Interval

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (2)

Pada perkembangannya, api abadi Mrapen menjelma menjadi objek wisata yang memiliki daya tarik tinggi berupa keajaiban geologis. Adanya api abadi yang keluar dari bawah tanah, sendang yang airnya bergolak seperti air mendidih—tetapi tidak panas; benar-benar menyedot banyak wisatawan.

Pamor api abadi Mrapen semakin bersinar dan menjulang hingga kancah nasional, setelah event olahraga tingkat nasional mengambil api dari Mrapen untuk menyalakan obornya. Juga adanya kegiatan keagamaan yang melibatkan keberadaan api di Mrapen.   

Api Abadi Mrapen dalam Pedoman Tamasja Djawa Tengah (1961)

Eksistensi api abadi Mrapen sejak dulu tidak hanya menjadi pusat perhatian masyarakat, tetapi juga menyedot banyak wisatawan karena dianggap sebagai fenomena yang ajaib. R. O. Simatupang, misalnya, mengungkap hal itu dalam buku Pedoman Tamasja Djawa Tengah (1961).

Dalam buku itu, Simatupang menyebutkan daerah Purwodadi—dulu orang menyebut Grobogan dengan Purwodadi—benar-benar banyak yang ajaib. Di samping sumber air garam alam (Bledug Kuwu), juga terdapat api abadi (eeuwig vuur) di Desa Merapen, Kawedanan Manggar di Godong, kira-kira 20 km sebelah barat Kota Purwodadi. sekarang masuk wilayah Desa Manggarmas, Kecamatan Godong.

Api ini, menurut Simatupang, semacam api karbit yang menyala terus siang malam berabad-abad lamanya sampai dunia kiamat. Api ini dapat dipakai masak.

Menurut dongeng, pada zaman dahulu kala hidup seorang tukang besi yang pandai sekali membuat keris-keris pusaka. Empu Supo, tukang besi itu sangat termasyhur dan oleh karena kesaktiannya hingga kini api yang dipakai untuk membakar besi masih terus menyala.

Tidak jauh dari api itu terdapat kolam air. Dahulu digunakan untuk mendinginkan keris yang selesai dibuat oleh Empu Supo. Terdapat juga sebuah paron atau landasan untuk memukul besi.

Prapen yang merupakan tempat membakar besi untuk dijadikan keris, kini hanya berupa sebuah tumpukan batu setinggi kurang lebih 75 cm dan luasnya 1 m2. Di bagian puncak dan sela-sela batu keluar api yang belum pernah padam. Biarpun hujan lebat, angin topan, atau sengaja disiram air. 

Nyalanya api hampir sama dengan api dapur. Akan tetapi, kalau batu-batu itu dibongkar, tidak terdapat kayu-kayu atau bahan bakar lainnya. Bahkan jika batu-batu itu digeser, segera dari dalam tanah akan keluar api.

Adapun nyalanya api tetap stabil, tidak pudar atau menjadi-jadi. Hanya kadang-kadang berpindah dari celah satu ke celah lainnya, tetapi belum sampai pindah dari lingkungan Kampung Mrapen yang luasnya lima hektare. Apabila api tersebut hendak berpindah tempat, maka akan muncul suara semacam tangan menebah pada dinding. 

Batu-batu yang dibakar terus-menerus lambat laun semakin hancur dan berubah jadi batu kapur yang berwarna keputih-putihan. Apabila digoreskan dengan benda keras akan keluar sinar api.

Beberapa meter dari api abadi terdapat kolam yang airnya kelihatan mendidih, tetapi tidak panas. Kolam ini belum pernah kering atau airnya meluap-luap. Busa-busa air dari kolam tidak boleh didekatkan api, sebab bisa segera menyala seperti bensin yang tepercik api.

Kalau kedua benda (prapen dan kolam) peninggalan Empu Supo mempunyai keajaiban sendiri-sendiri, maka lain halnya dengan paronnya. Paron tersebut berbentuk alat penempa. Bukan terbuat dari besi, melainkan dari batu yang disebut Watu Bobot dan beratnya kurang lebih 10 kg. Watu Bobot ini bisa meramalkan cita-cita Anda akan terkabul atau tidak. Sambil bersila Anda harus memeluk batu itu dan mengangkat ke atas. Jika terangkat ke atas berarti cita-cita Anda akan terkabul. 

