Hari itu sedikit mendung. Kepala saya yang pusing akibat kurang tidur, masih harus menunggu mata yang agak sedikit berkunang-kunang. Tidur di dalam bus tidak enak. Ke kanan dan ke kiri, kepala sulit untuk menemukan posisi yang nyaman untuk bersandar. 12 jam perjalanan tentu saja adalah hal yang berat dilewati dengan tidur yang sedikit. Setelah salat Subuh di mushola kecil di ujung terminal. Saya mampir ke salah satu warung yang berjejer rapi menyambut para pendaki yang biasanya memang mampir di sini.
“Mau ndaki kemana Le?,” tanya ibu penjual sembari menyodorkan segelas kopi.
“Rencananya ke Sindoro Bu,” jawabku lirih.
Lirih. Saya kembali mengingat-ngingat tujuan perjalanan ini, rasanya cinta memang bisa bikin gila!
“Hati-hati lho Le, lagi musim hujan, kalau ndak bisa naik jangan dipaksa.”
Saya mengangguk setuju. Pendakian bukanlah ajang main-main. Meskipun pendakian melalui jalur yang ramai, tetapi tidak bisa menganggap remeh urusan keselamatan.
Dua orang yang bertemu saya sebelum salat, kembali bertemu di warung ini. Mereka menanyakan tujuan dan jumlah rombongan. Mereka sedikit terdiam ketika saya bilang sendiri. Tak lama berbincang, datang rombongan lain yang berasal dari Garut dan Depok. Setelah berembuk, kami setuju untuk menyewa mobil bak terbuka.
Matahari mulai menjelang, saatnya besiap.
“Sumbing, Sindoro, naik naik.”
Mobil bak yang belum terisi penuh itu mulai dipadati para pendaki yang kebetulan satu arah, Sindoro atau Sumbing. Ini kedua kalinya saya merasakan kota ini lagi. Wonosobo memang dikenal dengan kesejukannya dan pemandangan gunung yang wah. Kali pertama ke sini saya justru ke arah berlawanan dari tujuan sekarang.
Mobil bak berjalan lambat, seakan menyuruh para pendaki yang berasal dari luar daerah untuk menikmati sejenak Kota Wonosobo. Sesekali para pendaki lainnya, yang tampak berombongan, menanyakan asal saya dan gunung tujuan saya yang awalnya menuju Sindoro akhirnya menuju Sumbing karena suatu hal.
Mobil itu kini sudah sampai, tepat di depan basecamp pendakian Sumbing di Kecamatan Garung, kami semua serempak turun. Saya yang baru pertama kali ke sini agak melongo melihat Sindoro yang gagah diseberangnya. Dua gunung berdampingan dan di tengahnya ada jalan. Persis gambaran saya waktu TK dahulu.
Dua orang yang saya temui tadi sudah tidak terlihat. Saya bergegas ke basecamp untuk mengurus simaksi. Perut saya kembali lapar setelah sebelumnya hanya menikmati gorengan. Saya tidak lupa untuk membeli lagi tambahan air mineral, takut kehabisan di perjalanan nanti.
Perjalanan yang Menggugah
Suasana agak ramai, saya memutuskan untuk naik, setapak demi setapak, melewati jalanan aspal yang kemudian berubah menjadi paving block. Sunyi dan sepi, entah ke mana orang-orang yang tadi ramai di base camp. Di belakang saya, Gunung Sindoro yang awalnya menjadi tujuan saya tampak menjulang ke angkasa. Di sekeliling tampak kebun warga yang dipenuhi oleh sayur mayur berbagai macam.
Dari kejauhan, saya melihat dua orang yang tadi saya temui di terminal, Babah dan Menong, tampak mengambil nafas di Pos 1.
“Eh, ketemu lagi!”
“Iya nih bang, kirain tadi kalian udah jauh ke atas duluan.”
“Barengan aja yuk,” tawarnya.
Tawaran ini saya terima dengan baik. Babah orangnya agak gemuk, asli Sunda, suka sekali berbicara, dan tampak periang. Satunya dipanggil Menong, perawakannya tinggi dan juga suka ngebanyol. Saya mengekor mereka di belakang. Kita sambil mengobrol dan tegur sapa dengan pendaki lainnya. Meskipun Babah gemuk, dia yang bergerak paling cepat di antara kami. Sesekali dia berceloteh dan memberikan kami permen, katanya biar semangat.
Salah satu trek yang menyiksa via Garung ini adalah Engkol-engkolan. Sudutnya sangat terjal, usaha kaki untuk menapak jadi lebih ekstra. Setelah lama berjalan rupa-rupanya tenaga Babah sudah habis. Dia minta istirahat sebentar. Menong yang merupakan sahabatnya rupanya sudah paham kelakuan temannya. Akhirnya kami bertiga memutuskan untuk makan siang dan beristirahat.
Sorenya, kami sudah sampai di Pos 3. Sekeliling sudah tampak tenda-tenda yang didirikan. Awan tebal yang sedari tadi mengikuti kami perlahan-lahan mulai menghilang. Puncak Sindoro pun bisa terlihat lagi.
Kami memasang tenda yang dibawa Babah, Menong memasakkan kami bakwan buatannya. Dinginnya hawa gunung mulai saya rasa, namun herannya Babah yang sedari tadi memakai kaos dalam tidak merasakan apapun.
“Kamu jangan ngikutin dia, dia kulitnya kulit badak,” kata Menong
Saya tertawa dan mulai menggigil.
