Bagi saya upacara bendera perdana di gunung adalah pengalaman yang tak terlupakan. Tahun kedua kuliah waktu itu. Gunungnya Merbabu. Seingat saya, waktu itu saya dan lima orang teman lain memisahkan diri dari rombongan kawan-kawan seangkatan sepulang survey ospek.
Detailnya saya lupa. Tapi yang saya ingat kami begitu kepayahan setiba di puncak. Saat kondisi tubuh sedang buruk-buruknya, kami ikut upacara bendera yang dipimpin Jagawana. Maka bisa ditebak, sedikit saja disentil oleh pidato mengharukan yang dibacakan oleh Polisi Hutan yang jadi pembina, saya mbrebes mili. Begitu juga seluruh peserta—dan pelaksana—upacara peringatan detik-detik kemerdekaan RI di Kenteng Songo.
Tapi kalau harus mengulang nanjak tanggal 16 Agustus malam, saya ogah. Ramai dan berisik. Lagian, saya pasti tak akan terharu seperti saat pertama kali upacara di gunung sekitar sepuluh tahun yang lalu itu. Makanya ketika Obreng dan saya bikin janji untuk naik ke Sindoro pas libur panjang HUT RI, kami sepakat-sepakat saja saat menentukan tanggal pendakian, yakni sehari setelah 17 Agustus.
Setelah sekian lama tidak mendaki Gunung Sindoro
Sudah lama sekali ketika saya terakhir kali ke Gunung Sindoro, tahun 2009. Waktu itu saya cuma berdua dengan seorang senior. Kami berangkat malam-malam naik motor dari Yogyakarta. Tiba di sana, kami agak ragu untuk mengetuk pintu base camp. Sungkan, sebab sudah lewat tengah malam.
Tapi mau tak mau kami harus mengetuk. Tidak mengetuk sama saja menyerahkan tubuh pada kuasa hawa dingin. Untungnya di Base Camp Grasindo itu masih ada orang. Berbalut sarung, ia membukakan pintu dengan mata mengantuk. Karena sudah terlalu malam dan kelelahan, kami istirahat dulu sampai pagi sebelum memulai pendakian. Saat itu waktu bukan persoalan; we’ve got nothing but time!
Pagi ternyata datang bersama hujan, yang turun sampai lewat tengah hari. Kata anak-anak Grasindo, kalau di base camp hujan, sebaiknya jangan dulu mulai pendakian. Jadilah kami nongkrong lebih lama di Grasindo. Tapi kegiatan menunggu itu sama sekali tak terasa membosankan. Anak-anak Grasindo mengajak kami nongkrong di ruang kecil di samping dan mengajarkan kami ilmu baru: melinting.
Agustus kemarin, delapan tahun setelahnya, saya kembali ke Sindoro. Kalau dulu cuma berdua, kali ini bertiga bersama Obreng dan Hadi yang datang jauh-jauh dari Bandung. Berangkat dari Jogja sekitar tengah hari, kami tiba di Kledung menjelang magrib. Saya agak pangling juga mendapati bahwa ternyata base camp sudah tidak di tempat lama. Sekarang yang jadi tempat beres-beres para pendaki adalah balai desa yang letaknya tak seberapa jauh dari jalan raya.
Base camp yang luas itu riuh rendah oleh para pendaki. Ada yang baru datang, ada yang sedang beres-beres sebelum pulang. Semakin malam, base camp semakin sepi. Semakin sepi ruangan itu, semakin dingin pula udara. Kami melawan dingin dengan cara mencari warung dan menyeruput secangkir kopi sindoro.
Pendakian yang terasa lebih cepat
Tergoda oleh kehangatan warung itu, akhirnya kami memilih untuk numpang tidur di sana—pilihan yang salah. Tidur saya sama sekali tidak nyenak. Berkali-kali saya tersentak. Setiap ada truk yang lewat warung itu pasti bergetar!
Jam 5, alarm tak berperasaan itu membangunkan kami. Dengan mata setengah terbuka kami sarapan nasi goreng. Supaya tidak harus buka-buka peralatan memasak di tengah jalan, kami sekalian memesan nasi bungkus untuk bekal makan siang. Lalu, sekitar jam 6 kami mulai mendaki.
Hari sudah agak terang saat kami mengawali perjalanan. Mengikuti petunjuk arah yang sudah sangat jelas, sebentar saja kami sudah meninggalkan desa. Sekarang di kanan-kiri kami adalah kebun tembakau. Di depan sana Gunung Sindoro tampak jelas. Lerengnya bersih dari arsiran awan.
Sesekali kami harus menepi untuk memberi jalan pada ojek motor yang—katanya—mampu membawa penumpang dari base camp ke pertengahan jalan antara Pos 1 dan Pos 2. Luar biasa. Terakhir kali ke sana dulu memang sudah ada ojek yang menyediakan jasa. Tapi jumlahnya tak seberapa dan motor yang digunakan adalah yang biasanya dipakai untuk mengangkut rumput atau hasil kebun. Sekarang motornya sudah bagus-bagus.
