Mendengar kata “Madura” pasti dalam benak banyak orang yang muncul adalah gambar daerah panas dan gersang. Tapi, bagi diriku yang punya darah Madura, gambaran yang muncul adalah sejuta kenangan manis.
Setahun sekali, setiap lebaran datang, kakekku yang asli Madura akan mengajak anak-cucunya pulang ke pulau itu. Maka wajar saja sejak kecil aku sudah familiar dengan Madura. Lalu, lewat pernikahan pamanku dengan seorang wanita dari Pulau Talango pada tahun 1990, aku makin terhubung dengan Madura dan jadi dekat dengan Pulau Talango.
Talango adalah sebuah pulau kecil di timur Pulau Madura. Dari Pasuruan, perlu waktu sekitar enam sampai sembilan jam untuk ke sana.
Kenapa bisa sangat lama? Penyebabnya ada dua. Pertama, kenyataan bahwa akses jalur darat di Pulau Madura yang masih sering terhambat oleh pasar tumpah (yang eksis setiap beberapa kilometer). Kedua, karena dari Madura ke Pulau Talango kita harus menyambung naik feri lagi—atau sampan kecil kalau tiba di pelabuhan jauh sebelum jadwal keberangkatan feri—dari Pelabuhan Kalianget, Sumenep. Hanya ada dua feri yang menyeberangkan penumpang dari Kalianget ke Talango. (Sebelum ada feri, orang-orang ke Pulau Talango naik sampan kecil.)
Naik sampan bersama keluarga besar
Tahun ini, hari kedua lebaran, aku kembali ke Pulau Talango. Aku tidak sendirian, melainkan bersama keluarga besar ayahku. Karena rencana ke Talango dibuat mendadak, tak ada persiapan matang untuk perjalanan itu.
Agar bisa tiba di Pulau Talango lebih cepat, kami sekeluarga berangkat tengah malam ketika jalanan sepi dan pasar-pasar tumpah belum buka. Menggunakan tiga mobil, kami berangkat jam 12 malam dan tiba di Pelabuhan Kalianget, Sumenep, jam 5 pagi. Selama perjalanan, aku berusaha untuk tidur. Namun aku sedikit terganggu oleh jalanan yang rusak di Pulau Madura.
Tiba bukan pada jam operasi kapal feri, kami sekeluarga memutuskan untuk menaruh mobil di parkiran pelabuhan dan menyeberang naik sampan.
Ongkos naik sampan ini relatif terjangkau bagiku dan keluarga (9 orang). Uang yang diberikan ayahku ke awak sampan hanya Rp20.000. Selain kami, waktu itu ada juga warga lokal yang naik sampan membawa sepeda motor.
Memutar kenangan masa kecil di Pulau Talango
Setiba di dermaga penyeberangan Pulau, kami jalan kaki beberapa ratus meter ke rumah saudaraku. Lalu, aku memutar kenangan masa kecil waktu mampir ke Pulau Talango dulu.
Ada satu tempat yang sangat berkesan bagiku di sana, yakni sebuah pemandian di tepi laut lepas. Jika laut sedang surut, air di sana tawar dan hangat. Dulu, aku dan saudaraku pernah mandi di sana ketika umur kami masih 8 tahun. Saat aku ke sana kemarin, tempat itu masih sama. Namun karena laut sedang pasang, tidak ada yang mandi di sana.
Rumah-rumah di Pulau Talango juga masih sama, tetap dipertahankan keaslian arsitekturnya. Warna putih masih mendominasi dan pagar-pagarnya masih tersusun oleh batu kapur khas Madura. Sekilas, rumah-rumah di sana tampak seperti permukiman di Santorini, Yunani.
Makanan-makanan khas pulau itu juga masih tetap lezat. Rujak, misalnya. Jika rujak cingur di Surabaya menggunakan petis hitam, rujak di di Pulau Talango dimakan dengan petis warna cokelat yang terbuat dari udang atau ikan. Wajar saja rasa rujak ala Madura lebih gurih ketimbang rujak cingur Surabaya. Petis yang terkenal enak dari Talango—dan Madura—adalah petis ikan lorjuk atau ikan kecil-kecil. (Lorjuk juga jadi bahan untuk kerupuk rengginang.)
Selain rujak, makanan lain yang unik di Talango adalah soto daging. “Soto daging bukannya di mana-mana ada, ya?” kamu bersungut-sungut. Iya, di mana-mana memang ada soto, tapi mungkin tidak seunik soto daging Talango. Berbeda dari soto kebanyakan, karbohidrat yang jadi pelengkap soto daging Talango adalah singkong. Singkong yang dipotong-potong, diberi bumbu, lalu digoreng, itu akan memberi rasa gurih dan lembut pada soto.
Tapi, bagiku, yang menarik dari Pulau Talango bukan cuma tempat-tempat indah dan makanan-makanan unik, namun juga kehidupan masyarakatnya. Karena penduduk pulau itu tak banyak, tiap orang saling kenal dan merasa dekat. Ketika ada orang yang bertamu ke satu rumah, misalnya, tetangga sebelah akan datang untuk membantu menyiapkan makanan.
Mungkin itulah yang membuat Talango mendapat tempat istimewa dalam memoriku, yang membuatnya tetap indah untuk dituju meskipun perjalanan ke sana jauh dan melelahkan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Mahasiswa Jurusan Antropologi yang setiap saat dituntut untuk peka terhadap fenomena.
Wah kakak asli mana? Rumah kerabat di talango dekat pesisirnya ya?
Saya asli talango, tapi sudah domisili di Tuban, Jawa Timur.
Rumah saya di sekitaran pemukiman orang Arab.
Kalo rumah kerabat kakak sebelah mananya?