Entah berapa jumlahnya, kudapan tradisional Indonesia yang tersebar di pelbagai sudut Nusantara memberi keragaman warna dan rasa. Kudapan tradisional termasuk produk inovatif yang menggabungkan budaya, sumber daya lokal, dan cita rasa khas dengan teknik pengolahan yang sangat sederhana. Mengisi cerita elok turun-temurun yang tak pernah sirna, dan memberi cerita dari masa ke masa.
Seperti halnya putu bambu. Rasa manis legit membuat setiap orang yang mencicipinya tiada jemu. Para pedagangnya bertransformasi, mulai dari memikul hingga menggunakan gerobak dorong yang tampak lebih efisien. Adapun pengolahannya relatif tak banyak berubah. Saya rasa, sepertinya banyak orang Indonesia yang tahu dan pernah mencicipi kudapan tersebut.
Sekelumit Sejarah dan Kearifan Lokal Kue Putu Bambu
Mengutip Adzkiyak dalam Etnografi Kuliner: Makanan dan Identitas Nasional (Zahir Publishing, 2021), kue putu bambu berasal dari akulturasi budaya China. Keberadaannya telah eksis sejak zaman Dinasti Ming di Tiongkok, ratusan tahun lalu. XianRoe Xiao Long adalah sebutan awalnya, yang berarti kue dari tepung beras berisi kacang hijau halus kemudian mengukusnya dalam wadah bambu.
Di Indonesia, nama “putu” muncul pada sebuah naskah berjudul Serat Centhini pada tahun 1814 Masehi di era pemerintahan Sunan Pakubuwana IV, susuhunan Surakarta. Naskah tersebut menceritakan seseorang bernama Ki Bayi Panurta—seorang dukuh dan guru spiritual. Ia meminta bantuan kepada santrinya untuk menyediakan makan pagi serta menyajikan kudapan pendamping, seperti putu dan serabi. Isian putu, yang mulanya kacang hijau halus, berubah menjadi gula jawa karena lebih mudah untuk mendapatkannya.
Menurut Azdkiyak (2021), kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan, serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal, untuk menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Begitu pun halnya kudapan khas Jawa Timur ini. Kue putu mengangkat keistimewaan lokal menggunakan sumber daya alam (SDA) yang ada di masa itu. Pada akhirnya kue putu ini kemudian menjadi budaya yang diturunkan secara turun-temurun. Dari generasi ke generasi.
Kue putu terdiri dari berbagai jenis, seperti kue putu bambu, putu ayu, putu cangkir, putu mayang, dan putu pesse. Dalam bentuk apa pun, penganan tersebut seringkali tersedia saat upacara pernikahan. Maknanya adalah agar pasangan yang menikah dapat segera memiliki keturunan (anak). Tak hanya itu, kue putu juga biasanya ada saat perayaan Maulid Nabi Muhammad, tanggal 1 Muharam, dan upacara adat yang diadakan oleh masyarakat perdesaan.
Mengenai kapan terakhir kali mencicipi kue putu, saya tidak begitu ingat. Mungkin saat masih ingusan, entah di usia berapa. Saya hanya tahu kalau camilan manis itu pernah mengisi masa kanak-kanak saya.
Kenangan Gerobak Kue Putu Bambu Keliling
Suatu ketika, saat jalan-jalan sore di Taman Suropati, kawasan Menteng, Jakarta Selatan, secara tak sengaja saya melihat sebuah gerobak dengan suara yang akrab di telinga. Nadanya seolah membawa saya terbang kembali ke memori masa kecil.
Saya berusaha menoleh. Mencari ke arah sumber suara. Ternyata benar, suara tersebut berasal dari gerobak kue putu bambu dengan asap mengepul dari lubang pemanasnya. Bentuknya kini terlihat berbeda. Di dalam ingatan saya, pedagang kue putu bambu menjajakan dagangan dengan cara memikulnya di bahu. Namun, sore itu pertama kalinya saya melihat ia memanfaatkan gerobak dorong.
Saya tidak sedang bermimpi. Ini bukan penyamaran seorang intel berkedok tukang putu. Ini jelas dan akurat penjual kue putu bambu dan sekarang ada di depan mata. Terlihat para warga yang saat itu ada di taman ramai membeli kudapan kue putu bambu. Saya pun ikut berbaris menunggu antrean.
Ada yang tampak berbeda di mata saya. Kue putu tersebut dijual bersamaan dengan klepon. Dahulu, saat kecil saya melihat kue putu hanya dijual tunggal saja. Tanpa penganan lain yang menyertai. Kue putu bambu dan klepon terbuat dari bahan dasar sama, yaitu tepung beras halus, perisa pandan, gula jawa, dan kelapa parut kukus. Hadirnya klepon tentu turut menambah nilai jual bagi sang pedagang.
Begitu dapat giliran, saya memesan empat potong kue putu bambu dan tiga buah klepon. Edi, pedagang kue putu itu, sudah hampir dua tahun berjualan di kawasan Taman Suropati. Ia mengambil dagangan dari seorang pemilik gerobak dengan sistem bagi hasil. Sang juragan sudah menyiapkan gerobak lengkap dengan bahan-bahan mentah kue putu dan klepon.
“Saya hanya tinggal menjajakannya saja,” tutur Edi.
Menurut saya, dengan membeli jajanan kue-kue khas Nusantara, seperti kue putu bambu, sama halnya dengan menjaga kelestarian kudapan tradisional tersebut. Selain itu juga turut menjadi penggerak perputaran roda perekonomian Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Adapun upaya lain yang bisa kita lakukan untuk merawat kearifan kuliner lokal adalah mengembangkan budaya daerah. Caranya bisa melalui bazar-bazar makanan dan jajanan tradisional, serta giat mempromosikannya melalui berbagai media.
Referensi
Adzkiyak. (2021). Etnografi Kuliner: Makanan dan Identitas Nasional. Yogyakarta: Zahir Publishing.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Atika Amalia yang kini tinggal di Jakarta. Disela-sela kesibukannya sebagai Ibu Rumah Tangga, Atika juga menekuni hobi fotografi.