Menurut cerita, batu ini pada zaman penjajahan pernah diangkat oleh seorang pemuda Belanda dan kemudian dibanting sehingga menjadi terbelah. Kini Watu Bobot disatukan kembali dengan cara diikat. Walaupun sudah tidak utuh lagi, Watu Bobot masih tetap dipandang keramat.

Apa yang disampaikan oleh Simatupang merupakan ekspresi ketakjuban terhadap fenomena geologi yang menjadi daya tarik objek wisata api abadi Mrapen. Daya tarik itulah yang menyedot banyak wisatawan untuk datang berkunjung dan melihatnya.

Api Abadi Mrapen dalam Agenda Olahraga dan Keagamaan

Perkembangan menarik dari objek wisata api abadi Mrapen adalah sejak apinya diambil untuk dijadikan nyala obor bagi sejumlah event olahraga. Baik itu di tingkat nasional maupun internasional, seperti Games of New Emerging Forces (GANEFO), Pekan Olahraga Nasional (PON), SEA Games, dan Para Games.

Dari sejumlah monumen yang dibangun di kompleks objek wisata, pengambilan api Mrapen untuk event olahraga sudah dimulai sejak 1963. Tercatat pada Jumat, 1 November 1963, api Mrapen diambil untuk nyala obor even GANEFO I yang rangkaian upacara pengambilannya dipimpin oleh Mochtar, gubernur Jawa Tengah ketika itu.

Lalu pada Selasa, 8 September 1981, diadakan pengambilan api Mrapen untuk PON X yang berlangsung di Jakarta. Monumen yang mengabadikan momen ini ditandatangani oleh Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat ketika itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Berikutnya pengambilan api Mrapen untuk PON XIV berlangsung pada Jumat, 23 Agustus 1996. Momen ini juga diabadikan dalam monumen yang ditandatangani oleh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga ketika itu, Hayono Isman.

Selain PON, api Mrapen juga diambil untuk sejumlah event olahraga lainnya, seperti Pekan Olahraga (POR) PWI I di Semarang pada Rabu, 9 Februari 1983. Rangkaian acara tersebut dipimpin oleh Supardjo Rustam, gubernur Jawa Tengah saat itu. Sebelumnya pada Rabu, 8 September 1982, api Mrapen diambil untuk upacara peresmian Stadion Sriwedari Surakarta, salah satu stadion tertua di Indonesia yang menjadi tempat penyelenggaraan PON I tahun 1946.

Tidak hanya itu, api Mrapen juga diambil untuk pembukaan event olahraga berskala Asia Tenggara dan dunia. Antara lain SEA Games XXVI 2011 di Jakarta dan Palembang, yang mengambil api dari Mrapen untuk nyala obornya. 

Kemudian, pada gelaran ASEAN Para Games XI 2022 yang diadakan di Kota Solo, dibuka dengan torch relay atau estafet obor dengan api yang juga diambil dari Mrapen. Api pertama kali diambil oleh Direktur III Bidang Pendukung Pertandingan Indonesia National Paralympic Organization Committee (INASPOC), Hendri Oka. Kemudian, diserahkan kepada Sekretaris Daerah Jawa Tengah, Sumarno, diteruskan ke Bupati Grobogan, Sri Sumarni, dan terus berlanjut hingga bersemayam di Balai Kota Surakarta.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (2)
Prosesi pengambilan api suci Waisak oleh umat Buddha di wisata api abadi Mrapen/Kompas.com

Di luar event olahraga, api Mrapen juga digunakan setiap tahun dalam perayaan upacara Waisak di Candi Borobudur, Magelang. Saat mengambil api, para bhikkhu, perwakilan majelis Buddha, dan masyarakat Buddha akan hadir untuk mengikuti prosesi pengambilan api dharma di kompleks api abadi Mrapen.

Sebelum mengambil api dharma, mereka akan membakar kemenyan sebagai tanda dimulainya prosesi. Api dharma kemudian disulut menggunakan obor oleh masing-masing perwakilan majelis Buddha dan dibawa ke mobil bak terbuka. 

