Semilir bayu dan udara sejuk pegunungan begitu terasa tatkala langkah kaki memasuki sebuah gerbang bambu nan sederhana di tengah rimbunnya pepohonan menghijau di Kampung Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Senyum dan sapaan hangat serta ramah warga kampung menyambut kedatangan saya pagi itu. 

Beberapa langkah dari pintu gerbang bambu yang menghadap ke arah barat, tampak berdiri sebuah rumah panggung berdinding bilik sederhana, beratap ijuk dan berjendela kayu. Rumah itu hanya mempunyai satu pintu dan menghadap ke utara, sedangkan jendelanya ada lima. Di halaman depan, tak jauh dari pintu masuk, tumbuh serumpun dahlia merah hati yang sebagian bunganya tengah mekar.

Di samping rumah bilik tersebut, tampak onggokan kayu bakar yang tersusun rapi. Rumah bilik itu merupakan rumah adat di Kampung Cikondang dan kini merupakan rumah adat beratap ijuk satu-satunya di kampung ini.

Rumah Adat Cikondang

Rumah Adat Cikondang. Foto: Djoko Subinarto

Hingga tahun 1942, jumlah rumah adat beratap ijuk di kampung ini mencapai 60 buah. Akan tetapi, kebakaran besar di tahun itu telah menghanguskan 59 rumah adat lainnya. Hanya satu yang tersisa dan bertahan hingga kini.

Lantas, apa istimewanya rumah panggung beratap ijuk ini? Ketika gempa bumi berkekuatan 7,5 skala richter mengguncang kawasan selatan Jawa Barat beberapa tahun silam dan mengakibatkan ratusan rumah di Pangalengan ambruk dan hancur, rumah adat Cikondang ini tetap berdiri tegak. Ia utuh tanpa mengalami kerusakan sedikit pun.

Hal ini membuktikan bahwa rumah panggung yang sederhana ini justru sangat tahan gempa. Sebaliknya, rumah-rumah beton atau tembok justru mengalami kerusakan parah, pecah, roboh dan hancur akibat guncangan gempa bumi.

Air dan pohon di Kampung Cikondang

Kampung Cikondang merupakan sebuah kampung adat yang terletak di kaki Gunung Tilu, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Mayoritas warga Kampung Cikondang adalah petani. 

Menilik asal-usul katanya, Cikondang berasal dari dua kata, yakni ‘ci’ yang merupakan kependekan dari kata ‘cai’ (air) dan ‘kondang’ yakni sejenis pohon yang termasuk ke dalam famili Moraceae.

Tinggi pohon kondang bisa mencapai 7 hingga 12 meter. Daunnya besar, berbentuk hati, dengan tangkai daun agak panjang. Daun kondang biasanya memiliki 4-9 pasang urat samping.

Buah Kondang

Buah kondang. Foto: Djoko Subinarto

Buah kondang berbentuk bulat dengan permukaan halus atau mirip buah pir tanpa tonjolan longitudinal. Biasanya berkelompok pada tandan dengan panjang tangkai hingga 6 sentimeter. Buah muda berwarna hijau. Saat matang, warna buah berubah menjadi kuning atau merah. Namun, ada juga jenis lain, yaitu yang berwarna merah saat muda dan kemudian menjadi kehijauan saat matang.

Boleh jadi kampung ini dinamai Cikondang lantaran dulu di sekitar sumber air dan aliran sungai di kampung ini banyak ditemui pohon kondang.

Kampung Cikondang termasuk kampung yang dilindungi

Memasak untuk acara Wuku Taun

Memasak untuk acara Wuku Taun. Foto: Djoko Subinarto

Luas keseluruhan Kampung Cikondang adalah tiga hektare. Keberadaan Kampung Cikondang sendiri dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Situs dan Benda Cagar Budaya. Selain rumah adat, di kampung ini terdapat pula leuit (gudang padi), balai pertemuan, leuweung larangan (hutan terlarang) yang ditumbuhi berbagai pohon langka dan sejumlah hewan liar, serta dua makam yang dianggap keramat. 

Terdapat beberapa larangan yang harus dipatuhi oleh warga Kampung Cikondang. Di antaranya adalah tidak boleh mendirikan rumah dari tembok, tidak boleh tidur menghadap ke selatan, rumah tidak boleh memiliki banyak pintu, tidak boleh menebang pohon dan menangkap/memburu hewan di hutan terlarang.

Prosesi memotong tumpeng di Wuku Taun Cikondang

Prosesi memotong tumpeng di Wuku Taun Cikondang. Foto: Djoko Subinarto

Selain beberapa larangan tersebut, masyarakat Kampung Adat Cikondang juga masih mempertahankan upacara ritual Wuku Taun yang biasa digelar setahun sekali. Prosesi awal Wuku Taun di Kampung Cikondang dimulai sejak tanggal 1 Muharram dengan acara nutu pare (menumbuk padi) dan diakhiri dengan puncak acara pada tanggal 15 Muharram tahun Hijriah. Puncak acara, selain ditandai dengan riungan dan doa bersama juga ditandai dengan pembagian nasi tumpeng serta sejumlah makanan tradisional (terdiri dari 12 jenis makanan, yang melambangkan 12 bulan dalam setahun). 

Wuku Taun digelar sebagai bentuk rasa syukur kepada Ilahi sembari memanjatkan doa agar tahun yang akan datang bisa lebih baik. Selain itu, Wuku Taun menjadi ajang silaturahmi antar warga kampung sekaligus merupakan pula wujud dari upaya melestarikan tradisi dan budaya leluhur (karuhun).

Menuju Cikodang

Kampung Cikondang

Membagikan makanan. Foto: Djoko Subinarto

Untuk menuju Cikondang tidaklah sulit. Dari pusat Kota Bandung, jarak ke kampung ini sekitar 39 kilometer. Akses masuknya terletak persis di jalan raya antara Banjaran dan Pangalengan. Jalannya sudah beraspal dan lumayan mulus. Jika meluncur dari arah Bandung, jalan masuknya berada di sisi kanan jalan. Sebuah plang besar terpasang menghadap ke arah timur laut memberi tanda lokasi menuju ke Kampung Cikondang. Jarak dari jalan raya utama ke Kampung Cikondang sekitar 800 meter. 

Apabila tidak membawa kendaraan pribadi, kalian bisa menggunakan jasa tukang ojeg untuk mencapai kampung ini. Tapi, bagi yang ingin melemaskan otot kaki, bisa saja memilih berjalan kaki. Hanya saja, ada beberapa tanjakan tajam yang boleh jadi akan membuat nafas sedikit ngos-ngosan. Namun, jangan khawatir, rasa penat yang kita rasakan saat berjalan kaki akan langsung terobati dengan nuansa alami penuh keteduhan, keasrian dan kedamaian begitu memasuki kawasan Kampung Adat Cikondang.

Jadi, kapan kira-kira kalian mau coba bertandang ke sana?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar