Meskipun sudah lama, perjalanan ke Belitung tahun 2011 masih segar sekali dalam ingatan saya. Bagaimana tidak lupa, perjalanan ke kampung Andrea Hirata itu panjang sekali.

Dari Prabumulih, kota kecil di Sumatera Selatan tempat saya kerja praktik, saya naik travel ke Pelabuhan 35 Ilir Palembang. Petualangan berlanjut dengan menumpang feri kecil selama lebih dari sepuluh jam—sebagian besar habis dipakai menelusuri Sungai Musi—menuju Pelabuhan Muntok di Pulau Bangka.

Tiba di Muntok saat gelap masih menyelimut, terpaksalah saya bermalam dulu di ruang tunggu pelabuhan. Di bawah lampu neon temaram, saya rapatkan dua rangkaian bangku tunggu ala kantor pos zaman dahulu untuk dijadikan tempat tidur. Nyaman? Tentu saja tidak.

perjalanan ke belitung
Dulu, dermaga feri ke Bangka berada di 35 Ilir yang terpaut beberapa kilometer dari Jembatan Ampera/Fuji Adriza

Anehnya, saat bangun keesokan paginya, badan saya segar-segar saja. Makanya saya senang-senang saja melanjutkan perjalanan naik bis selama 3-4 jam ke Pangkalpinang plus naik angkot ke Pelabuhan Pangkal Balam.

Di atas kapal cepat menuju Pulau Belitung, saya makin senang. Saat duduk-duduk santai di buritan, tiba-tiba saja muncul dua ekor lumba-lumba di antara buih-buih yang diproduksi propeler kapal. Itu, kalau ingatan saya tidak keliru, adalah kali pertama saya melihat lumba-lumba liar di habitatnya. Lima menit, barangkali, bibir saya bertahan dalam posisi senyum. Mata saya berembun, terharu.

Langit sudah gelap waktu saya tiba di Dermaga Laskar Pelangi, Tanjung Pandan. Dengan gaya sok tahu supaya disangka perantau Belitung pulang kampung, saya jalan kaki menuju entah ke mana.

Nasib saya malam itu ternyata berakhir di emperan sebuah rumah makan padang.

Menyewa sepeda motor

Keesokan harinya, sebelum matahari muncul, saya lanjut melangkah. Dengan ransel depan-belakang, saya ditiup angin ke Tugu Batu Satam. Lama saya duduk-duduk di emperan toko sampai akhirnya dihampiri seorang pengendara motor yang menawarkan jasa ojek.

Andai saja punya tujuan, barangkali saya sudah menerima tawaran darinya. Masalahnya, saya masih tak tahu mau ke mana. Mau menginap di mana saya juga belum punya bayangan. Saya boleh dibilang tak tahu apa-apa tentang Belitung. Informasi soal Belitung yang saya punya hanyalah nama-nama tempat yang ditulis Andrea Hirata dalam novel-novel manisnya—Manggar, Gantong, Manggar, Gantong, Manggar—dan nama-nama pantai semisal Tanjung Kelayang atau Tanjung Tinggi.

belitung
Sepeda motor sewaan selama di Belitung/Fuji Adriza

Lalu tiba-tiba saja tercetus ide: menyewa sepeda motor. Kepada abang ojek itu saya tanyakan tentang keberadaan rental motor. Untung ia punya kenalan. Saya pun dibawa melaju menelusuri Tanjung Pandan, memasuki sebuah gang kecil yang berakhir di sebuah rumah yang halamannya penuh sepeda motor.

Biaya sewa motor ternyata murah, Rp50.000 per hari. Setelah membayar di depan untuk tiga hari, saya pun meliuk-liuk di Pulau Belitung mengendarai satu unit sepeda motor Honda CS One yang kampas koplingnya sudah setipis dompet mahasiswa di akhir bulan. (Belakangan saya tahu bahwa memilih sepeda motor model begitu bukan keputusan yang bijaksana. Ceritanya bisa dibaca di sini.)

Mengikuti arahan plang penunjuk jalan dan posisi matahari pagi itu tibalah saya di ujung Pantai Tanjung Kelayang—yang ternyata sedang menggelar hajatan Sail Wakatobi-Belitong 2011.

Selimut Segitiga Biru

Saya mengisi perut dengan seporsi mi rebus telur di sebuah warung kecil tanpa nama. Usai mencerna makanan instan itu, saya aliri kerongkongan dengan segelas kopi hitam. Kopi habis, kaki saya gatal untuk segera menyentuh air laut.

Kedua tas—yang berisi seluruh harta kekayaan saya—saya titipkan di warung itu. Yang saya bawa hanya sempak dan celana pendek yang menempel di badan serta seperangkat alat snorkling. Sebentar kemudian saya sudah duduk-duduk santai di batu granit Pulau Babi yang hanya selemparan batu dari pesisir Tanjung Kelayang.

Dalam keadaan basah kuyup, saya kembali ke warung. Dasar belum punya udel, saya gelisah untuk menjelajah. Jadilah siang itu saya meluncur ke arah Belitung Timur karena penasaran dengan Gantong, SD Muhammadiyah, dan Sungai Lenggang. Lumayan lama ternyata ke sana. Setiba di SD Muhammadiyah, matahari sudah sama condongnya dengan kayu besar yang menopang sekolah Lintang dkk. Itu.

Sebelum gelap, saya sudah kembali melaju ke Tanjung Pandan. Tak tahu mau menginap di mana malam itu, saya balik saja ke warung kecil di pojok Tanjung Kelayang. Malangnya, saat saya tiba, warung sedang ramai. Tak ada tempat untuk duduk. Sambil menunggu sepi, saya rebahkan badan di lantai gedung terbengkalai yang dijadikan parkiran motor itu—sampai ketiduran.

Tengah malam, barangkali, saat saya digugah oleh sang pemilik warung. “Eh, ternyata kau, boi. Abang kira tadi orang mabuk,” ia kaget. Ia mengajak saya untuk ke warungnya. Ternyata, istrinya sudah menyiapkan tempat berbaring nyaman untuk saya di bawah meja, yakni “kasur” kardus berlapis kain plus bantal dan selimut karung Segitiga Biru.

Pagi yang tak akan bisa dibeli

Keesokan harinya saya hanya beredar di Tanjung Kelayang, entah duduk-duduk di warung Bang Ardi dan Kak Rita itu atau berkeliaran di sekitar areal acara Sail Wakatobi-Belitong 2011. Hari itu Tanjung Kelayang makin ramai. Orang-orang bersemangat sekali menonton berbagai lomba dan pertunjukan.

Tak terasa, malam kembali tiba—dan saya kembali menginap di warung.

belitung
Warung-warung yang berjejeran di Pantai Tanjung Kelayang/Fuji Adriza

Keesokan paginya, saya bangun lebih pagi dalam keadaan yang lebih segar. Matahari belum muncul, hawa masih dingin, halimun masih mengambang di antara pohon-pohon kelapa di cakrawala. Bang Ardi dan Kak Rita ternyata bangun lebih dulu dari saya. Melihat saya bangun, Kak Rita menyeduhkan secangkir kopi hitam. Asapnya menguar, menyatu dengan udara.

Dalam balutan selimut Segitiga Biru, saya duduk di kursi panjang kayu dan mengamati sekitar. Tanjung Kelayang lengang. Ruang pendengaran saya hanya diisi oleh suara ombak kecil yang terhempas pasrah ke hamparan pasir. Terayun-ayun di atas air laut adalah puluhan yacht dari penjuru dunia yang tiang-tiangnya mengedipkan lampu warna-warni.

Tak lama mentari tiba dari balik jejeran pohon kelapa. Bulat sepenuhnya dan jingga.

Saya masih ingat betapa sedih rasanya mengucapkan selamat tinggal pagi itu pada Bang Ardi, Kak Rita, dan tiga orang anaknya yang masih teramat belia. Tapi, mau bagaimana lagi, saya harus kembali ke Jogja.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar