Nama “Lasem” mungkin masih terdengar asing bagi sebagian orang. Maklum, selain berada di pojokan—di pesisir utara Pulau Jawa, di daerah paling timur Provinsi Jawa Tengah bagian utara—Lasem hanya sekadar daerah perlintasan pengguna jalan raya dari/ke Surabaya/Semarang.

Saat pertama mendengar nama Lasem pun banyak pertanyaan yang muncul dalam kepala saya: “Di mana tuh? Itu kota atau kabupaten? Masuk daerah Jawa mana, ya?”

Setelah mencari info sana-sini, saya jadi tahu sedikit tentang Lasem. Kurang lebihnya saya ringkas sebagai berikut: Lasem adalah sebuah kecamatan, bagian dari Kabupaten Rembang, yang acap kali dijuluki “Le Petit Chinois,” “The Little Beijing/China,” atau Tiongkok Kecil.

Tiongkok Kecil? Apa karena Lasem pernah diduduki Tiongkok? Atau karena banyak orang Tiongkok yang bermukim di sana?

lasem
Klenteng Tjoe An Kiong di Rembang, Jawa Tengah via TEMPO/Rully Kesuma

Jadi begini ceritanya. Sekitar abad 14-15 Masehi, cukup banyak orang dari Tiongkok—sebagian besar pedagang—yang berniaga di Lasem, lalu terus bermukim di sana. Kala itu, Lasem jadi salah satu lokasi pendaratan mula-mula orang Tionghoa di Tanah Jawa.

Fakta menarik itulah barangkali yang memicu saya untuk melancong ke Lasem. Persiapan pun saya lakukan sejak jauh hari, termasuk mencari informasi mengenai tempat wisata, kuliner khas, oleh-oleh, dan, yang paling penting, akses menuju ke sana.

Banyak jalan menuju Lasem

Lewat beberapa referensi—artikel atau cerita—dari orang-orang yang pernah berkunjung ke Lasem, saya jadi tahu bahwa setidaknya ada dua cara umum untuk ke Lasem dari Jakarta atau Bandung.

Pertama, dari Bandara Soekarno Hatta Cengkareng, Halim Perdanakusuma Jakarta, atau Husein Sastranegara Bandung, saya bisa terbang ke Bandara Ahmad Yani Semarang. Dari sana lanjut naik taksi atau ojek daring menuju Terminal Terboyo. Di Terminal Terboyo saya bisa naik bus ekonomi atau patas AC Semarang-Surabaya via pantura kemudian turun di sekitar Masjid Jami’ Lasem. Ada juga pilihan lain, yakni menyewa motor/mobil di Semarang.

Interior bus PO Shantika/Benno Verdian

Kedua, naik kereta api dari Jakarta (Stasiun Gambir atau Pasar Senen) atau Bandung (Stasiun Bandung/Stasiun Hall) ke Semarang (Stasiun Tawang atau Poncol). Langkah selanjutnya sama dengan opsi pertama di atas.

Namun, selain dua opsi umum itu, ternyata ada satu cara lagi yang barangkali jarang dicoba orang: naik bus langsung ke Lasem. (Sebagai seorang penikmat jalan-jalan naik bus, tentu saja sebisa mungkin saya bepergian dengan si roda banyak.) Setelah mondar-mandir di jagad maya, saya menemukan beberapa pilihan cara naik bus langsung ke Lasem.

Pertama, dari Jabodetabek, saya bisa naik bus tujuan Bojonegoro, Surabaya, Madura, atau Malang via pantura. Beberapa bus yang lewat Lasem antara lain Gunung Harta, Agra Mas, Haryanto dan Madu Kismo. Ada juga yang memang tujuan akhirnya Lasem, seperti Shantika dan Nusantara.

Kedua, dari Bandung dan sekitarnya, saya bisa menumpang bus tujuan Bojonegoro, Surabaya, atau Malang via pantura, misalnya Haryanto dan Gunung Mas. Pahala Kencana dan Hiba Putra ternyata bertujuan akhir di Lasem.

Cara (yang sesungguhnya) menuju Lasem

Keputusan saya adalah naik bus. Saya menjatuhkan pilihan pada Shantika seri 5C dengan rute Tangerang-Jakarta-Semarang-Kudus-Lasem. Tiket saya tebus dengan uang Rp270.000 (harga normal Rp220.000, ditambah “tuslah” Lebaran Haji Rp50.000, sudah termasuk air mineral botol dan makan malam).

Bukan tanpa alasan saya memilih PO yang bermarkas di daerah Jepara ini. Pertama, saya memang sudah pernah menumpang Shantika. Kedua, bus satu ini punya penampilan yang cukup menarik; sentuhan warna toskanya memikat mata. Untuk interior, Shantika menggunakan seat tebal, lengkap dengan selimut berupa bed cover. Seakan belum cukup, bus pun dilengkapi dengan suspensi udara sehingga perjalanan jadi makin nyaman. Guncangan saat melewati jalan rusak jadi tak terlalu terasa.

Semuanya dimulai dari Terminal Poris Plawad Tangerang tanggal 9 Agustus 2019 pukul 14:38. Sepanjang perjalanan, supir memacu bus dengan baik. Terkesan ngebut namun tetap dalam batasan aman, dan tidak sembrono. Kemacetan ruas tol dalam kota dan Jakarta-Cikampek memang menyebalkan, namun, selepas itu, tepatnya setelah memasuki ruas Tol Cipali dan Trans Jawa, lalu lintas cenderung ramai lancar tanpa hambatan berarti.

Keluar Tol Krapyak di daerah Semarang, bus melipir ke jalur pantura. Kecepatan berangsur-angsur berkurang karena hambatan bertambah, yakni truk besar dan jalanan yang berlubang. Akhirnya, bus tiba di Lasem tanggal 10 Agustus 2019 pukul 05:16. Perjalanan itu memang lama, sekitar 15 jam, namun sangat berkesan.

Seperti biasa, saya mencatat detail perjalanan.* Tanggal 9 Agustus 2019: Terminal Poris Plawad (14:38); Terminal Kalideres (15:16-16:26); Terminal Grogol (17:14-17:17); Cikarang (19:22); GT Palimanan (22:30); Masuk RM Kedung Roso Brebes untuk makan malam (23:31). Tanggal 10 Agustus 2019: Berangkat dari RM Kedung Roso (00:22); Kalibanteng Semarang (02:24); Berhenti di Terminal Jati Kudus, transit penumpang (03:18-03:45); Alun-alun Rembang (05:01); Masjid Jami’ Lasem (05:16).

Kesan** menumpang Shantika menuju Lasem

Dengan harga tiket yang sangat kompetitif, seat Shantika sangat nyaman untuk beristirahat sepanjang perjalanan. Yang membuat bus lebih nyaman, setelan suhu AC-nya pas dan duet supir tidak merokok sepanjang perjalanan.

Namun, sebagaimana umumnya perjalanan dengan transportasi darat—khususnya bus—durasi perjalanan cenderung tak menentu. Jika sedang sial dihadang banyak titik kemacetan, bisa saja penumpang kesiangan tiba di tujuan. Catatan lain adalah tidak tersedia makanan ringan pengganjal perut, misalnya roti, sehingga disarankan untuk beli jajanan sebelum naik bus. Ketiadaan areal merokok mungkin bisa jadi “hambatan” bagi para perokok.

Demikian cerita perjalanan saya dari Tangerang menuju Lasem. Semoga catatan ini dapat menjadi referensi bagi teman-teman yang akan bepergian ke Lasem, entah dengan cara yang sama atau bahkan dengan cara lain yang lebih seru.

Jadi, kapan ke Lasem?


* Catatan waktu dalam Waktu Indonesia Barat (WIB) dan secara real time berdasarkan perjalanan yang dilakukan penulis dan bukanlah patokan yang pasti. Waktu tempuh dapat berbeda tergantung kondisi lalu lintas dan kecepatan bus.

* Penilaian subjektif penulis selama melakukan perjalanan. Penilaian dan kesan dapat saja berbeda dari penilaian dan kesan orang lain.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar