Itinerary

Menguak Beragam Versi Sejarah Keraton Ratu Boko

Mengunjungi Situs Keraton Ratu Boko pada 9 Desember lalu, menambah keyakinan bahwa puing bangunan cagar budaya ini adalah keraton sebuah kerajaan dan bukan candi. Ini terbukti dari arsitektur bangunan keseluruhan yang memiliki, pintu gerbang, benteng, keputren, tempat perabukan jenazah, pendopo dan paseban. Di tempat ini kita juga bisa melihat adanya pemandian, taman keraton dan alun alun keraton.

Letak dari Keraton Ratu Boko berada di Jl. Raya Piyungan – Prambanan KM 2, Gatak, Bokoharjo, Kec. Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekitar 3 KM dari lokasi Candi Prambanan. Untuk memudahkan pengunjung personal, PT TWC, Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko menyediakan tiket terusan seharga Rp75.000 per orang. Dengan harga ini pengunjung mendapat tiket terusan kunjungan Situs Keraton Ratu Boko sekaligus Candi Prambanan. Pengunjung akan diantar shuttle khusus Prambanan—Ratu Boko pulang pergi.

Keraton Ratu Boko
Keraton Ratu Boko. Foto: Morgen Indriyo Margono

Beragam cerita soal Ratu Boko

Menilik sejarah Keraton Ratu Boko tidaklah mudah, karena sampai tahun 2000-an terus berkembang teori soal keraton yang dikaitkan dengan kisah Roro Jonggrang ini. Fahmi Basya seorang peneliti matematika Islam mengatakan bahwa Keraton Ratu Boko adalah bagian yang menjadi kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis. Bahkan di dalam bukunya Fahmi menjelaskan bahwa Candi Borobudur adalah Istana Nabi Sulaiman yang dipindahkan dari Keraton Ratu Boko yang dipercaya sebagai Keraton Ratu Balqis.

Pada penelitiannya Fahmi bahkan meyakini bahwa negeri Saba yang disebut dalam kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis sesuai dengan kondisi geografis Wonosobo, tempat yang bersebelahan dengan Magelang di mana Candi Borobudur berada. Negeri Saba ini menurutnya bahkan membentang dari Yogyakarta hingga Wonosobo di Selatan dan Utara, dan Boyolali hingga Kulonprogo di Timur dan Barat.

Meski sempat mengejutkan namun penelitian yang ditulis menjadi buku Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman ini tidak membuat gaduh dan cenderung mereda seiring waktu. Fahmi Basya sendiri tidak menerbitkan buku lanjutan soal penelitiannya itu, sehingga satu-satunya versi yang mengaitkan antara Borobudur, Kraton Ratu Boko dan Ratu Balqis hanya bukunya itu.

Versi Ratu Boko dan Roro Jonggrang

Keraton Ratu Boko
Keraton Ratu Boko. Foto: Morgen Indriyo Margono

Berbeda dengan  versi Fahmi Basya yang mengidentikkan Ratu Boko dengan Ratu Balqis, justru pada sejarah Jawa, Ratu Boko adalah seorang pria yang berperawakan besar dan karena gagahnya dan kerasnya dan keberaniannya, sering dianalogikan sebagai buto, dan lebih dikenal dengan Prabu Boko. Prabu Boko memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Roro Jonggrang. 

Meski kerajaannya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pengging, namun karena Prabu Boko dikenal keras dan diktator, maka ia melakukan pemberontakan dengan tujuan ingin menguasai Kerajaan Pengging. Bersama Patih Gupolo, Prabu Boko melakukan perang terbuka dengan pasukan Kerajaan Pengging. Melihat peperangan yang sudah banyak memakan korban, Raja Pengging Prabu Damar Moyo mengutus anaknya Pangeran Bandung Bondowoso untuk menumpas pemberontak. Akhirnya tewaslah Prabu Boko dalam peperangan tersebut. Patih Gupolo pun lari kembali ke Keraton Ratu Boko karena dikejar Bandung Bondowoso dan pasukannya.