Prosesi dilanjutkan dengan menyalakan api ke anglo berbentuk bunga teratai di atas mobil untuk dibawa menuju Candi Mendut, Magelang. Di Candi Mendut, api akan disemayamkan dan disakralkan dengan dibacakan paritta suci oleh Bhikkhu Sangha. Selanjutnya api dari Mrapen bersama air dari Umbul Jumprit, Temanggung, akan dibawa ke Candi Agung Borobudur dan malamnya digunakan dalam kegiatan detik-detik perayaan Waisak.

Direktur Urusan dan Pendidikan Ditjen Bimas Buddha, Supriyadi, sebagaimana dikutip Kompas.com (2/6/2023), mengatakan bahwa secara filosofi api abadi mengandung makna kekuatan. Api menjadi perlambang semangat bagi umat Buddha untuk terus mengembangkan dharma.

Api Abadi Mrapen, Riwayatmu Kini

Serpihan cerita api Abadi Mrapen dengan segala pesona dan keagungannya, (seharusnya) bisa menjadi daya tarik wisata yang bisa dieksplorasi dan menyedot pengunjung. Bila mengacu kepada prinsip pengembangan wisata yang bisa dipromosikan, antara lain atraksi, amenitas, dan aksesibilitas, api abadi Mrapen sudah lebih dari siap untuk dikembangkan dan/atau direvitalisasi.

Sejak lahan dan pengelolaannya diambil alih oleh Pemprov Jawa Tengah pada 2012, api abadi Mrapen tampil lebih “wah”. Pemprov telah menggelontorkan biaya miliaran rupiah untuk membangunnya. Seluruh objek yang menjadi daya tarik wisata, yaitu api abadi, Sendang Dudo, dan Watu Bobot, semuanya telah dipoles dengan baik. Dilengkapi pula fasilitas dasar, seperti toilet, musala tempat parkir, tempat istirahat, serta pusat jajanan. Bahkan dibangun gedung olahraga yang cukup megah. 

Akses menuju objek wisata api abadi Mrapen juga sangat mudah. Lokasinya lumayan strategis, berada di Jalan Raya Purwodadi—Semarang yang bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun transportasi umum. Bahkan dilewati bus Trans Jateng Koridor VI trayek Semarang—Grobogan.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (2)
Salah satu sesi acara dalam rangkaian Mrapen Culture Festival yang digelar oleh Komunitas I Love Gubug/Badiatul Muchlisin Asti

Sayangnya—sepertinya—segala potensi yang dimiliki itu belum dieksplorasi dan dikembangkan secara optimal, sehingga objek wisata api abadi Mrapen saat ini cenderung sepi pengunjung atau boleh dibilang mengalami “krisis pengunjung”. Objek wisata ini seperti kehilangan pamor dan daya tariknya. Ramainya hanya saat ada momen-momen tertentu, seperti pengambilan api untuk event olahraga dan api dharma dalam perayaan Waisak.

“Krisis pengunjung” itulah yang menjadikan Komunitas I Love Gubug (KILG) pada akhir tahun lalu, tepatnya selama Jumat—Minggu, 28—30 Desember 2023, menyelenggarakan kegiatan bertajuk Mrapen Culture Festival #1 di kompleks api abadi Mrapen. Inisiator kegiatan, Muh. Umar, menyatakan perhelatan Mrapen Culture Festival berawal dari keprihatinannya melihat sepinya pengunjung api abadi Mrapen, padahal bangunannya sudah mumpuni dan bagus.

Ia berharap, festival dapat menjadi titik awal bangkitnya kembali objek wisata api abadi Mrapen. Sehingga pamornya kembali bersinar, ramai dikunjungi wisatawan, dan bisa semakin berkibar di kancah kepariwisataan nasional.


Referensi

Kompas. (2023, 2 Juni). Api Abadi Mrapen, Tempat Pengambilan Api Dharma untuk Perayaan Waisak. Diakses dari https://regional.kompas.com/read/2023/06/02/074600578/api-abadi-mrapen-tempat-pengambilan-api-dharma-untuk-perayaan-waisak?page=all.
Simatupang, R. O. (1961). Pedoman Tamasja Djawa Tengah. Djakarta: Penerbit Keng Po.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Merekonstruksi Kisah dan Menggali Fakta Sejarah Ki Ageng Tarub (3)