Interval

Bagaimana Kabarmu, Bumi?

Jika ada satu hal yang sangat jelas terasa dan menandakan bumi semakin renta, itu adalah temperatur udara yang terasa kian panas dari hari ke hari. Tidak usah jauh-jauh. Lihat saja di daerah sekitar tempat tinggal kita. Cuaca dahulu sewaktu kita kecil berbeda dengan masa kini. 

Saya pernah mengalami tinggal cukup lama di Kota Malang untuk kuliah. Kata dosen saya, dulu di era 1980 hingga 1990-an mahasiswa dan pengajar memakai jaket atau sweater untuk menghalau dingin. Padahal kelas berlangsung siang hari. Sekarang saat malam pun sudah tidak terlalu dingin. Apalagi di kota-kota yang memang sudah panas dan makin panas tiap tahunnya, seperti Surabaya, Semarang, Medan, Riau, Balikpapan, Makassar, Kupang, dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Belakangan kita tahu itu adalah dampak dari perubahan iklim. Bumi tidak hanya memanas, tetapi juga mendidih. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui siaran pers “Rapat Nasional Prediksi Musim Kemarau 2024” (10/02/2024), menerangkan jika Badan Meteorologi Dunia (WMO) mencatat tahun 2023 sebagai tahun terpanas, dengan anomali suhu rata-rata global mencapai 1,4 derajat Celcius. Untuk itulah dalam Paris Agreement pada 2015 memberi mandat negara-negara dunia harus berkolaborasi menahan laju pemanasan global di angka 1,5 derajat Celcius.

Di luar itu, bumi seolah memberitahu para penghuninya, bahwa ia memiliki derita lain yang harus kita lihat dan alami. Sebut saja banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, badai siklon tropis atau kekeringan ekstrem, hingga kenaikan permukaan air laut; yang mana peningkatan kejadian bencana tersebut sejatinya satu rangkaian siklus juga dengan adanya perubahan iklim.

Bagaimana Kabarmu, Bumi?
Bentuk nyata deforestasi hutan untuk pembukaan lahan pertambangan atau perkebunan di Kabupaten Berau/Mauren Fitri

Penyebab bumi kian merapuh

United Nations dalam rilisnya pada 18 Maret 2022, menyebut emisi gas rumah kaca sebagai penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim. Banyak faktor yang turut bertanggung jawab pada peningkatan emisi gas rumah kaca tersebut beberapa tahun belakangan.

1) Pembuatan energi berbahan bakar fosil

Pembakaran bahan bakar fosil sebagai sumber energi listrik dan panas menghasilkan emisi global dalam skala besar. Tak bisa dimungkiri, pasokan energi listrik di dunia saat ini masih bergantung pada batu bara, minyak, dan gas. Hanya segelintir, kira-kira seperempat dari energi listrik global yang bersumber dari tenaga angin, tenaga surya, atau sumber daya energi baru terbarukan lainnya.

2) Industri manufaktur

Lagi-lagi bahan bakar fosil masih jadi “gantungan hidup” untuk sumber energi kegiatan industri manufaktur. Bukan hanya sebagai bahan baku, melainkan juga memasok energi untuk operasional industri. Misalnya, produksi semen, besi, baja, elektronik, plastik, atau pakaian. Industri yang berusaha memenuhi permintaan atau gaya hidup manusia, yang populasinya semakin bertambah dari waktu ke waktu.

3) Peningkatan laju deforestasi

Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami laju deforestasi terparah di dunia. Musuh besar hutan-hutan tropis di negeri ini adalah pertambangan, kelapa sawit, alih fungsi lahan untuk permukiman, pertanian, peternakan, dan perkebunan lainnya. Kawasan-kawasan konservasi kian terimpit. Tak terhitung konflik horizontal terjadi antara kelompok masyarakat, bahkan konflik satwa yang keluar kawasan dengan penduduk lokal.

4) Penggunaan transportasi berbahan bakar fosil

Tak bisa terhindarkan, jika mobilitas kita masih sangat bergantung pada kendaraan yang beroperasi menggunakan bahan bakar fosil. Sepeda motor, mobil, kereta api, kapal, hingga pesawat. Menaiki transportasi umum juga belum menjadi kebiasaan banyak orang. Terutama di daerah yang belum terjangkau kereta api atau transportasi publik lainnya. Ekosistem transportasi dengan energi terbarukan pun belum sepenuhnya siap, khususnya di Indonesia.

5) Produksi pakan untuk pertanian dan peternakan

Produksi pupuk untuk peternakan atau penggembalaan hewan ternak, seperti sapi maupun kambing juga menghasilkan emisi gas rumah kaca. Begitu pun dengan operasional peralatan pertanian maupun perahu nelayan yang masih bergantung pada bahan bakar fosil. Proses selanjutnya hingga ke hilir, mulai dari pengemasan sampai distribusi hasilnya juga berdampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca.

6) Pemakaian konsumsi energi berlebihan

Ini adalah sesuatu yang amat lekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Tak dapat disangkal. Kita masih memerlukan listrik dan air untuk menunjang kehidupan sehar-hari. Mengecas laptop, ponsel, kamera, menyalakan televisi, internet, pendingin udara (AC), menggunakan mesin cuci dan kulkas, serta penggunaan aneka peralatan elektronik lainnya. United Nations menyebut, gaya hidup kita berdampak besar terhadap planet kita. Orang terkaya (seharusnya) memiliki tanggung jawab terbesar, karena satu persen di antaranya menyumbang lebih banyak emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan 50 persen orang termiskin.

Bagaimana Kabarmu, Bumi?
Lahan instalasi PLTS di Kampung Merabu, Berau, Kalimantan Timur. Sebuah upaya lintas sektor untuk mewujudkan kemandirian energi dan mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil/Deta Widyananda

Yang harus dilakukan selanjutnya

Entahlah. Membicarakan perubahan iklim seperti mendiskusikan sesuatu yang utopis. Tak menguntungkan banyak pihak. Tak akan terselesaikan. Terlebih menggantungkan harapan pada pemerintah atau pemangku kebijakan. Lebih-lebih bagi sebagian pengusaha industri ekstraktif dan eksploitatif—jika tak mau disebut seluruhnya—seperti kelapa sawit atau pertambangan; perubahan iklim hanya sebutir debu yang tak berarti apa-apa. Keresahan rakyat sipil maupun

Pada akhirnya, menunggu kebijakan konkret menghadapi perubahan iklim dari para pemegang kepentingan tampaknya terlalu buang-buang waktu. Terlalu banyak kepentingan yang akan terbentur untuk disisipkan agenda memperbaiki gaya hidup demi lingkungan yang lebih baik.

Satu-satunya jalan untuk bisa berkontribusi melambatkan laju pendidihan global adalah dimulai dari diri sendiri. Melakukan sesuatu semampu kita. Berusaha bijak untuk sadar, bahwa ruang tumbuh di bumi sejatinya masih terbuka lebar, selama kita sebagai manusia mau wawas diri pada apa yang kita lakukan atau hasilkan. Memilah sampah dari rumah, mengurangi sampah anorganik, membatasi pemakaian listrik, hingga memaksimalkan kesempatan menaiki transportasi umum.

“Earth Day” bukan sekadar seremonial untuk satu hari saja. Memperingati Hari Bumi, yang berarti mengingat bumi, adalah sesuatu yang harus jadi pijakan melanjutkan kehidupan sehari-hari. Setidaknya kita luangkan bertanya kepada bumi di setiap pagi, bagaimana kabarmu, sebelum kita meneruskan langkah untuk bekerja maupun kegiatan lainnya. Berharap bumi baik-baik saja ketika semakin menua, di tengah golakan alam yang tidak terprediksi.


Foto sampul:
Hamparan perkebunan kelapa sawit di Tangkahan, Sumatra Utara, yang menjepit habitat gajah sumatra dan batas konservasi Taman Nasional Gunung Leuser. Aktivitas perkebunan kelapa sawit juga menghasilkan emisi gas rumah kaca melalui operasional transportasi atau alat berat lainnya yang berbahan bakar fosil/Deta Widyananda


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim