Grobogan termasuk kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang kaya akan tradisi. Saat ini pun masih dilestarikan oleh warganya. Tradisi itu merupakan warisan kebudayaan yang diturunkan sejak ratusan tahun lalu, dari generasi ke generasi, oleh leluhur masyarakat Grobogan.
Sejumlah tradisi tersebut di antaranya sangat unik dan spesifik, seperti Asrah Batin yang melibatkan dua desa di Kecamatan Kedungjati, yaitu Desa Ngombak dan Desa Karanglangu; Jamasan Bendhe Becek di Dusun Pasiraman, Desa Katekan, Kecamatan Brati; kuras Sumur Dieng dan mandi lumpur di Desa Lemah Putih, Kecamatan Brati; bersih Telaga Sendangsari di Desa Sugihmanik, Kecamatan Tanggungharjo; dan Adang-adangan dalam prosesi pernikahan adat Jawa di Kecamatan Karangrayung.
Tradisi lainnya yang mesti disebut adalah Barikan. Sebuah tradisi yang masih dilestarikan oleh masyarakat di sejumlah desa di Kabupaten Grobogan, salah satunya Godan, Kecamatan Tawangharjo. Barikan merupakan tradisi leluhur yang diwariskan dari generasi ke generasi sejak ratusan tahun lampau.
Ritual Menolak Bala
Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya (2018) memuat entri “barikan”. Menurut ensiklopedi ini, Barikan atau bari’an berasal dari kata bahasa Arab bara’a, yubarri’u, bara’atan, atau bari’an yang berarti bebas. Secara terminologi, Barikan adalah sebuah ritual tradisi Jawa yang dilakukan suatu penduduk desa sebagai bentuk upaya melakukan tolak bala (menghindarkan dari berbagai mara bahaya), agar mereka bebas dari berbagai bencana yang merugikan, seperti datangnya kekeringan, bencana alam (banjir atau longsor), kelaparan, dan wabah penyakit, baik yang menyangkut manusia, tanaman, ataupun ternak mereka.
Selain sebagai ritual tolak bala, Barikan juga dimaksudkan untuk mendoakan semua arwah leluhur desa yang telah meninggal dunia. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa para leluhur dalam melaksanakan babat (perjuangan membangun) desa di masa lalu. Wujud Barikan sejatinya merupakan ritual yang berbentuk pemberian sedekah berupa olahan makanan dari hasil pertanian masyarakat sekitar.
Barikan merupakan bentuk akulturasi tradisi Jawa dengan ajaran Islam. Pada dasarnya Barikan berasal dari tradisi nenek moyang suku Jawa yang beragama Hindu-Buddha. Sebuah metamorfosa dari sedekah dengan berbagai persembahan yang dikenal dengan istilah sesajen (lazimnya kepala hewan berkaki empat yang disembelih). Dari yang tadinya bersifat memuja, kemudian berubah menjadi meminta perlindungan dari mara bahaya.
Secara substansial, tradisi Barikan di berbagai daerah di Jawa mempunyai makna atau nilai-nilai yang sama, yaitu keimanan kepada Allah dan makhluk gaib, nilai keberkahan dan bersedekah sebagai aksi sosial, serta asas kekeluargaan dan kebersamaan. Dalam implementasinya, Barikan mempunyai perbedaan model, syarat, serta tata cara pelaksanaannya.
Setiap daerah umumnya menyelenggarakan Barikan dalam bentuk dan waktu yang berbeda. Misalnya di Desa Wonosari, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Barikan diadakan dalam rangka menyambut Tahun Baru Hijriah dan diadakan pada malam hari di awal Tahun Baru Hijriyah atau pada tanggal 1 Suro dalam istilah kalender Jawa. Pada malam itu, masyarakat Desa Wonosari berkumpul di perempatan jalan desa dengan membawa nasi urap dan lauk untuk disantap bersama-sama serta berdoa menyambut Tahun Baru Islam.
Di Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Jepara, tradisi Barikan diselenggarakan dalam gelaran acara yang lebih meriah. Di desa ini Barikan dikemas dalam sebuah istilah yang populer disebut Festival Barikan Kubro, yang dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat berupa hasil bumi dan laut. Barikan diadakan bakda Asar menjelang malam Jumat Wage dalam perhitungan Jawa.
Saat gelaran Barikan, masyarakat berkumpul dan masing-masing membawa makanan berupa tumpeng yang berisi hasil bumi dan hasil laut. Tumpeng-tumpeng itu kemudian diarak keliling desa dan dibagikan kepada masyarakat di akhir acara. Selain iringan tumpeng, Barikan juga dimeriahkan dengan beragam pentas seni, salah satunya tari-tarian.
Tradisi Barikan di Desa Godan
Warna-warni bentuk pelaksanaan Barikan tersebut sesuai dengan adat istiadat dan kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur secara turun-temurun. Seperti halnya tradisi Barikan yang diselenggarakan oleh warga Desa Godan, Kecamatan Tawangharjo, Grobogan.
Di Desa Godan, Barikan diadakan setiap tahun. Tepatnya setiap bulan Muharam dalam kalender Hijriah atau Suro dalam penanggalan Jawa. Pelaksanaannya berlangsung setiap Kamis sore (menjelang malam Jumat) di bulan Suro, di mana masyarakat berkumpul melingkar di dekat perempatan jalan desa dengan menggelar doa bersama. Tak lupa dilengkapi dengan berbagai makanan, termasuk jajan pasar.
Puncaknya melakukan penyembelihan hewan berkaki empat, yaitu kambing. Uniknya, syarat pengolahan kambing mulai dari menyembelih hingga memasak, semua harus dikerjakan oleh kaum pria alias bapak-bapak. Uniknya lagi, selama memasak juga tidak diperbolehkan mencicipi masakannya.
Tidak ada yang dapat menjelaskan pasti pesan di balik ketentuan tersebut. Semuanya bersifat warisan dan dilakukan secara turun-temurun sejak dahulu. Saat ini, mereka hanya ingin tetap nguri-nguri tradisi warisan leluhur tersebut, seiring keyakinan bahwa tradisi itu akan membawa kebaikan dan keberkahan bagi mereka, termasuk tentang kebersamaan dan guyubnya warga. Juga memanjatkan doa agar kampung mereka terhindar dari bala dan bencana, yang semoga menjadi lebih mustajab ketika dilakukan bersama-sama.
Setelah matang, lalu masakan dihidangkan untuk dimakan bersama. Dalam tradisi Barikan di Desa Godan, daging kambing dimasak dengan menu becek—salah satu masakan daging berkuah khas Grobogan. Becek merupakan sup daging yang kuahnya bercita rasa segar, gurih, dan sedikit asam karena dibubuhi daun kedondong muda. Terdapat tambahan daun dayakan agar rasanya makin sedap.
Menurut penuturan Suyadi, tokoh masyarakat Desa Godan yang juga pengasuh Padepokan Adhem Ayom Ayem, pada zaman dahulu kepala kambing yang disembelih dalam puncak tradisi Barikan ditanam di tengah perempatan desa sebagai sesaji. Namun, menurut pria yang akrab disapa Mbah Raden itu, saat ini ritual penanaman sesaji ditiadakan seiring pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam. Sebagai gantinya, kepala kambing diolah menjadi masakan dan disantap bersama-sama.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia
sukses selalau mas asti. selalu memberi yang terbaik