Saya lupa lagu-lagu siapa yang jadi latar waktu itu, suatu malam di tahun 2013. Pokoknya salah di antara Iwan Fals, Bob Marley, dan The Panas Dalam. Seperti biasa, lampu utama kamar itu mati. Penerangan hanya dari bohlam bercahaya lindap di kamar mandi, neon balkon, cahaya kota yang berisik, dan gemintang.
Kawan baik saya cerita kalau dia baru saja baca soal seseorang bernama Paul Salopek. Salopek adalah jurnalis peraih Pulitzer, dengan latar belakang pendidikan biologi lingkungan. Beberapa bulan sebelum malam itu, pada usia 51 tahun, Salopek memulai ekspedisi jalan kaki selama tujuh tahun dari satu titik di Ethiopia, Herto Bouri, di mana salah satu fosil tertua manusia ditemukan. Titik akhir perjalanannya berada sekitar 21.000 mil (33.796 km) dari sana, di Tierra del Fuego, Argentina.
Ia berjalan bukan untuk mencari konten Instagram, tapi untuk “mengulang kembali perjalanan kuno manusia menyebar ke penjuru dunia, yang barangkali telah memicu revolusi terbesar dalam kesadaran kita sejak kita [manusia] mampu berdiri tegak.”[1] Dia akan menelusuri jalur migrasi manusia dari “Taman Eden” sampai ke perantauan terjauh dari sana. Di lokasi-lokasi tertentu, ia akan berhenti sejenak, mencari manusia tertua, dan mencatat cerita mereka.
Ekspedisi itu bernama “Out of Eden Walk.”
Terang saja saya tertarik mengikuti perjalanan Paul Salopek. Selama beberapa waktu setelah malam itu, saya baca tulisan-tulisannya yang sudah tayang di laman National Geographic. Kadang-kadang, Salopek juga mengunggah rekaman-rekaman suara/bunyi yang ia tangkap ketika jalan kaki. (Di etape awal, seingat saya, ia pernah membagikan rekaman suara onta sedang mengunyah sesuatu, juga suara angin di padang gurun.)
Lama-lama, kesibukan membuat saya menjauh dari catatan-catatan Paul Salopek. Tapi saya tetap mengikutinya sekali-sekali lewat tautan-tautan yang dikirimkan laman National Geographic ke surel saya. (Setiap kali berjumpa kawan baru di perjalanan, saya pasti akan bercerita soal Paul Salopek pada mereka.) Jika judulnya bikin penasaran, saya buka. Jika tak terlalu menarik, saya abaikan. Toh nanti setelah perjalanan Salopek berakhir—mulanya direncanakan tahun ini, 2020—saya bisa mencari bukunya dan membaca kisahnya secara utuh.
Tadi sore, entah kenapa saya tiba-tiba ingat soal Paul Salopek. (Tulisan Salopek terakhir yang saya baca adalah soal perjalanannya jalan menembus hutan-gunung di perbatasan Bangladesh dan Myanmar, beberapa bulan lalu.)
Saya coba masukkan sebaris kata kunci ke mesin pencari (“Paul Salopek’s current location”) dan sampailah saya pada tiga buah cuitannya di Twitter. Dua cuitan berisi puisi dan foto lanskap dan langit Putao, Myanmar, sementara cuitan termutakhirnya berbunyi begini: “I was walking the global trail of our ancestors. Then the pandemic struck.” Di belakang dua kalimat itu ada sebuah tautan ke artikel Salopek di National Geographic. Saya klik.
“My global walk is on hold,” tulisnya di ujung catatan.[2]
Ternyata jurnalis kawakan itu masih tertahan di Myanmar, di Putao, Negara Bagian Kachin, yang dari sana kau bisa melihat ekor Himalaya. Pandemi belum berakhir dan ia tak bisa ke mana-mana.
Ia bisa saja marah dan mengutuk. Tapi, perjalanan panjang sejak 2013 itu tampaknya benar-benar sudah menumbuhkan kebijaksanaan pada diri Salopek. Tulisan di National Geographic itu ia tutup dengan indah: “If nothing else, long walks teach patience. And that destinations are always uncertain.”
Lalu, kita sudah mengambil pelajaran apa dari perjalanan-perjalanan (panjang) dulu?
[1] Salopek, P. (2013, January 22). Setting Out. Retrieved July 05, 2020, from https://www.nationalgeographic.org/projects/out-of-eden-walk/blogs/lab-talk/2013-01-setting-out
[2] Salopek, P. (2020, May 22). I was walking the global trail of our ancestors. Then pandemic struck. Retrieved July 05, 2020, from https://www.nationalgeographic.com/history/2020/05/what-like-walk-earth-during-pandemic/