereka yang merantau, diharapkan kembali sesaat ke tanah kelahirannya untuk ziarah kepada leluhur.
Saya juga melihat mereka yang tengah merantau di Jakarta dan Surabaya menyempatkan diri hadir di Sadranan. Bagi mereka, Sadranan sama seperti Hari Raya Idulfitri. Semua keluarga berkumpul untuk ziarah dan makan bersama, lalu lanjut silaturahmi ke sanak saudara lainnya.
Bagi kalian yang baru pertama mengikuti upacara Sadranan, jangan terkejut apabila mendapat pesan seperti ini, “Mas, tahun depan ke sini lagi, ya? Kita tunggu pokoknya. Kalian sudah kita anggap keluarga juga di sini!”
Pesan itu saya dapat di tengah perbincangan dengan rekan saya dan sang ibu. Mereka pun juga sudah saya anggap sebagai keluarga. Sebelumnya sang ibu sempat menangis, lantaran saya tidak bisa memenuhi undangan Nyadran setahun lalu.
Pamit
Waktu hampir menjelang malam. Tidak nyaman kalau terlalu berlama-lama di sini. Sadranan di Desa Sumbung sebenarnya bisa berlangsung hingga tengah malam. Tergantung pemilik rumah. Apakah mereka tidak beristirahat? Tentu saja, iya. Namun, tidak lama karena tamu datang silih berganti.
Mempertimbangkan situasi saat itu, akhirnya saya putuskan untuk bergegas kembali ke kota Boyolali. Sepanjang perjalanan turun pun tak kalah heboh dengan di desa. Hampir seluruh warga tumpah ruah di jalan utama Boyolali—Magelang. Mereka hilir mudik untuk bertandang ke rumah rekan atau saudara.
Pihak yang mendapat kelimpahan rezeki tidak hanya warga desa. Kios-kios di sepanjang jalan ramai pembeli. Wujud nyata manfaat Sadranan, yang mulanya hanya di desa kini memberi dampak luar biasa untuk sektor ekonomi dan pariwisata.
Tentu tanpa bermaksud meninggalkan nilai budaya dan adat dari setiap desa yang menyelenggarakan Sadranan. Ziarah leluhur tetap menjadi prioritas, sedangkan kelimpahan rezeki merupakan nilai tambah dari tradisi tersebut. Begitulah pesan yang saya simpulkan dari perjalanan mengikuti Nyadran kali ini.
Selain keramahan dan kehangatannya, hal paling menarik dari warga desa di lereng gunung adalah rasa rendah hati dan senantiasa menyadari kekurangan yang mereka miliki. Terlebih ketika mereka tengah bekerja di ladang. Hanya rasa kagum dan hormat yang bisa saya sampaikan.
Apabila bertemu mereka di pinggir ladang, jangan sungkan untuk menyapa. Setidaknya berkata: permisi, Pak/Bu, numpang lewat; pasti akan dijawab dengan menawari kita untuk mampir ke rumah mereka. Padahal kita tidak saling kenal, tetapi mereka senang dengan hal-hal sederhana seperti ini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.