Peluh menetes, menyeruak keluar dari setiap pori tubuh. Langkah berderap, membuat bising lorong-lorong penuh tubuh terduduk. Semua mata menelisik, memandang arah tertuju. Demikian juga denganku, khusyuk memandang segerombolan orang pembawa pasien dengan kekuatan laju. Entah untuk penyelamatan atau sekadar pemeriksaan, aku pun tak tahu. Yang jelas sorot mata mereka menunjukkan sebuah pilu.

Di sini aku, duduk termangu menanti panggilan dari mereka berbaju biru. Mereka tampak sibuk, meladeni kami para pejuang sembuh. Aku memandang sekitar, mengamati setiap pergerakan. Aku tau ini tak berguna, tapi entahlah aku suka melakukannya.

Kursi-kursi berjarak sudah terisi penuh, lansia serta anak duduk bukan bersimpuh. Mungkin beberapa terlihat tidak lumpuh, alih-alih hanya takut jika kambuh. Di belakang kami anggota keluarga ikut menunggu. Dengan mendekap tangan atau akhirnya bertengger pada saku. Hanya sorot mata mereka yang dapat berseru, karena mulut dan hidung kami tertutup kain pelindung. Berusaha untuk menembus jutaan partikel yang bisa saja menjadi virus.

“Antrian A nomor 214, silahkan ke loket tiga,”  begitu bunyi yang menggema di ruang kami. Aku melirik kartu yang kupegang sedari tadi. Ternyata aku sudah dapat berdiri, menuju ke loket yang baru saja berbunyi. 

“Ini nanti ibunya harus periksa ke dokter bedah dulu ya, dokternya ada di poliklinik 3. Setelah itu, nanti dapat instruksi lanjut dari dokter yang ada disana,” ujar wanita muda dengan piawainya.

Aku mengingat semua informasi dan kuletakkan dalam memori. Sebelum akhirnya mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Aku berjalan mundur dan segera mendorong kursi roda dari wanita yang kupanggil ibu. Ku katakan padanya bahwa hari ini perjalanan kita akan cukup rumit.

Seperti instruksi, kami sudah sampai di sebuah ruangan bertuliskan poliklinik 3 pada bagian depan. Kami disambut oleh suster cantik dengan perut yang menggembung berisi janin. Ia menggiring kami menemui dokter yang nampaknya sudah sangat berpengalaman.

Foto: Unsplash/NeONBRAND

“Ini harus dioperasi bu, mulai besok mondok di rumah sakit. Agar nanti tubuhnya bisa diawasi sebelum hari operasi tiba,” katanya. Aku sedikit melirik ibu, ia nampak mengangguk dan tersenyum. Walau aku tau nyatanya ia pasti merasa terpukul.

Setelah mendapat surat rujukan, kami kembali ke rumah. Menyiapkan segala kebutuhan bahkan mental. Khususnya bagi mental ibu.

Hari berikutnya, kami mendapat konfirmasi untuk datang setelah adzan dhuhur berbunyi. Dengan terik yang menusuk diri, kami sudah siap secara lahir dan batin. Lagi-lagi bukan aku, melainkan ibu yang sudah pasrah terhadap Sang Ilahi.

Setelah melakukan perjalanan menggunakan kereta beroda empat, kami tiba di pelataran. Aku segera meminta tolong satpam untuk meminjami kami sebuah kursi roda. Dengan sedikit tertatih kami mulai untuk berpetualang.

Ruangan yang kami tuju pertama kali adalah ruang konfirmasi. Disana, aku seperti seorang artis. Memberikan tanda tanganku dengan percuma di beberapa lembar kertas izin rumah sakit.

Dari mulai mengizinkan untuk rujukan, mengizinkan untuk operasi, hingga mengizinkan untuk segala biaya yang akan ditanggung. Semuanya sudah sah dengan tanda tangan serta nama terangku yang nemplok di atas sana. Aku menghela nafas, sudah pasrah.

Selesai, ku mulai mendorong kursi roda itu kembali. Menuju sebuah ruangan yang menjadi ruang scanner bagi para pasien calon penghuni kompleks rumah sakit. Disana kami ditodong banyak pertanyaan, lebih tepatnya untuk ibuku, pertanyaan itu beragam, dari mulai kapan sakit ini menyerang, keluhannya apa saja, alergi obat atau tidak, hingga pernahkah kami kontak langsung dengan pasien virus yang sedang viral. Semacam angket dari mereka.

Setelah puas, mereka menganjurkan kami untuk pergi pemeriksaan paru serta darah. Tujuannya untuk mengidentifikasi apakah ibu cukup aman untuk bisa mondok hari ini juga atau tidak. Katanya, jika ibu tidak aman alias terkena paparan virus, dengan berat hati kami harus isolasi diri di rumah.

Jantung ini terus berdetak kencang selama perjalanan. Mulutku tak henti mengucap baitan-baitan doa, berharap agar hasil periksa ibu nantinya akan berbuah negatif. Agar ibu segera dirawat dan tak perlu merasakan sakit lagi.

Ruang pemeriksaan paru dan darah sudah kami lewati, kini jarum-jarum pada jam tanganku sudah menunjukkan pukul 4 sore. Terhitung, sudah hampir 4 jam kami mondar-mandir dengan segala keperluan. Untuk sekali lagi, kami harus menunggu hasil keputusan yang pasti.

Foto: Unsplash/Daan Stevens

Pukul 17.00 seorang dokter mengabarkan bahwa ibu sudah bisa masuk ke ruangan dengan hasil pemeriksaan yang negatif. Senyum mengembang di sudut-sudut bibir kami, rasa syukur terus terucap walau hanya di dalam batin.

Walau sudah mendapat ruangan, kami tidak boleh asal masuk seperti majikan. Kami harus rela untuk menunggu seseorang untuk menjemput dan mengantarkan ke ruangan. Dengan APD lengkap, seorang lelaki bertubuh tambun menyapa kami dengan hangat.

Beliau mengantarkan kami pada ruangan lantai dua, ruangan ini terbagi atas 3 sekat. Tentu saja satu sekat untuk satu pasien, dan kami memilih sekat ujung dekat dengan jendela. Lagi-lagi, sebelum memasuki ruangan dengan sah aku harus menandatangani sejumlah dokumen resmi dari mereka. Ah sungguh melelahkan.

Kurang lebih seminggu kami berada di ruangan ini. Menurutku itu waktu yang sangat lama, karena kegiatanku sangat terbatas. Hanya berkisar makan, menjaga, dan bolak-balik ke rumah, bahkan terkadang aku harus rela begadang karena tidur yang tidak bisa nyenyak.

Hari ini adalah hari ibu operasi. Ia harus berpuasa selama 6 jam terlebih dahulu. Ada satu kegiatan yang aku senangi selama disini, yakni memandang orang-orang dari ketinggian. Menyandarkan kepala pada dahan jendela, serta menikmati angin lembut yang menyapa.

Di bawah sana, orang-orang beragam jenis terus berlalu-lalang. Membawa banyak kebutuhan atau bahkan hanya sebuah niat. Baik pasien, kerabat, maupun dokter silih berganti melewati lorong seberang yang bisa kupandang.

Tak jarang aku melihat beberapa dokter melajukan ranjang pasien dengan tergesa. Menuju ke sebuah ruangan yang aku tak tahu itu apa. Terkadang mereka panik namun tak jarang juga mereka bersikap biasa saja.

Aku menengok ke arah kamar mandi yang berada di depan sekat. Disana ada seorang wanita tua yang menjadi pasien di ranjang ujung dekat pintu. Dia nampak terbatuk dan berusaha untuk berjalan walau sebenarnya dia bisa memakai pispot, jika ingin.

Kini giliran ibu yang menjadi sorotanku, kulit putih pucat dengan beberapa kerutan di sana sedang tertidur sangat pulas. Aku menggenggam tangannya, kulihat selang infus masih terpasang. Jari jemari itu ku perhatikan satu-persatu, mengingat bagaimana ibu harus menahan sakit setiap suntikan menyentuh kulitnya.

Kami menunggu cukup lama, akhirnya kami dijemput oleh beberapa perawat. Dibawa-lah kami keluar ruangan yang ternyata akan menuju pada gedung di seberang sana. Setelah sampai di gedung operasi, aku tidak diperbolehkan masuk dan harus menunggu di luar. Mau tak mau aku harus mematuhinya.

Glodak glodak glodak..

Suara ranjang pasien lewat di hadapanku, menampakkan seorang lelaki paruh baya terbaring di atas sana dan didorong oleh banyak perawat. Ia berambut putih, dengan banyak kerutan yang mulai muncul, bisa kuperkirakan usianya sekitar 50 tahun ke atas. Sama sepertiku, keluarga dari lelaki itu tidak diperbolehkan masuk.

Setelah 1 jam berlalu, ibu keluar dari ruangan dengan masih memakai baju operasi lengkap. Kami akan kembali ke ruangan dengan ditemani dua orang perawat yang bertugas mendorong ranjang ibu. Sebelum memasuki lift, aku mendengar isak tangis pecah dari keluarga lelaki pasien tadi, kulirik mereka dan kudapati salah seorang bahkan pingsan terbaring di lantai.

Dua hari setelahnya kami diperbolehkan untuk pulang.

Dengan mendorong kursi roda, aku memandang situasi yang sama dari lingkungan sekitar. Kami bergegas menuju pintu keluar dan menunggu mobil jemputan. Setelah sampai, dengan hati-hati kubaringkan tubuh ibu untuk masuk ke mobil.

Aku menatap lama gedung rumah sakit ini, gedung yang menyimpan banyak peristiwa, bahkan sejarah tentang kepulangan mereka. Ya, hari ini aku bersyukur karena perjuangan ibu untuk kembali ke rumah telah dipenuhi. Karena aku tahu, permintaan kembali bisa jadi tidak sesuai keinginan.

Ada yang kembali ke ruangan dan menunggu operasi kedua, ada yang kembali sakit karena penyakitnya mendadak kambuh, bahkan ada yang kembali ke pangkuan Sang Pemilik Alam Semesta. Itu semua bisa terjadi bukan?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar