Siang menjelang petang, sahabat saya, Zelphi, dan saya duduk lesehan di pelataran salah satu masjid di Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Kami sengaja mengaso sejenak dalam perjalanan menggunakan sepeda motor dari daerah Pamoyanan, Cicalengka, menuju Kota Cimahi.
Hari itu adalah hari pertama di bulan September 2021. Kata orangtua dahulu, bulan-bulan yang namanya berakhiran ‘ber’ adalah bulan-bulan musim penghujan. Tapi, itu mungkin dahulu, saat zaman masih dibilang normal. Sekarang, sering kali pergantian musim tidak lagi sesuai dengan pola iklim yang semestinya berjalan. Kemarau dapat saja berlangsung lebih lama dari yang kita perkirakan, seperti yang terjadi pada tahun 2015 dan tahun 2019 lalu.
“Nanti, kita mampir ke masjid terapung di Gedebage. Mudah-mudahan cuacanya bagus,” kata Zelphi sembari membereskan tas punggungnya.
Kami segera berkemas untuk melanjutkan perjalanan.
Jarak yang harus kami tempuh dari Rancaekek ke masjid terapung di Gedebage sekitar 14 kilometer. Untuk menuju Gedebage, ada beberapa pilihan rute. Kami memilih rute kampung, yaitu dengan mengikuti aliran Sungai Citarik.
Alasan memilih rute tersebut antara lain untuk menghindari ruas Jalan Raya Rancaekek. Sebagai jalan raya utama yang menghubungkan Bandung dan Garut serta Tasikmalaya, Jalan Raya Rancaekek senantiasa disesaki aneka jenis kendaraan. Di jam-jam sibuk saat pergantian shift pekerja pabrik, kemacetan dan kebisingan sulit terhindarkan.
Rancaekek dulunya adalah kawasan pertanian. Awal tahun 1980-an, sebagian kawasan Rancaekek mulai berubah menjadi kawasan industri—dengan berbagai dampak positif dan negatifnya. Menuju Gedebage dari Rancaekek menggunakan rute kampung dengan menyusuri aliran Sungai Citarik, selain terbebas dari kemacetan dan kebisingan, mata kita pun sedikit dimanjakan dengan suguhan panorama perkampungan di mana sawah dan kebun masih dapat kita saksikan.
Sepeda motor melaju tidak terlalu kencang. Angin berhembus sepoi-sepoi. Kemarau yang telah berjalan beberapa bulan membuat air Sungai Citarik menyusut drastis. Namun, sungai itu tidak kering kerontang sama sekali. Kami sempat melihat beberapa orang berdiri di tepi sungai sedang membereskan jala. Mereka adalah warga yang sedang mencari ikan dengan jalan menebar jala ke aliran sungai.
Di bagian lainnya, kami melihat pula sejumlah anak sedang bermain-main di tepi sungai. Beberapa di antaranya berenang-renang di bagian tengah sungai yang airnya tidak begitu jernih dan cenderung berlumpur. Tapi, mereka tampak riang gembira. Saya pikir, ini adalah sebuah kemewahan bagi mereka, setidaknya untuk petang itu.
Matahari semakin condong ke barat. Sinar emas kemerahannya menyorot lembut, menerpa semua benda yang dapat dijangkaunya. Kami mulai memasuki kawasan Gedebage. Tiang-tiang pancang kereta cepat Bandung-Jakarta mulai terlihat dari arah kami melaju. Tak lama kemudian, sosok bangunan masjid terapung mulai terlihat pula. Dari kejauhan kami melihat sejumlah pekerja sedang menyelesaikan pekerjaan mereka menata bagian pelataran depan masjid itu.
Zelphi dan saya memilih menuju sisi selatan masjid. Pelataran di sisi selatan masjid itu masih berupa tanah, yang sebagiannya ditumbuhi rumput-rumput liar. Masjid yang diberi nama Al-Jabbar ini didirikan di atas danau buatan. Nama Al-Jabbar diambil dari salah satu di antara 99 Asmaul Husna (nama Allah), yang artinya Maha Gagah atau Maha Kuasa.
Peletakan batu pertama pembangunan masjid ini dilaksanakan pada tanggal 29 Desember 2017 oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat ketika itu, yakni Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar. Biaya pembangunannya menggunakan APBD Jawa Barat tahun 2017, dengan nilai anggaran mencapai Rp1 triliun.
Masjid yang diyakini bakal menjadi salah satu ikon terbaru Kota Bandung ini awalnya dijadwalkan selesai pada tahun 2020 lalu. Namun, jadwal ini rupanya tak bisa terpenuhi akibat adanya pandemi COVID-19. Sejak pandemi melanda negeri ini, pembangunan Masjid Al-Jabbar dihentikan. Baru awal September 2021, proses penyelesaian pembangunan masjid ini kembali diteruskan. Diperkirakan, pembangunannya baru benar-benar rampung pada tahun 2022 mendatang.
Luas total kawasan masjid terapung Al-Jabbar adalah 26 hektare. Struktur atap bangunannya dibuat bertumpuk simetris. Ada empat menara setinggi 33 meter yang ikut melengkapi keberadaan masjid ini. Dari pelataran Al-Jabbar, jika kita melayangkan pandangan ke arah utara, maka kita dapat melihat panorama pegunungan Manglayang.
Rencananya, danau buatan yang mengelilingi masjid Al-Jabbar akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air baku Kota Bandung dan untuk kepentingan konservasi. Kedalaman danau buatan yang mengelilingi masjid ini sekitar tiga meter. Di tengah suasana senja yang akan segera digantikan malam, saya mendekat ke bibir danau buatan yang mengelilingi Masjid Al-Jabbar. Di sebelah timur dari tempat saya berdiri saat itu, beberapa pria terlihat masih asyik memancing ikan. Namun, tak lama berselang, salah satu dari mereka segera membereskan alat pancingnya. Ia kemudian beranjak pergi menuju sepeda motornya yang diparkir tak jauh dari tempat dia memancing.
Cahaya mentari sudah tenggelam tertutup awan. Saya memberi isyarat kepada Zelphi untuk meninggalkan kawasan itu. Sejurus kemudian, sepeda motor yang kami tumpangi segera melaju keluar dari kawasan kompleks masjid terapung Al-Jabbar, Gedebage, untuk kemudian menuju Jalan Soekarno-Hatta.
Kali ini, tak ada lagi opsi rute kampung. Untuk menuju Cimahi, kami harus menggunakan jalan raya utama, di mana kemacetan di sejumlah titik dan juga kebisingan harus rela kami lakoni.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.