2017, aku lupa tanggal berapa, yang jelas aku sedang gencar gencarnya menyusun jadwal naik gunung, dan di kesempatan mudik kala itu tak ku lewatkan untuk mendaki salah satu primadona gunung di Jawa Tengah, Merbabu. Gunung ini hanya berjarak 2 jam perjalanan motor dari kota kelahiran ayah dan ibuku, yaitu Klaten. Aku bersama dua orang sepupu, kami memacu motor selepas isya’ menuju basecamp Selo.
Singkat cerita kami sampai di basecamp sudah cukup larut karena harus mencari persewaan peralatan sekaligus sedikit tersesat perjalanan ke sana. Jalan yang menanjak dengan penerangan yang kurang menjadi faktor utama kami hampir tersesat, terlebih saat itu penunjuk jalan belum cukup memadai. Tepat pukul 23.00 kami memesan nasi goreng sebagai pengganjal perut. Aku kira, kami akan mendaki keesokan harinya, namun ternyata sepupuku mengajak langsung berangkat mendaki. Tepat sekitar jam 12.00 malam, kami mengencangkan tali sepatu.
Bawaan kami bertiga tidak cukup banyak, hanya aku yang berkeril 60l, Mas Aji hanya mengenakan daypack, sedangkan Mas Ulin malah lebih kecil lagi, yakni waist bag. Ya, perjalanan malam memang tentunya akan melelahkan, alih-alih kita tidak terpapar matahari yang mempercepat dehidrasi, namun yang terjadi sebenarnya ialah pernafasan kita akan berebut dengan pepohonan yang juga menghirup oksigen untuk keperluan metabolismenya. Jadi karena hal itulah, bawaan kami tidak terlalu banyak.
Mungkin yang ada di benak kalian, pendakian malam selalu berkaitan dengan peristiwa mistis. Tetapi, perjalanan kali ini akan aku ceritakan dengan logis. Ya, bukan karena diriku tak percaya akan hal gaib, namun lebih seperti—stop mendramatisir hal-hal yang sukar ditangkap mata, alih-alih fokus terhadap hal itu, lebih baik fokuskan terhadap ancaman yang nyata. Karena tampaknya masih ada pendaki yang lebih takut terhadap hal gaib ketimbang ancaman nyata seperti kabut pekat, badai angin, atau mungkin cedera serta fraktur yang membayang-bayangi olahraga ini.
Gelap sudah pasti, jika ingin mendramatisir, gelap ini seperti berada di dimensi lain. Tapi sebenernya nggak juga sih, terkadang perasaan takut terhadap apa yang ada di balik kegelapan membuat kebanyakan dari kita berpikir yang tidak-tidak padahal fisik sedang lelah-lelahnya.
(Bukan) “ketempelan” di Merbabu
Pos 1 sampai Pos 2 dapat kami tempuh kurang lebih 90 menit. Meski jalur relatif landai, tak bisa kupungkiri, aku yang pertama kali mendaki malam, rasanya cukup sesak jika harus berbagi oksigen dengan pepohonan. Melelahkan.
Pertengahan menuju Pos 3 menjadi titik terberat untukku. Aku menawarkan diri untuk bertukar keril dengan Mas Aji, entah mengapa tiba-tiba keril yang biasa saja beratnya, menjadi sangat berat rasanya. Lalu, apa dengan bertukar bawaan akan mengatasi masalah itu?
Ternyata tidak. Daypack yang aku bawa rasanya sama beratnya dengan keril yang saat ini berada di punggung Mas Aji. Di bagian tengkuk, beratnya makin menjadi. Sebagian orang mungkin akan berpikir bahwa dirinya “ketempelan” atau semacamnya, dalam artian diri kita ditunggangi makhluk gaib. Tapi diriku tidak berpikir demikian, sebab apa?
Aku mencoba berpikir positif bahwasanya ini hanya masuk angin biasa, mengingat perjalanan di motor tanpa menggunakan jaket, serta diriku yang mungkin belum sempat aklimatisasi saat tiba di basecamp tadi. Kalau dipikir-pikir, waktu satu jam bukan waktu yang panjang untuk mempersiapkan pendakian ketika di basecamp pendakian.
Aku masih merasakan berat di daerah tengkuk, tapi masih kupaksa berjalan hingga akhirnya rasa nyeri mulai muncul di area perut. “Ah apa lagi ini,” pikirku.
Perjalanan melambat karena diriku, aku sering minta break hingga pada akhirnya, rasa nyeri di perut tak lagi dapat kutahan. Di sela-sela istirahat aku berbaring, sambil memutar cara bagaimana nyeri ini tak mengganggu lagi. Aku masih cukup yakin kami tidak diganggu makhluk gaib, suara murattal quran dari handphone Mas Ulin rasanya sudah lebih dari cukup untuk melindungi kami dari gangguan tak terjemahkan itu.
Disisi lain, aku tidak memiliki riwayat penyakit lambung, ataupun mengalami diare sebelum pendakian. Saat itu kurasa obat maag maupun obat diare tak akan banyak membantu. Akhirnya aku memilih untuk memuntahkan isi perutku, berharap nyeri tak lagi mengganggu. Aku menyodok bagian belakang lidah, dan “boom” nasi goreng yang tadi aku makan berhamburan keluar di bawah sorot lampu headlamp. Jackpot!
Entah mengapa badanku terasa lebih baik, nyeri di perut dan beban di tengkuk tidak begitu terasa lagi. Di bawah sinar rembulan, Mas Aji mengatakan wajahku tak lagi pucat seperti ketika kami bertukar ransel. Ya konon memang muntah adalah reaksi manusia ketika kontak dengan hal gaib. Tapi menurutku, aku hanya murni masuk angin dan kesalahanku tidak memberi waktu rehat setelah makan yang dalam bahasa kampung “nasi aja belum turun” namun aku langsung melakukan pendakian.
Summit di pagi hari adalah hal fana?
Kami sampai di Pos 3, bimasakti terlihat membentang di atas langit, sedangkan waktu di jam tangan menunjukkan pukul 02.30 pagi. Kami sepakat mendirikan tenda untuk istirahat dan melanjutkan perjalanan summit di pagi harinya. Ya meskipun aku tahu, summit pagi pagi adalah hal yang fana!
Setelah menghangatkan tubuh dengan teh tawar dan mie instan kami terlelap. Selama tidur, tidak ada hal yang mencurigakan, tenang dan nyaman. Aku yang terbiasa beristirahat ditemani dengan suasana senja, kali ini berganti dengan pelukan malam.
Karakter Gunung Merbabu yang berupa sabana membuatku bisa melihat gugus bintang secara lebih luas, bahkan tak terhalang pepohonan seperti di gunung-gunung di Jawa Barat pada umumnya. Pendakian pertamaku ke Merbabu rasanya sudah cukup indah, dalam hati aku berkata, walaupun nggak jadi summit pun tak apa. Perjalanan tadi, sudah cukup.
Dan benar saja, aku kesiangan! Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 saat aku terbangun. Suara riuh sayup sayup terdengar, Mas Aji dan Mas Ulin sudah duduk menikmati kopi di luar tenda. “Summit ora kowe?” celetuk Mas Aji dengan cangkir di tangannya. “Yo iyo no, aku wes adoh nyang mrene moso ora kepetuk Kenteng Songo,” aku membalas seolah itu tantangan dari Mas Aji. Padahal sebenarnya aku malas juga.
Aku gulung kembali sleeping bag, menyantap roti serta ngopi sebelum melakukan summit. Dari balik bibir gelas ku, sudah terlihat megah tanjakan Sabana 1 dengan orang orang yang terlihat kecil bak semut ingin masuk ke sarangnya.
Akhirnya ke Kenteng Songo
Jam 09.30 kami melangkah, pemilihan musim yang tepat rasanya menjadi kunci dalam mendaki Merbabu ini. Sebelum mendaki, aku biasa mendengar bahwa merbabu sangatlah berdebu, namun puji syukur kala itu, tanah yang kupijak sedikit gembur, saat itu musim sedang dalam masa peralihan hujan ke kemarau. Dengan pijakan yang mantap rasanya tak terlalu sulit melewati Sabana 1 dan Sabana 2 yang menunggu di balik punggungan ini. Sabana kami lewati dengan lancar, dengan sedikit berfoto tentunya!
Seusai tanjakan Sabana 2, kembali terlihat punggungan seperti jalur naga, orang-orang berjejer di trek itu. Trek yang kurang lebih hanya selebar satu meter, membuat para pendaki harus berhati-hati jika melewatinya. Namun ternyata, yang jadi masalah bukan ada pada treknya, tapi justru ada pada kaki ku sendiri. Cedera engkel akibat kecelakaan motor mulai menunjukkan rasa nyeri. Tak lagi dapat kutahan, aku harus melipir ke pinggir trek di bawah matahari yang semakin panas, tiada tempat berteduh. Sudahlah nyeri, panas pula. Ada kali, sekitar 30 menit aku mengistirahatkan kaki kiriku.
Setelah nyeri mereda kami melanjutkan pendakian, dan tibalah kami di puncak Gunung Merbabu yakni Kenteng Songo. Lautan awan sekaligus puncak merapi menyambut kami. Meski sudah pukul 12.00 siang, tapi cuaca tampak cerah. Kala itu hari Jum’at, namun meskipun weekday, suasana puncak cukup ramai.
Trek yang kami lalui tadi terpampang jelas di atas sini, seakan tak percaya aku melewati trek itu. Terik matahari tak lagi dapat kutahan, aku yang terbiasa mendaki gunung jawa barat dengan hutannya yang sangat teduh, rasanya tidak ada apa apanya dengan pendaki lokal daerah sini yang kuat sekali menahan panas. Hanya sekitar 30 menit aku di Kenteng Songo lalu memutuskan turun kembali ke tenda.
Menurutku, Merbabu termasuk gunung dengan pemandangan yang apik— sabana membentang sepanjang jalur pendakian, dan tentu saja hamparan edelweiss bisa menjadi taman bermain bagi pendaki. Warna-warni tenda seolah memberi nyawa terhadap lukisan diatas kanvas hijau ini. Dengan punggungan bukit yang bergelombang, rasanya tak berlebihan jika kata rindu bersanding dengan Merbabu.
Meski ada sedikit kendala, aku merasa pendakian malam dan pertamaku ke Merbabu terasa lancar. Berjalan bersama orang-orang yang cukup rasional, membuatku nyaman dalam melewati masalah semalam. Meski kejadian tadi malam bukan pertama kalinya terjadi, namun aku masih bisa berpikir positif agar suasana tak makin runyam. Aku percaya ada makhluk lain di sekitar kita, namun bukan berarti kita menjadi takut. Bagiku cukup sandarkan perlindungan diri kita terhadap tuhan di kepercayaan kita masing-masing.
Barangkali untuk kamu, pembahasan mengenai tuhan, agama, dan makhluk gaib bukan menjadi sesuatu dipikirkan secara rasional. Meski begitu, sesuai kepercayaanku, aku meyakini bahwasannya selalu ada tuhan yang senantiasa akan membantu kita dalam kesulitan. Tidak terkecuali saat kita berada di gunung, tempat yang ramai akan makhluk tak kasat mata ini.
Melalui tulisan ini aku hanya ingin mengajak para pendaki mulai lebih fokus terhadap ancaman yang nyata, tak terhasut kepada yang tak kasat mata. Hipotermia, cuaca buruk, ataupun kedaruratan medis lebih mengancam nyawa kita kala di gunung. Akhir kata, semoga bertemu di jalur pendakian, see you!
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Tinggal bahagia di Kecamatan Sawangan. Gemar mengemas keril walaupun tidak ada pendakian yang dilakukan. Seneng aja packing-nya.
2 comments
Mantap. 2022 Bisa dicoba lagi kayaknya ?
[…] coba menjelajahi hutan dalam gelap? Pengalaman mendaki Merbabu di malam hari ini mungkin bisa jadi cerita seru buat […]