Sore itu kami nikmati dengan berfoto, menyapa pendaki lainnya, dan membersihkan diri. Senja hadir dan kami menikmati mentari sembari duduk santai. Malamnya kami mengakrabkan diri dengan cerita-cerita. Bagaimana Babah dan Menong sudah menikmati perjalanan berdua sebelumnya. Mereka masih mempertanyakan kenekatan saya seorang diri pergi ke gunung. Saya mulai mengisahkan sebab kenekatan saya. Mereka berdua mulai tertawa.
“Biasa, cinta kalau nggak bikin orang jadi berani atau bikin orang jadi bodoh,” timpal Menong.
Diantara kami bertiga, hanya Menonglah yang berkeluarga. Membahas keluarga. Dia jadi teringat putri kecilnya. Dia ingin mengajak keluarganya suatu saat naik ke gunung yang tinggi, tapi kelihatannya tidak memungkinkan.
“Paling ya naik gunung yang ngga tinggi-tinggi, camping ceria lah.”
Malam yang tadi tenang sekarang mulai berangin kencang, geluduk terdengar lebih dekat dengan telinga. Saya jadi was-was. ‘
Babah bercerita dia pernah menumpangi orang yang kehujanan karena tidak punya tenda. Orang itu menumpang tidur di ruang kosong antara tenda dan flysheet. Babah memberi nasehat kepada saya untuk tidak terlalu nekat lagi, tapi dia mensyukuri keberadaan saya, yang mungkin sudah menjadi suratan di antara kami. Saya jadi banyak mendapatkan pelajaran.
Akhir Perjalanan
Pagi-pagi sekali Babah membangunkan kami untuk bersiap menuju puncak. Jam masih menunjukkan pukul 4 pagi. Menurut hematnya, kami akan tiba di puncak pas ketika matahari terbit. Saya berdiri paling belakang agar bisa mengikuti cahaya dari senter mereka. Langkah kaki saya sedikit tergopoh mengikuti mereka.
Di kejauhan, kami melihat ada orang berkumpul. Kami sempat menebak nebak ada orang yang terjatuh. Ternyata ada seorang anak—remaja—yang ditinggalkan rombongannya dan mulai mengalami gejala hipotermia dan hampir hilang kesadaran. Selagi yang lain masih bingung, Babah dengan tanggap membangunkannya. Dengan segera dia mengeluarkan selimut alumunium foil dan mulai membungkusnya. Babah juga menerapkan skin to skin untuk mengurangi hawa dingin di sekitar anak tersebut.
Babah menyuruh rombongan yang lalu untuk mengejar rombongan anak ini, dia juga menyuruh kami membuatkan minuman hangat, yang segera kami laksanakan.
Hipotermia, seringkali diremehkan para pendaki pemula karena dianggap “hanya” kedinginan. Padahal kehilangan panas tubuh bukanlah hal yang sepele. Organ tubuh tidak lagi bekerja maksimal dan saraf tubuh kehilangan kendali. Akibatnya fatal, jika tidak ditangani dengan benar dapat menyebabkan kematian.
Pengalaman dan pengetahuan menyelamatkan anak itu dari hipotermia. Salah satu dari rombongan anak itu mulai datang dan memberi pertolongan. Babah menasehati mereka tentang pentingnya kebersamaan di gunung, bukan hanya mengejar puncak. Selepasnya, kami mulai melanjutkan perjalanan.
Belum sampai menuju puncak, matahari sudah terbit lebih dahulu, meski suasana pagi itu masih tertutup awan hitam. Tak berapa lama, kami akhirnya sampai juga di puncak, menikmati dinginnya udara dari 3371 mdpl.
Samar samar, Merapi dan Merbabu terlihat dari kejauhan, begitu pula Ciremai. Di seberangnya nampak gagah Gunung Sindoro berdiri, seakan raksasa yang berhadap-hadapan, bersiap menyerang satu sama lain.
Gunung Sumbing merupakan gunung tertinggi ketiga, setelah Semeru dan Slamet. Dalam catatan sejarah, gunung ini terakhir meletus pada 1730. Semenjak itu, Sumbing nampak tertidur pulas ketika saudara jauhnya, merapi nampak rutin terbangun.
Babah yang sedari tadi melepas bajunya, tak terlihat kedinginan apalagi menggigil. Menong tahu saya kebingungan melihat tingkah temannya. “Kamu tahu gak, kulit dia itu kulit badak, gak bakal ngerasa dingin,” celotehnya. Babah cuma nyengir mendengar celotehan temannya. Kami memang sedikit terlambat untuk berada di puncak, orang-orang sudah sepi, hanya ada tiga rombongan termasuk kami. Masing-masing dari kami berfoto dengan plakat puncak gunung yang selalu menjadi pose andalan masyarakat pendaki se-Indonesia.
Kami berbincang, meraba ketinggian, merasakan angin yang melewati jemari kami. Langit berwarna kelabu, pertanda hujan akan datang. Akhirnya saya menggigil kedinginan. Kami menuruni puncak dan beristirahat sebentar di tenda sebelum berkemas. Sebelum sampai di base camp, hujan turun dengan derasnya membasahi kami yang berlari tergopoh-gopoh.
Ternyata rombongan Garut dan Depok yang bersama kami menumpang mobil bak sudah turun dari Sindoro. Kami saling bertukar kabar dan pandangan mengenai perjalanan masing-masing. Kami merencanakan untuk mendaki Sindoro besok pagi, sembari melihat apakah besok hujan akan tetap turun atau tidak, kami mengawal santap malam dengan mie dan kudapan untuk mengisi tenaga esok hari.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.