Ternyata pendakian solo tidak sesepi yang saya bayangkan. Saya memang sendirian meniti jalur menuju puncak, tapi ada dua hal yang selalu menemani saya sepanjang jalan: suara helaan napas dan debar jantung.
Selasa pagi, 12 Juni 2018, saya diantar Nyonya ke Stasiun Maguwo untuk mencegat Prambanan Ekspres menuju Solo. Meskipun kereta lokal itu tak terlalu ramai, tetap saja saya harus berdiri sekitar setengah jam sebelum ada bangku kosong untuk ditempati.
Setiba di Stasiun Balapan, saya bergegas ke Pertigaan Gilingan untuk menyetop bis menuju Tawangmangu. Dalam bis itu, tiba-tiba saja saya merindukan kawan-kawan mendaki yang sekarang sudah—barangkali—pensiun.
Saya jadi mengerti makna tumbuh. Tumbuh adalah merelakan banyak hal, termasuk kawan-kawan yang dahulu bisa sewaktu-waktu saya ajak naik gunung.
Dari Terminal Tawangmangu saya melanjutkan perjalanan dengan L300 ke Cemoro Sewu, base camp pendakian Gunung Lawu. Hanya setelah menembus kabut dingin yang jadi penduduk tetap lereng Gunung Lawu akhirnya saya tiba di Cemoro Sewu.
Beres urusan pendaftaran, saya langsung pemanasan. Sekitar jam 1.30 saya mulai berjalan menelusuri jalur berbatu yang jadi ikon pendakian Gunung Lawu via Cemoro Sewu. Sendirian.
Ditemani burung jalak di jalur pendakian Gunung Lawu via Cemoro Sewu
Untungnya matahari dihalangi oleh kabut tipis sehingga siang itu jadi tak terlalu panas. Meskipun begitu, tetap saja kaos merah saya basah oleh keringat yang tak henti mengucur dari pori-pori. Bulir-bulir keringat itu seperti kesenangan: “Akhirnya kami keluar juga setelah sekian lama terjebak di dalam!”
Saya mencoba tetap berpuasa. Namun, lama-lama pandangan saya jadi semakin nanar. Lutut gemetar. Lambung memelintir dirinya sendiri. Tetap memaksakan berjalan tanpa asupan kalori saya pasti akan berakhir di tandu. Akhirnya saya berhenti, meminum air putih, dan mengunyah Beng Beng. Daripada menyusahkan orang lain….
Lumayan. Air putih dan Beng Beng membuat langkah saya makin mantap, meskipun tetap saja pelan. Saat naik Gunung sendirian memang tak ada alasan untuk mengedepankan gengsi, bergegas tak jelas, apalagi sampai mengingkari kemampuan tubuh sendiri.
Satu jam setelah memulai pendakian, saya tiba di Pos 1. Suasana lengang. Tak ada tanda-tanda keberadaan manusia di beberapa warung yang ada di shelter pertama itu. Tapi sebagai gantinya banyak burung jalak. Mereka sibuk mematuk makanan di bawah atau beterbangan dari dahan ke dahan di atas.
Maka mulai dari Pos 1 pendakian saya ditemani seekor burung jalak. Kadang-kadang ia meloncat-loncat, tapi tak jarang juga ia terbang saat mendapati bahwa tangga batu itu terlalu tinggi untuk diloncati.
Satu seperempat jam kemudian—jalur antara Pos 1 dan Pos 2 pendakian Gunung Lawu via Cemoro Sewu memang panjang—saya tiba di Pos 2. Sama seperti di pos sebelumnya, tak ada orang di Pos 2 waktu saya tiba. Burung jalak yang menemani saya sibuk mengunyah cacing di salah satu plang.
Tapi, selagi saya asyik menghisap rokok dua orang pendaki remaja turun dari atas. Kami berbasa-basi sebentar. Mereka ternyata dari Kediri. Naik jam 10 tadi malam, sekitar jam 4.30 sore itu mereka sudah turun lagi. Dengkul belia.
Berkemah semalam di Pos 3 jalur pendakian Gunung Lawu via Cemoro Sewu
Meskipun tak terlalu panjang, trek dari Pos 2 ke Pos 3 lumayan terjal. Agar tidak ciut, saya berusaha untuk tidak melihat ke atas.
Sepanjang salah satu etape terberat jalur pendakian Gunung Lawu via Cemoro Sewu itu saya hanya menundukkan kepala melihat batu-batu andesit abu-abu yang menutupi trek. Langkah demi langkah saya hitung. Setiap beberapa puluh langkah saya akan berhenti sejenak untuk menarik napas dan mengagumi pemandangan.
Di sebelah selatan sana langit tampak menggoda. Awan-awan putih yang ditimpa cahaya oranye itu tampak seperti bulu biri-biri yang baru saja dicukur, atau arum manis yang dipintal oleh mamang-mamang kosmik.
Tapi sensasi optik itu mesti dibayar oleh suhu yang semakin menurun. Di antara gunung-gunung lain di Jawa Tengah, Lawu memang dikenal sebagai salah satu yang terdingin. Ketika matahari mulai hilang, suhu akan langsung jatuh.
Sementara itu dalam kepala saya mulai terbayang kehangatan tenda serta makanan dan minuman hangat yang menunggu untuk dibuat. Semula target saya hari itu adalah Sendang Drajat. Namun rasa-rasanya tidak mungkin sebab saat itu sudah lewat dari jam 5. Memaksakan jalan malam hanya akan bikin susah. Terlalu dingin.
Sayup-sayup mulai terdengar suara orang-orang bercengkerama. Pasti Pos 3 sudah tak jauh lagi. Saya pun makin semangat untuk mendaki tangga-tangga batu itu.
Akhirnya, sekitar jam 5.30 sore mata saya menangkap atap bangunan Pos 3. Di tanah sempit depan bangunan itu sebuah tenda berkapasitas empat orang sudah berdiri. Saya melangkah agak ke atas untuk mencari titik yang agak tersembunyi dari angin. Ketemu! Tak sampai lima menit tenda kecil saya berdiri di sisi utara bangunan Pos 3.
Menginap di Warung Mbok To
Tidur saya malam itu tidak nyenyak. Penyebabnya adalah saya sendiri yang salah memilih kantong tidur. Milik saya adalah kantong tidur lokal berjenis polar. Namun, anehnya—kemarin saya baru menyadari keanehan itu—di kantongnya tertulis bahwa kantong tidur itu akan terasa nyaman di suhu 15 derajat Celsius. KUTUB MANA YANG SUHUNYA 15 DERAJAT CELSIUS?!
Jadi sekitar jam 5 pagi saya sudah duduk gemetar dalam tenda karena sudah tak tahan lagi tidur-tidur ayam. Pintu tenda saya buka sebelah. Satu jam kemudian, setelah hari makin terang, baru pintu tenda saya buka sepenuhnya. Lima belas menit sebelum jam 9 saya melanjutkan langkah ke atas.
Pagi itu cerah. Perbukitan hijau yang mengawal Gunung Lawu di sebelah selatan seolah-olah jadi taman bermain tempat awan-awan kecil berkumpul dan bercengkerama.
Setelah berpapasan dengan dua rombongan pendaki, akhirnya saya sampai di Pos 4. Dari sana, Sendang Drajat tak jauh lagi. Maka, setelah istirahat di sana sekitar 10 menit, saya melanjutkan pendakian dan mencapai Sendang Drajat jam 10.30 pagi.
Satu-satunya warung yang buka di akhir bulan puasa itu adalah Warung Mbok To yang ada di samping mata air Sendang Drajat itu. (Mbok Yem cuti, warungnya tutup mulai tanggal 7 sampai 20 Juni 2018.)
Saya sempat tidur siang sebentar di warung. Jika malam sebelumnya saya tidur-tidur ayam, siang itu saya tidur bersama ayam-ayam kampung yang dipelihara oleh Pak Warno yang saat itu sedang kebagian tugas menjaga warung keluarganya.
Ketika matahari mulai condong ke barat, saya jalan santai menuju Hargo Dumilah, titik tertinggi Gunung Lawu.
Tidak ingin melewatkan malam yang sama seperti di Pos 3 kemarin, saya pilih untuk tidur di Warung Mbok To. Nasi pecel dan kehangatan perapian—dan obrolan dengan sesama manusia—terlalu menggoda untuk dibarter dengan bermalam sendirian di tenda.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
2 komentar
anjay seru gilak. pengen naik gunung sendiri 🙁
Cobain aja Kak 🙂