Di Istana Ratu Boko, rupanya Bandung Bondowoso jatuh cinta dengan putri Prabu Boko yaitu, Roro Jonggrang dan berniat mempersuntingnya. Roro Jonggrang meminta syarat pada Bandung Bondowoso untuk membangun sumur Jalatunda dan seribu candi dalam satu malam.

Singkat cerita setelah tinggal satu candi lagi, Roro Jonggrang membakar jerami di arah timur dan beberapa orang suruhannya menumbuk padi di lesung. Hal itu membuat jin yang membantu pembangunan candi Bandung Bondowoso tunggang langgang karena terangnya alam oleh bakaran jerami dan suara lesung serta kokok ayam tengah malam itu dianggapnya pertanda fajar sudah tiba. Gagal lah rencana Bandung Bondowoso menggapai mimpinya mempersunting Roro Jonggrang. Imbasnya ia murka dan mengutuk Roro Jonggrang menjadi bagian dari candi, sehingga Roro Jonggrang mematung menjadi batu.

Prasasti Abhayagiri Wihara, menguak sejarah keraton

Keraton Ratu Boko
Keraton Ratu Boko. Foto: Morgen Indriyo Margono

Bukti sejarah yang ada di Keraton Ratu Boko, Prasasti Abhayagiri, menjadi salah satu bukti otentik sejarah penggunaan Keraton. Dalam prasasti disebutkan seorang tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana yang dikenal sebagai Rakai Panangkaran (746-784 M) yang merupakan Raja Mataram Kuno. Minimnya catatan sejarah Jawa pada masa ini, mengakibtakan adanya dua penafsiran soal Raja Mataram kuno ini. Ada yang berasumsi bahwa Rakai Panangkaran berasal dari Wangsa Syailendra (Budha) dan juga menyatakan berasal dari Wangsa Sanjaya (Hindu) namun dalam Prasasti Abhayagiri disebut soal kawasan wihara di atas bukit yang dinamakan Abhyagiri Wihara (wihara di bukit yang bebas dari bahaya). 

Rakai Panangkaran mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan, salah satunya dengan mendirikan vihara yang bernama Abhayagiri Wihara pada tahun 792 M yang dikenal dengan Keraton Ratu Boko ini.

Dari prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa Rakai Panangkaran menganut agama Buddha. Terlebih ada bukti Arca Dyani Buddha di keraton tersebut. Yang menarik, di keraton ini ditemukan pula unsur–unsur agama Hindu, dengan adanya Arca Durga, Ganesha dan Yoni.

Perlu ditarik benang merah sejarah

Keraton Ratu Boko
Keraton Ratu Boko. Foto: Morgen Indriyo Margono

Melihat adanya sejumlah versi dari sejarah Ratu Boko, maka perlu adanya penelitian lebih lanjut soal fungsi dan pada era apa keraton ini dibangun. Setidaknya perlu ditarik benang merah sejarah antara Rakai Panangkaran yang menjadikan keraton tersebut sebagai vihara dan  Prabu Boko yang menjadikan Kraton Ratu Boko sebagai pusat pemerintahan kerajaan kecilnya yang berada di bawah penguasaan Kerajaan Pengging. Bisa jadi keduanya, baik Ratu Boko maupun Rakai Panangkaran sama-sama pernah mendiami keraton yang sama pada kurun waktu yang berbeda.

Dengan ditarik benang merah sejarah antara keduanya, maka khasanah sejarah Indonesia akan semakin beragam dan bisa menjadi pelajaran berharga bagi contoh persatuan dan kesatuan bangsa ini.

Terlepas dari beragamnya versi sejarah yang mengiringi perjalanan Keraton Ratu Boko, tempat ini layak dikunjungi. Setidaknya bila menggunakan jasa pemandu, kamu bisa menggali cerita soal hidup, yang bisa menjadi bekal akan perilaku dan langkah ke depan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

'Senior broadcaster' di Bandung dan konsultan komunikasi.

'Senior broadcaster' di Bandung dan konsultan komunikasi.

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *