Travelog

Sepenggal Kisah Eksistensi Pasar Gede Hardjonagoro Solo yang Terlupakan

“Pasar Gede ora sare”, begitu kira-kira istilah yang tepat menggambarkan keriuhan Pasar Gede Hardjonagoro di Jalan Jend. Urip Sumoharjo Solo. Pasar Gede tidak tidur. Maknanya, selama sehari penuh aktivitas masyarakat Pasar Gede tidak pernah berhenti. Ketika menjelang Subuh, hilir mudik tengkulak dan pembeli tiada henti menyambangi. Lalu lalang kendaraan dan masyarakatnya senantiasa mewarnai kesibukan pasar induk Kota Solo tersebut setiap hari. 

Keberadaan Pasar Gede semakin menonjol lantaran keberadaannya tepat di tengah Kampung Pecinan Balong. Tak ayal, setiap tahun baru Imlek tiba, masyarakat umum tumpah ruah menyaksikan gemerlap lampion dan atraksi barongsai singa dari Kelenteng Tien Kok Sie, atau biasa disebut Kelenteng Pasar Gede. Letaknya tepat di selatan pasar.

Tidak berbeda jauh dengan keramaian Pasar Cepogo yang saya sambangi sebelumnya. Dua pasar yang memiliki kesamaan sebagai pasar tradisional, hanya saja berbeda keriuhannya. Penelusuran saya kali ini masih sendirian, guna mendekatkan diri dengan segala hal yang mungkin terjadi. Selain itu juga lebih leluasa mengabadikan momen dan menghabiskan waktu bercengkerama dengan warga setempat.

Sepenggal Kisah Eksistensi Pasar Gede Hardjonagoro Solo yang Terlupakan
Tampak depan gedung induk Pasar Gede Hardjonegoro Solo/Ibnu Rustamadji

Melihat Masa Lalu Pasar Gede

Setelah sekitar 35 menit berkendara dari Boyolali ke arah timur, tibalah saya di Kota “Bengawan” Solo. Ada dua pasar yang saya telusuri, yakni Pasar Gede induk dan pasar buah di sebelah baratnya. Keduanya satu kesatuan, hanya terpisahkan Jalan Jend. Urip Sumoharjo.

Sembari mencari kantung parkir, mata saya langsung tertuju pasar induk untuk penelusuran pertama. Terdapat rambu peringatan dilarang parkir di tepi jalan. Ternyata jika hendak menuju kedua pasar diharuskan parkir di utara pasar. Ada petugas yang mengarahkan, jadi tidak perlu bingung mencari tempatnya.

“Nah, kalau begini, kan, enak. Parkiran luas dan tidak mengganggu jalan utama,” batinku.

Langkah kaki saya dan lensa kamera yang saya bawa sudah tidak sabar mengabadikan setiap momen. Plakat bertuliskan “Pasar Gede Hardjonagoro” menjadi tanda bahwa Pasar Gede sudah di depan mata. Hanya saja, pandangan sedikit teralihkan plakat kecil di samping kiri pintu masuk.

Plakat tersebut menunjukan bahwa Pasar Gede Hardjonagoro sudah berstatus bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Solo. Selidik punya selidik, setelah berkomunikasi via pesan singkat dengan rekan saya, Heri Priyatmoko, Pasar Gede sudah berumur 95 tahun. Rasa penasaran bercampur bahagia memuncak, tatkala ia menceritakan masa lalu pasar kebanggan wong Solo ini.

Awal pertama kali Pasar Gede didirikan sekitar tahun 1929 oleh arsitek kenamaan Hindia Belanda, yakni Ir. Herman Thomas Karsten. Lahan Pasar Gede saat ini, di awal abad ke-19 merupakan tanah milik pejabat pemerintah berstatus Kapitein der Chinezen bernama Be Kwat Koen.

Pasar Gede awalnya hanya pasar oprokan atau lesehan, didominasi pedagang luar kota. Mereka tahu kawasan tersebut bernama Kampung Pecinan. Pedagang luar kota tersebut berjualan lesehan, sedangkan pedagang Tionghoa memilih berdagang di rumah toko mereka.

Pasar oprokan semakin menjamur, kapitan Be Kwat Koen menjalin kerja sama kontrak selama 40 tahun dengan residen Solo, yakni Tuan Schneijder guna mengelola pasar tersebut. Kapitan Be Kwat Koen mendapat konsesi mengelola tanah dan pasar hingga tahun 1924.

Setelah Tuan Schneijder purna jabatan, pemerintah kolonial mengambil alih konsesi seluruh tanah dan pasar. Sebagai gantinya, Be Kwat Koen diberi dana sebesar 35.000 Gulden melalui bank negara Nederlandsche Handel Maatschappij Semarang. 

“Residen pensiun, pemerintah ganti untung dengan kapitan Be untuk mengelola lahan dan pasar,” jelas Heri.

Setelah urusan dan pengangkatan residen Solo berikutnya, yaitu Tuan Van Der Jagt selesai, pemerintah memutuskan segera menyusun rencana perbaikan pasar. Ada dua rencana utama, yakni perbaikan kebersihan dan tata letak pasar dari yang sebelumnya di persimpangan jalan.

Mendengar kabar revitalisasi pasar oprokan tersebut, Sunan Pakubuwana X dan Gusti Mangkunegara VII hadir meninjau dan bertemu langsung dengan sang residen. Mereka mencapai mufakat untuk segera menyelesaikan proyek tersebut dan bersedia menyumbang dana.

Menindaklanjuti hal itu, Tuan Van Der Jagt memerintahkan Asisten Residen Solo Tuan Berstch mencari insinyur untuk memperbaiki kondisi pasar. Ia pun segera menghubungi arsitek sekaligus perencana kota kenamaan Hindia Belanda, Ir. H. Thomas Karsten.

Thomas Karsten menerima pekerjaan tersebut, lalu segera mengajukan rancangan pertama perbaikan pasar kepada Van der Jagt. Pada waktu yang bersamaan, ia menyerahkan rancangan akhir jembatan Van der Jagt yang menghubungkan kantor balai kota, Kampung Kebalen, Kampung Baru, dan Pasar Gede saat ini.

Sesaat setelah rancangan awal Thomas Karsten diterima, penilaian pertama dilakukan oleh direktur Rijsk werken Tuan Zijlmans dan penasihat Van der Veen. Setelahnya dikaji kembali oleh Residen Tuan Van der Jagt, Asisten Residen Bertsch, wakil akuntan pemerintahan Tuan Jansz dan kepala bendahara Tuan B. J. F. Steinmetz.

“Hasil penilaian rancangan pertama, ditolak. Karena gedung pasar berdiri di atas jalur tram aktif. Desain pasar induk sudah disetujui bersama, hanya tata letaknya yang ditolak,” ungkap Heri lebih lanjut.

Rancangan pertama Thomas Karsten mendirikan tiga gedung pasar. Namun, karena lokasi di sekitar jalur tram aktif dan dana yang terkumpul sekitar 400.000 Gulden, hanya dua gedung yang bisa dibangun. Total dana dihabiskan sekitar  315.000 gulden, sisanya untuk membiayai pasar sementara di alun-alun pelebaran jalan.

Dana bersumber dari pemerintahan Gusti Mangkunegara VII dan Sunan Pakubuwana X. Pada pertengahan tahun 1928, rancangan diperbarui dan disempurnakan, lalu awal Januari 1929 proses pembangunan Pasar Gede dilaksanakan. Bekerja sama dengan Nederland Vereniging (N. V.) Braat & Co Surabaya dan N. V. Hollandsche Beton Maatschappij, proyek tersebut diperkirakan selesai setahun. Proses pembangunan berjalan lancar hingga selesai pada 11 Januari 1930.

Peresmian dilakukan hari Senin pagi, 13 Januari 1930. Upacara simbolis dilakukan Ratu Hemas dari Keraton Kasunanan Solo disusul pidato sambutan Gubernur Van Helsdingen, yang menggantikan Residen Van der Jagt. Dalam pidatonya, Van Helsdingen menaruh harapan kesuksesan Pasar Gede beriringan dengan perkembangan masyarakat Kota Solo. Di akhir sambutan, Van Helsdingen mempersilakan tamu minum minuman menyehatkan dan berkeliling menikmati panorama Kota Solo dari lantai dua Pasar Gede.

Merujuk catatan milik Heri, Van Helsdingen yang menutup rangkaian upacara sempat berucap, “Slametlah Pasar Besar Surakarta Adiningrat.” Sebagai simbol bahwa pasar sudah diresmikan dan siap digunakan. 

Sepenggal Kisah Eksistensi Pasar Gede Hardjonagoro Solo yang Terlupakan
Kondisi lantai dua Pasar Gede sisi barat/Ibnu Rustamadji

Pasar Gede Kini

Setelah puas mendapat cerita masa lalu Pasar Gede, kini saatnya saya menikmati suasana baru setelah dilakukan revitalisasi dan penataan. Awal operasional Pasar Gede sebagai pasar tradisional menjual barang kebutuhan pokok dan perhiasan. Setelahnya, gedung induk difungsikan sebagai pasar ikan. Hingga dewasa ini, gedung induk dan barat digunakan untuk pasar kebutuhan pokok dan buah.

Saat menginjakkan kaki semakin dalam, keriuhan semakin menjadi. Tidak perlu waktu lama saya beranjak ke lantai dua gedung induk, untuk melihat lebih luas cakupan kios pedagang yang harus saya lalui. 

Dilihat dari lantai dua, Pasar Gede memiliki dua pintu utama dalam satu garis lurus di sisi barat dan timur. Rangka atap berbahan besi dan kayu jati yang saling mengunci satu sama lain. Jelas Pasar Gede adalah hasil karya arsitektur zaman dahulu. Lapak pedagang berhadapan satu sama lain, menambah cita rasa Pasar Gede sebagai jantung ekonomi semakin kental.

Saya beranjak menuju sela-sela lapak untuk mengabadikan momen kegiatan perdagangan. Tengah asik memotret, tiba-tiba lensa kamera tertuju pada satu lapak penjual jajanan tradisional dengan menggunakan tenongan.

“Satunya berapa, Bu, rotinya?” tanyaku.

“Beda-beda, Mas. Ada yang seribu, ada yang dua ribuan, silakan mau yang mana,” jelas salah satu pedagang beraksen Jawa, sambil menunjukkan ragam kue tenongannya.

Sambil melihat-lihat, saya putuskan membeli kue bolu kukus, lapis legit, dan kue basah untuk mengganjal perut selama menyusuri Pasar Gede. Total kue yang saya beli sebanyak tujuh macam seharga 15 ribu rupiah. Harga kue memang tidak saya tawar, berbeda ketika membeli sayur atau buah.

Keramahan para pedagang terlihat jelas menggambarkan jiwa wong Solo. Meskipun mereka hanya sebatas pedagang pasar tradisional. Bau bumbu dapur senantiasa menyeruak di beberapa sudut lapak dan itu bisa dimaklumi. Inilah salah satu keunikan pasar tradisional, yang sudah semakin terkikis perkembangan zaman. 

Karena terlalu asyik menelusuri keindahan gedung induk Pasar Gede, tanpa saya sadari sudah berada di pintu masuk sisi timur. Saatnya saya berkeliling sisi luar dan dan berpindah ke gedung barat. 

Gedung barat yang saya datangi berbeda dengan gedung induk meski satu kesatuan dengan Pasar Gede. Mayoritas komoditas yang diperdagangkan di sini adalah buah-buahan dan ada warung makan. Lapak buah di lantai dasar, sedangkan warung di lantai atas. Panorama yang bisa dilihat dari lantai dua antara lain gedung induk Pasar Gede, Kelenteng Tien Kok Sie, kawasan Pecinan, dan Jalan Jenderal Sudirman.

Pedagang di kedua gedung tampak saling bersinergi satu sama lain meski yang dijual berbeda. Menurut saya, jika ingin berkunjung ke Pasar Gede, yang harus pertama dikunjungi adalah gedung induk dan warung kopi “Podjok” di utara gedung induk. Setelahnya baru menikmati keramaian, seperti yang saya lakukan di lantai dua gedung Pasar Gede sisi barat.

Sepenggal Kisah Eksistensi Pasar Gede Hardjonagoro Solo yang Terlupakan
Suasana menjelang senja di kawasan Pasar Gede/Ibnu Rustamadji

Tidak perlu khawatir kondisi sekitarnya. Cukup terawat dan tertata. Kantung parkir disediakan dan bakal dibantu petugas untuk mencarinya. Para pedagang juga cukup ramah, setia menunggu pembeli mampir ke lapak mereka.

Tawar-menawar sewajarnya tetap harus dikedepankan. Bagaimanapun, kehidupan para pedagang tergantung pada hasil jualan mereka sepanjang hari. Jika hanya ingin bersantai atau menunggu kerabat berbelanja, lebih baik berada di gedung pasar sisi barat.

Bagi para pegiat fotografi, tersedia beberapa areal yang cukup mudah dijangkau, seperti tugu jam Pasar Gede atau Kelenteng Tien Kok Sie. Biasanya terdapat lampion gantung di kedua tempat tersebut.

Senja mulai menggelayut. Penelusuran saya di Pasar Gede Solo turut berakhir. Saya puas menikmati cerita masa lalunya, keramahan pedagang, dan eksotisme gedung pasarnya. “Maka nikmat Tuhan mana yang engkau dustakan” benar-benar saya alami selama menjelajahi Pasar Gede. Besar harapan saya, keberadaan pasar tradisional di mana pun tidak lekang oleh waktu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo