Perjalanan kali ini saya mulai di “Kota Terindah di Jawa Tengah”, Salatiga. Julukan ini diberikan ketika masa pemerintahan kolonial Belanda sebagai bentuk gambaran keindahan pemandangan kota Salatiga. Kota Salatiga lokasinya sangat strategis, tepat di persimpangan jalan lima jurusan, yakni Semarang, Bringin, Ambarawa, Magelang dan Surakarta. Kotanya diapit Gunung Merbabu, Gunung Rong, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran.

Masa kolonial Belanda, Kota Salatiga mulai berbenah. Bukan hanya sebagai kota penghubung, tetapi juga kota singgah. Sebagai kota singgah tentu banyak orang Belanda, berbondong-bondong menuju Kota Salatiga. Banyak diantaranya akhirnya menetap di sini, dengan berbagai alasan.

Kali ini saya menelusuri keluarga Belanda yang menetap di Kota Salatiga hingga masa tuanya dengan membawa misi “penyelamatan”.

“Hah, menyelamatkan apa, dari apa, siapa yang diselamatkan?” Begitu pasti pertanyaan pertama yang terlontar. 

Misi Penyelamatan dari wabah kelaparan di Salib Putih.

Ambang pintu masuk berinskripsi Injil Markus di Gereja Salib Putih Salatiga
Ambang pintu masuk berinskripsi Injil Markus di Gereja Salib Putih Salatiga/Ibnu Rustamadji

Salib Putih, Kesetiaan Van Emmerik dan Alice Cleverly di Salatiga

Mungkin ada yang tahu Salib Putih atau Gereja Salib Putih?

Nah, tujuan pertama saya ada di Salib Putih. Lokasinya di jalan Salatiga – Kopeng km 4, tepatnya Jalan Hasanudin, Kumpulrejo, Argomulyo, Salatiga. 

Setibanya saya di Gereja Salib Putih, langsung disambut pengurus gereja. Mereka juga mengizinkan saya untuk mengambil foto gereja hingga masuk ke dalam. Mendokumentasikan detail gereja yang berdiri dari tahun 1920-an, sudah tentu membutuhkan waktu. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dokumentasi dan sejarah Salib Putih juga saya dapatkan dari pengurus gereja.

Kediaman penjaga Gereja Salib Putih Salatiga
Kediaman penjaga Gereja Salib Putih Salatiga/Ibnu Rustamadji

Yang Tersisa dari “Koloni Salib Putih” Salatiga

Salib Putih di era kolonial, bernama Witte Kruis-Kolonie Salatiga atau Koloni Salib Putih, awalnya bernama “Leger des Heils” atau Bala Keselamatan rintisan dua penginjil beda negara. 

Mereka yakni Tuan Adolf Theodorus Jacobus van Emmerik (penginjil dari Belanda) dan Ibu Alice Cornelia Cleverly (penginjil dari Inggris) pada 14 Mei 1902. Setibanya di Hindia Belanda (Indonesia) tahun 1885, mereka bekerja sebagai pengurus Gereja Bala Keselamatan Semarang dan tinggalnya di Salatiga.

Diceritakan lebih lanjut, di tahun 1901 muncul wabah kelaparan di Semarang dan Demak. Banyak warga yang kemudian jatuh sakit. Lantas, Bala Keselamatan Semarang mengutus Emmerik, menggalang dana untuk mereka yang kelaparan dan sakit. Tidak diduga sebelumnya, Emmerik memberikan bantuan barak penampungan, makanan, dan pengobatan untuk mereka secara sukarela.

Sisi depan Gereja Salib Putih Salatiga
Sisi depan Gereja Salib Putih Salatiga/Ibnu Rustamadji

Barak penampungan yang kemudian menjadi kawasan Salib Putih, pun dibangun secara sukarela oleh Emmerik. Selain barak penampungan untuk perawatan, Emmerik juga membangun tempat tinggal seluas 40 hektar secara swadaya. Sementara para pengungsi ditampung di kediaman pribadinya di pusat kota Salatiga.

Pembangunan selesai 14 Mei 1902, disaat itulah Emmerik dan Alice Cleverley menjadi pendiri sekaligus pelayan di Salib Putih. Barak penampungan Salib Putih mulai dikelola, pemindahan pengungsi tidak lama setelahnya. 

