Papua ternyata memang luas. Semula, saya kira hanya perlu waktu sekitar setengah jam untuk terbang dari Sorong ke Jayapura. Ternyata saya harus melayang selama satu setengah jam! Sama saja lamanya dengan penerbangan dari Jakarta ke Padang.
Karena berangkat pagi-pagi sekali, saya masih mengantuk. Semalam saya mengobrol ngalor-ngidul bersama Alimin sampai dini hari. Jadi, beberapa saat setelah pesawat tinggal landas, saya juga tinggal landas ke alam mimpi.
Bangun-bangun, ketika melihat ke bawah, saya geleng-geleng sendiri mendapati bahwa Tanah Papua masih sangat hijau. Sepagi itu, beberapa sudut masih diselimuti halimun. Pohon-pohon menjulang tinggi di hutan belantara, menutupi segala sesuatu yang ada di bawahnya. Sungai lebar yang airnya berwarna coklat meliuk-liuk membelah pulau besar di ujung timur Indonesia itu.
Pemandangan itu begitu melenakan sehingga saya kembali tertidur. Begitu sadar lagi, mata saya mendapati perkebunan sawit super luas di bawah sana. Dari atas, susunan pohon sawit yang rapi itu membentuk tekstur seperti keset.
Menjelang mendarat, pesawat itu melaju di atas danau. Danau Sentani. Danau kebanggaan Jayapura itu dikelilingi oleh padang rumput hijau. Rapi sekali. Saya akan percaya saja kalau ada yang bilang bahwa padang rumput itu rutin dipangkas setiap hari. Pulau-pulau kecil bertebaran di tengah danau, dikelilingi oleh rumah-rumah panggung tempat perahu-perahu—jonson—tertambat.
Pesawat itu meliuk-liuk di udara, berputar-putar menunggu giliran untuk turun ke landasan. Dalam satu kesempatan, saya melihat sebentuk jembatan berwarna merah: Holtekamp! Tak berapa lama, pesawat itu mendarat mulus di Bandara Sentani.
Syukron, Mas Widhi, dan saya hanya transit di Jayapura. Setelah menitipkan peralatan menyelam pada Wawan, adik Syukron, kami langsung kembali ke pintu keberangkatan untuk melanjutkan perjalanan ke Wamena.
Naik pesawat ATR ke Wamena
Karena belum sarapan, kami dibekali Wawan nasi padang, yang kami lahap dengan tergesa-gesa di ruang tunggu. Nasi saya masih tersisa setengah ketika corong memberi pengumuman bahwa para penumpang tujuan Wamena dipersilakan untuk boarding.
Saya antusias sekali pagi itu karena akan merasakan pengalaman baru, yakni menumpang pesawat ATR 72. Pesawat ATR 72 yang berbaling-baling itu jauh lebih kecil ketimbang Boeing 737, dan lebih rendah. Uniknya lagi, penumpang masuk dari pintu belakang.
Hanya seorang pramugari lumayan senior yang menyambut. Wajahnya murung seakan-akan sedang berpikir panjang untuk mengakhiri karirnya di dunia kedirgantaraan. Dari belakang, saya bergerak ke depan mencari tempat duduk nomor 2F yang berada di samping jendela. Kami memang sengaja online check-in tadi malam agar bisa duduk di bangku samping jendela.
Namun, begitu tiba di deretan bangku nomor 2 ternyata sudah ada seorang perempuan paruh baya yang duduk di 2F. Ketika saya bilang bahwa itu semestinya bangku saya, ia hanya merespon dengan, “’Kan sama saja.” Maksudnya, duduk di mana pun ‘kan sama saja. Malas berdebat, saya relakan saja kursi strategis itu.
Karena duduk di bangku yang membosankan, empat puluh menit perjalanan ke Wamena saya habiskan dengan tidur. Menjelang mendarat, saya baru bangun. Saya sempat deg-degan menjelang mendarat. Soalnya, tidak seperti Boeing 737 yang turun ke landasan dengan yakin, ATR 72 masih sempat goyang-goyang sebelum melakukan menyentuh tarmak.
Pesawat ATR 72 itu parkir miring sekenanya di Bandara Wamena. Begitu turun, hawa dingin langsung menyelimut. Padahal masih tengah hari. Kalau bisa bersuara, Pegunungan Tengah Papua yang berlapis-lapis itu pasti sedang cekikan melihat saya yang mengigil kedinginan, sambil bilang, “Su pasti dingin. Ini Wamena!”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.