Di pendakian Sindoro sebelumnya, rasanya lama sekali untuk tiba di batas hutan. Dulu, Sindoro adalah salah satu gunung yang saya hindari sebab treknya panjang dan jalurnya licin. (Apalagi lokasi kamp favorit, yakni Pos 3, lumayan jauh dari puncak.) Sekarang, tahu-tahu kami sudah tiba di Pos 2. (Pos 1 luput dari pengamatan. Kami tidak sadar bahwa “Pos Ojek” tempat kami duduk-duduk tadi adalah Pos 1.) Saat Obreng melihat jam, ia terkekeh sendiri mendapati bahwa saat itu masih jam 8 pagi.
Kelebihan memulai pendakian pagi-pagi
Jam 11 kurang kami sudah tiba di Sunrise Camp yang terletak sedikit di atas Pos 3. Seingat saya kamp ini belum ada tahun 2009 dulu.
Saya juga pangling melihat Pos 3 yang jadi jauh lebih luas. Dulu Pos 3 tidak sebesar sekarang. Ke atas sedikit, yang ada cuma hutan lamtoro. Sekarang bahkan sudah ada bangunan serupa warung tempat para pendaki yang enggan membuka tenda bisa cari perlindungan dari dinginnya angin.
Kami segera mendirikan tenda. Karena masih terang—baru jam 11 siang—hanya sekedipan mata saja tenda itu berdiri. Lalu kami duduk-duduk di luar sambil ngobrol dan minum kopi. Sebenarnya kami semua agak shock, sebab tiba lebih cepat dari perkiraan.
Barangkali pendakian ini terasa cepat karena kami mulai nanjak pagi-pagi saat kondisi fisik sedang dalam keadaan prima. Waktu pertama kali naik Sindoro, saya dan kawan-kawan mulai nanjak malam hari, sehabis magrib. Ketika akhirnya kami membuka tenda di Pos 3, sudah lewat tengah malam. Mungkin karena naik malam dan yang kami lihat hanya kelam, perjalanan terasa lebih lama.
Waktu pendakian kedua, kami mulai nanjak tengah hari saat matahari sedang bersinar terik-teriknya. Tentu saja pendakian terasa sangat berat dan ritme perjalanan kami terganggu. Rasa-rasanya perlu waktu bertahun-tahun hanya untuk mencapai pintu rimba. Pun saat gelap sudah turun—yang juga ikut menurunkan suhu—kami masih di jalan. Mungkin “cobaan-cobaan” itu yang bikin perjalanan terasa lama.
Sindoro yang bikin pangling
Keesokan harinya, sekitar pukul 4, kami bangun dan sarapan. Setengah jam kemudian kami memulai perjalanan ke puncak. Di depan mata saya hanya bisa melihat kaki rekan-rekan yang sama-sama berjuang menuju puncak. Di belakang sana, di bawah, lampu-lampu head lamp bergerak seperti sekawanan laron yang sedang mengantre.
Perlahan fajar mulai menyemburat. Gunung Sumbing, kembaran Sindoro, mulai mewujud dan berubah dari siluet menjadi lukisan lanskap ala Monet. Gurat-guratnya, lembah-lembah dan punggungannya, semakin lama semakin nyata. Lama-lama senter kepala tak terlalu diperlukan lagi; cahaya matahari mulai mengambil alih hari.
Saat hari masih remang-remang itulah perut saya mulai bergejolak. Saya pun menepi, menjauh, dan… bikin lubang. Pagi itu saya buang hajat di toilet dengan pemandangan terindah di dunia. Di seberang sana lereng Gunung Sumbing tampak begitu simetris seperti dalam gambar-gambar karya anak SD. Di pohon-pohon yang semakin jarang, burung jalak mengoceh riang menyambut pagi.
Menjelang puncak—sekitar 2,5 jam perjalanan dari Sunrise Camp—yang tersisa dari vegetasi hanyalah pohon-pohon cantigi yang telah mati. Daunnya sudah hilang. Bau belerang mulai menyengat. Pemandangan sekitar puncak sudah banyak berubah akibat aktivitas vulkanik Sindoro tahun 2011. Seingat saya, 2009 dulu wilayah sekitar puncak gunung ini masih begitu hijau. Penuh rumput dan rumpun-rumpun cantigi. Sekarang, saya malah merasa sedang berada di Hutan Mati Papandayan.
Obreng dan Hadi sudah menunggu di puncak. Saya berjalan pelan sambil mencerna pemandangan surealistis yang terhidang di depan. Setiba di puncak, Obreng dan Hadi menjabat tangan saya. Di belakang mereka, kawah bertingkat Gunung Sindoro tampak berbeda. Kawah yang lebih dalam mengeluarkan solfatara berbau menyengat—suaranya seperti bunyi kompor penjual nasi goreng.
Dulu saya pernah turun ke kawah untuk mengambil air. Karena ke sana musim hujan, kawah itu disaput kabut dan tampak begitu menakjubkan.
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.
2 comments
nice story….btw saya fokus sm batu yg di susun…….
Thanks 🙂
Iya kemarin sepertinya penulisnya nyampe di Sunrise Camp terlalu pagi, jadinya gabut dan ngisi waktu dengan nyusun batu. 🙂