Tanah yang dipakai untuk membangun barak penampungan, didapat dari hibah wedana Salatiga dan sebagian tanah hasil pembelian swadaya keluarga Emmerik. Pengungsi berada di Salib Putih, sama dengan tinggal di tanah milik keluarga Emmerik. 

Mereka di sini juga diajari beternak, bertani dan membuka lahan perkebunan kopi dan teh di lahan milik keluarga Emmerik. Menariknya, setelah mereka mapan dan pulih diberikan dua pilihan, transmigrasi ke Pulau Sumatra dan Sulawesi, atau tinggal dan menetap di Salib PutihKebanyakan dari mereka memilih menetap dan memeluk agama Kristen di Salib Putih, di tanah seluas 12 hektar milik Emmerik. 

“Terus kapan Gereja Salib Putih dibangun?”

Sebentar, begini ceritanya. 

Gereja Salib Putih, Dedikasi untuk Emmerik

Menurut pihak pengurus, Gereja Salib Putih dirancang oleh Tuan Seters, atas inisiasi istri residen Semarang Bernama van Gigh. Ini desain terakhir karena Emmerik wafat dan dana sumbangan yang terkumpul tidak mencukupi pembangunan, alhasil desain gereja dibuat lebih sederhana tapi masih mewah. Kemuncak gereja berhias lonceng berangka tahun 1882, hadiah pemerintah kolonial untuk Leger des Heils atau Bala Keselamatan milik Emmerik. 

Gereja Salib Putih, diresmikan 9 Agustus 1926 dihadiri tamu penting. Turut hadir peresmian, residen Semarang dan asisten residen Salatiga, wakil Gereformeerde Kerk, wakil Leger des Heils, wakil Salatiga Zending, dan kepala Kamp Kusta Plantungan. Bagian luar berhias salib putih diatas bola batu dengan satu ayat kitab Injil Yohanes 3:16.

Bagian dalam Gereja Salib Putih Salatiga
Bagian dalam Gereja Salib Putih Salatiga//Ibnu Rustamadji

Lalu, di belakang mimbar di dalam gereja berinskripsi pujian, berbunyi “…Aku ora pedhot-pedhot anganthi marang kowe kongsi tumeka wekasaning jaman,” artinya “…Saya tidak putus-putus menggandeng pada kamu semua pada akhir jaman.”

Hampir kelupaan. Gereja Salib Putih menurut saya sama tuanya dengan Gereja Kaliceret Grobogan. Bedanya, Gereja Salib Putih dibangun dengan elemen tambahan batu bata, sedangkan Gereja Kaliceret dibangun dengan gaya arsitektur panggung dan secara keseluruhan masih berbahan dasar kayu. Hal ini tentunya karena lokasi geografis kedua gereja yang berbeda. Salib Putih berada di tengah perkebunan kopi, sedangkan Kaliceret di tengah perkebunan kayu jati.

Salib Putih berada di pinggir jalan, namun sepi dari hingar bingar kota. Sangat sepi, karena posisinya diapit perkebunan kopi dan karet. Sepintas, Salib Putih seperti Radiator Spring Route 66  dari Chicago ke Los Angeles di Amerika Serikat.

Tugu Peringatan 50 Tahun Gereja Salib Putih Salatiga
Tugu Peringatan 50 Tahun Gereja Salib Putih Salatiga/Ibnu Rustamadji

Benar-benar pinggiran Kota Salatiga. Kalau mau cari cemilan malam, tentu sulit karena tidak ada supermarket, ataupun warung terdekat. Kalaupun ada, waktu buka dan tutupnya tidak bisa dipastikan. Sulit, begitulah pikiran saya ketika seharian di Salib Putih.

Sisa-sisa Salib Putih saat ini selain Gereja Salib Putih, adapula panti wredha, klinik kesehatan, dan beberapa keluarga yang menetap cukup lama di sana. Saat ini, Salib Putih lebih dikenal untuk wisata keluarga dengan nama D’Emmerik.

Setelah berkeliling, saya memasuki kebun kopi yang berada di seberang gereja untuk ziarah ke makam Adolf Theodorus Jacobus van Emmerik dan Alice Cleverly.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar