Akhir bulan Maret lalu saya menyempatkan diri ke Semarang saat ada keperluan mengantar barang. Tapi, saya juga ingin sekalian melihat-lihat apa saja yang berbeda dari masa sebelum corona.
Mulai jalan lepas subuh, rasa-rasanya suasana pagi itu tampak tak jauh beda dari hari-hari biasa. Jalan raya masih cukup padat, pasar masih ramai. Hanya saja, beberapa ruas jalan memang ditutup sehingga saya harus berputar-putar untuk sampai ke tujuan.
Malam harinya, saya iseng kembali ke Semarang untuk berputar-putar keliling kota. Pas kebetulan sangat lapar, saya pun singgah ke sebuah restoran cepat saji. Muda-mudi masih asyik bercengkerama meski sudah pukul 22.00 WIB. Begitu makanan siap dibawa pulang, saya bergegas keluar. Alih-alih di dalam restoran, saya memutuskan makan dalam kendaraan.
Simpang Lima memang ditutup, dari kejauhan terlihat sunyi senyap, namun ternyata di beberapa tempat yang saya lewati aktivitas nongkrong anak muda masih ada. Di trotoar depan Kantor Pos Jalan Pahlawan, misalnya, malam sudah larut namun pedagang kaki lima masih melayani pembelinya. Mungkin karena malam Minggu juga; banyak orang menghibur diri dengan makan di luar?
Yang terlihat sangat berbeda justru kawasan wisata Kota Lama Semarang. Biasanya di akhir pekan kawasan ini akan penuh dengan orang-orang yang sekadar berfoto dan menghabiskan malam. Namun malam itu hanya segelintir orang yang ada di sana. Saya hanya berjumpa dengan dua orang yang sibuk berfoto ria, sisanya tunawisma, penjaga parkir, dan orang lewat.
Meskipun cuma singgah ke restoran cepat saji dan memotret jalanan dari dalam kendaraan, saya menyesal menyempatkan keliling kota hari itu. Entahlah, saya merasa secara tidak langsung ikut melanggar aturan untuk tetap di rumah saja; keliling kota bukan hal darurat yang harus dilakukan.
Saat terpaksa ke Semarang dan masuk mal
Kemarin (26/4), saya ke Semarang lagi. Kali ini bukan karena ingin melihat-lihat apa yang berbeda dari sebelum masa corona tiba. Saya harus ke tempat servis ponsel karena benda yang 24/7 menemani saya itu tiba-tiba rewel.
Perjalanan kali ini terasa lumayan berbeda. Jalan raya bisa dibilang cukup sepi. Pertigaan patung Pangeran Diponegoro Tembalang yang biasanya macet bisa dilalui dengan lancar, begitu juga kawasan Jatingaleh, Jalan Pahlawan, juga Jalan Ahmad Yani. Karena beberapa ruas jalan ditutup, saya terpaksa berputar-putar untuk sampai ke tujuan yakni Plaza Simpang Lima.
Kalau diingat-ingat, saya pernah mesti parkir kendaraan di rooftop gedung terakhir ke situ beberapa bulan lalu. Kemarin dengan mudahnya saya memarkir kendaraan tepat di depan pintu masuk Plaza di lantai 5. Gedung parkir begitu hampa, hanya ada beberapa kendaraan terparkir. Suasana di dalam mal yang biasanya ramai sesak tampak begitu lengang.
Tidak sedikit merchant yang menutup kios mereka. Restoran-restoran hampir tak ada yang berjualan. Mungkin karena ini juga bulan puasa. Lift dimatikan, eskalator hanya menyala beberapa saja. Lampu-lampu masih terang namun suasana justru jadi lebih “mencekam.” Entahlah, rasanya aneh masuk ke dalam mal dalam kondisi sangat sepi begini.
Setelah dua jam menunggu ponsel yang tak kunjung selesai diperbaiki, saya memutuskan untuk mampir sebentar ke supermarket yang berada di gedung sebelah. Selain bosan, barangkali saya bisa belanja sayur untuk stok memasak di rumah.
Satpam gedung menghentikan langkah saya. “Permisi, Mbak. Saya cek dulu sebentar, ya,” pintanya.
Ia pun mengecek suhu tubuh saya sekaligus memastikan bahwa saya sudah menggunakan hand-sanitizer dan bermasker sebelum memasuki gedung.
“Suhu 35,6. Silakan masuk. Maskernya jangan dilepas, ya, Mbak.”
Saat memasuki lorong penghubung dua gedung itu, mata ini langsung jelalatan. Citraland Mall tampak lebih terang, kios-kios masih banyak yang buka. Namun, tetap saja, sepi. Dalam hati saya berpikir, untuk apa tetap berjualan kalau tidak ada yang beli. Bukankah malah akan menghabiskan tenaga dan waktu saja?
Ah, pikiran pendek saya ini…. Tentu orang harus tetap berusaha, berjualan, meski hasilnya tak seberapa. Tapi, di masa-masa sulit ini, pastinya sedikit pun sangatlah berarti.
Setelah urusan selesai, saya kembali ke Plaza Simpang Lima. Kali ini satpam tidak mengecek kembali suhu tubuh saya. Ia tampak biasa saja ketika saya lewat. Mungkin memang hanya mereka yang akan masuk ke Citraland Mall saja yang diperiksa.
Hampir menunjukkan pukul lima sore. Artinya mal akan segera tutup. Perintah untuk segera meninggalkan mal sudah disiarkan beberapa kali lewat corong. Bapak paruh baya yang sedang memperbaiki ponsel saya berusaha berkejaran dengan waktu. Akhirnya, jam lima kurang lima menit, dua ponsel rusak berhasil diperbaiki.
Payahnya, karena urusan selesai mepet dengan jam operasional mal, jalan yang biasa saya lewati saat keluar-masuk tutup. Karena panik saya langsung menuju lantai atas. Dan, ternyata, tidak ada jalan menuju lantai lima.
Mati, mau lewat mana ini?!
Teman yang menemani saya sore itu kemudian meminta saya tenang. Lalu kami berpikir untuk turun dulu saja ke lantai dasar, lalu naik lagi ke lantai lima lewat pintu depan mal. Tentunya, saat puasa begini, harus berlarian di dalam mall sambil turun empat lantai kemudian naik lagi ke lantai lima sungguh sangat menguras tenaga. Eskalator mati pula.
Setelah drama keluar mal selesai, kami memutuskan untuk mencari hidangan berbuka puasa. Ingin makan sambil santai, ternyata tempat makan yang kami tuju hanya melayani pembelian take away. Jadilah kami tertawa sambil menikmati makanan dan kepanikan di dalam kendaraan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.