Interval

Resensi: Jalan Panjang untuk Pulang

Sebagai penulis perjalanan kawakan, nama Agustinus Wibowo terkenal seantero Indonesia karena berhasil menuliskan Asia Tengah dan Selatan lengkap dengan nafas dan denyut nadi kehidupannya dengan apik dalam Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol. Kali ini, serpihan-serpihan cerita lainnya kembali dituangkan dalam buku berjudul Jalan Panjang untuk Pulang. Kata “pulang” yang merupakan inti dari catatan-catatan perjalanan yang ia tuliskan sebelumnya, akhirnya berhasil menjadi judul utama buku sepanjang 461 halaman yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Tulisan di buku ini dimulai dengan judul “Dunia di Mata Mereka yang Tidak Bepergian”. “Apa jadinya apabila suasana Kota Beijing abad ke-21 masih dipenuhi ingar-bingar Revolusi Kebudayaan, dan apabila tuan rumah Olimpiade 2008 ini menjadi surga Maois? Anda mungkin akan melihat gedung kantor pusat China Central Television (CCTV) yang futuristik itu akan dipuja oleh ribuan kamerad yang berpawai menggelorakan slogan sepanjang jalan. Atau para pekerja kantoran bekerja riang gembira dengan komputer di meja masing-masing, bersama dengan petugas kebersihan yang tersenyum, dikelilingi barisan pengunjung kelas pekerja yang semuanya berwajah penuh kebahagiaan sambil melambaikan bendera merah.”

Agustinus menceritakan bagaimana lukisan para seniman propaganda Korea Utara, menggambarkan kehidupan kota lainnya yang sejatinya belum pernah mereka lihat—China. Dari lukisan ini, Agustinus coba menerangkan bahwa orang-orang Korea Utara yang tidak sebebas kita dalam melakukan perjalanan mencoba menerka-nerka seperti apa Beijing hari ini.

Mungkin di benak mereka, kehidupan China sekarang sama seperti kehidupan di Korea Utara, dengan ideologi komunisme yang masih kuat. Padahal nyatanya, kehidupan China modern sudah jauh melesat seperti negara yang dimusuhi mereka, Korea Selatan. Tanpa perjalanan, mustahil bisa memahami masyarakat dan budaya yang sedemikian banyak, dan dengan perjalanan pun tidak sepenuhnya akan memahamkan kita pada kebudayaan setempat. 

Jalan Panjang untuk Pulang - Agustinus Wibowo

Tulisan lainnya berjudul “Para Pemburu Elang” Agustinus membawa kita ke tengah-tengah padang rumput yang sudah menguning di Mongolia untuk menemui para pemburu elang dari etnis Kazakh. Pemburu elang adalah tradisi berburu menggunakan elang sebagai senjata, yang turun menurun diwarisi oleh para lelaki Kazakh. Agustinus menyaksikan Golden Eagle Festival dan menemui beberapa orang untuk menggali informasi bagaimana elang ini diambil dari sarangnya dan kemudian dipelihara. Salah satunya adalah Atamurat, lelaki berusia 43 tahun dari Dusun Tsengel. 

“Elang milik Atamurat sudah setinggi lutut. Posturnya tidak jauh berbeda dibandingkan dengan elang-elang yang dimiliki pemburu lain. Ternyata bayi elang itu bertumbuh sangat pesat pada tahun pertama usianya, tetapi setelah mencapai ukuran standar, ukuran tubuh elang tidak banyak berubah lagi hingga akhir hayat.” Perburuan menggunakan elang adalah penggambaran sempurna lelaki Kazakh; kecintaan pada alam, ketangguhan lelaki pengembara, dan kebanggaan suku bangsa padang rumput.

Dari padang rumput Mongolia beranjak ke Desa Panjrud, sebuah desa asal Rudaki sang penyair dimakamkan dalam “Tersekat Gunung dan Batas”. Agustinus menapaki Tajikistan, sebuah negara “Stan” di Asia Tengah yang merupakan hasil pecahan dari Uni Soviet. Agustinus yang pernah mengunjungi Tajikistan pada 2006, kembali mengulang perjalanannya di tahun 2015. Agustinus menceritakan permasalahan negara-negara “Stan” ini begitu rumit: mulai dari sejarah, pencarian akan kebanggaan bangsa, perbatasan yang begitu njelimet, hingga politik identitas yang membangun kerumitan hubungan antar suku bangsa.

“Di hadapan saya yang orang asing ini, mereka bahkan terkadang sengaja menunjukkan bahwa Kirgiz dan Tajik akur bersaudara, seolah tidak pernah terjadi masalaha apa-apa di antara mereka. Tetapi dalam percakapan mendalam secara terpisah dengan penduduk di sini, saya tetap menemukan sentimen yang sama: orang Tajik mengatakan ‘Hati-hati dengan orang Kirgiz, mereka berbahaya’ dan orang Kirgiz mengatakan hal yang sama.”

Sebuah renungan kemudian Agustinus curahkan dalam “Garis Batas di Atas Kertas” kala dirinya melakukan penerbangan ke Belanda melalui Thailand. Ia mendapatkan perlakuan yang agak kera dari petugas karena belum menentukan kapan tanggal kepulangan dari Belanda. Pemegang paspor Indonesia kerap kali dicurigai ketika ingin memasuki Eropa. Hampir saja ia ketinggalan pesawat jikalau tidak ada kedutaan Belanda yang ikut memeriksa kelengkapan dokumennya. Di akhir cerita, ia bertemu Hussain, seorang pemuda Irak yang sudah memiliki paspor Belanda namun tetap mendapat perlakuan seperti warga Irak.

“Nasib kita memang ditentukan oleh garis-garis batas berwujud kertas yang kita pegang dan bawa ke mana-mana. Tetapi bahkan ketika kertas yang kita pegan ini berubah, tetap ada bagian dari diri kita yang tidak akan serta-merta turut berubah karenanya.”

Lain lagi dalam “Darah dan Nasionalisme”, Ia menyoroti soal “asal garis keturunan” yang sering dipermasalahkan orang banyak. Agustinus menuliskan persoalan kebangsaan bukanlah semata-mata garis keturunan tetapi juga gaya hidup, budaya, kebiasaan, hingga pemikiran. Tampilan fisik yang mirip tidak serta merta membuat Agustinus hidup dengan nyaman di Tiongkok. Dirinya secara administratif ditolak sebagai “warga Cina” walaupun dirinya secara fisik 100% serupa. “Justru ketika berada di Cina, saya pertama kali menyadari betapa Indonesianya saya.”

“Kecinaan saya juga berbeda dengan kecinaan mereka. Saya tidak bisa mengerti bahasa Mandarin yang mereka gunakan, sedangkan mereka menganggap bahasa Cina yang saya terlalu aneh dan ketinggalan zaman. Saya tidak berbagi  penghormatan mereka terhadap partai komunis dan kebencian mereka terhadap Jepang. Saya tidak mewarisi luka batin mereka karena Revolusi Kebudayaan. Saya tidak punya kebiasaan yang sama dengan mereka dalam hal bersantap, melaksanakan ritual keagamaan, maupun berkomunikasi.”

Buku ini adalah catatan-catatan yang terbuat dari pemikiran tentang gagasan “pulang” dalam arti yang lebih luas dari definisi yang kita kaitkan tentang pulang itu sendiri, bercampur dengan pengalaman perjalanan yang telah melanglang buana ke daerah-daerah yang bagi kita terasa asing dan bahkan hanya terdengar sesekali. Meskipun buku ini bukanlah suatu cerita panjang yang saling bertautan satu sama lain seperti buku-buku Agustinus sebelumnya, setidaknya tulisan ini menjadi penyegar lara akan kita yang selalu haus akan tulisan-tulisan perjalanan yang memukau.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Fatris MF dalam Hikayat Sumatra