Di salah satu jalan di daerah Jakarta Selatan, berdiri sebuah museum yang berisikan berbagai jenis layang-layang dari berbagai penjuru Indonesia dan mancanegara, Museum Layang-layang Indonesia namanya. Langit Jakarta yang cerah menemani perjalanan saya menuju Museum Layang-layang Indonesia, tak sulit untuk disambangi, bantuan peta elektronik mengantarkan saya tiba di tempat tujuan dengan mudah.
Saat tiba di lokasi, seorang petugas parkir siap membantu dan menyambut ramah setiap pengunjung yang datang. Kemudian ia mengantarkan saya menuju loket tiket. Harga tiket masuknya cukup terjangkau, yakni Rp25.000 untuk orang dewasa, dan Rp20.000 untuk anak-anak. Tiket ini sudah termasuk dengan kegiatan menonton tayangan audio visual layang-layang, melihat koleksi, dan membuat kreasi layang-layang. Seorang pemandu akan mendampingi setiap rombongan pengunjung, ia juga mengawal setiap rangkaian kegiatan yang ditawarkan.
Mula-mula saya diajak masuk ke ruangan audiovisual. Terdapat satu buah televisi dan bangku-bangku berjejer rapi. Pengunjung bebas memilih bangku mana yang ingin diduduki, kemudian sebuah tayangan mengenai layang-layang siap disuguhkan selama kurang lebih lima belas menit. Tayangan tersebut berisi tentang sejarah asal mula, fungsi, serta ragam dan jenis layang-layang di berbagai daerah di Nusantara. Tentunya, tontonan ini cukup mengedukasi saya.
Setelah selesai, pemandu yang memperkenalkan dirinya dengan panggilan Lina mengajak saya menuju sebuah bangunan yang berisikan koleksi layang-layang. Di sekitar bangunan saya melihat anak-anak dan para orang tua menerbangkan layangan yang baru saja mereka buat.
Sebelum memasuki ruangan koleksi, kita harus melepaskan alas kaki terlebih dahulu, agar kebersihan museum tetap terjaga. Lina menjelaskan koleksi layang-layang satu persatu, mulai dari koleksi yang ditempel di selasar yang punya berbagai bentuk unik seperti menyerupai naga, kapal, ikan, rumah adat daerah, burung, wajah manusia, wayang, dan banyak lagi.
Selanjutnya, Lina mengajak saya masuk ke dalam ruangan yang di dalamnya tersimpan lebih banyak lagi koleksi layang-layang. amun sebelum masuk kita diperingatkan bahwa tidak boleh merekam gambar saat berada di ruangan, hanya boleh mengambil foto saja.
Dari semua koleksi layang-layang ada beberapa jenis yang menarik perhatian saya, di antaranya adalah sebuah layang-layang yang mengingatkan pada teman sepermainan saat tinggal di Sumatera Barat. Sebuah layang-layang maco dipajang gagah di dinding museum dan satu lagi bernama layang-layang patah siku juga berasal dari Sumatera Barat. Dalam keterangan gambar tampak tertulis dengan sebutan langlang maco. Saat kecil dulu, nenek sering menegur anak-anak yang bermain layang-layang pada tengah hari, beliau menyebutnya dengan sebutan olang-olang bukan langlang. Perbedaan sebutan tersebut saya tanyakan kepada Lina.
“Mengapa di sini tertulisdengan nama langlang, Bu?”
“Wah kenapa ya, sejauh ini saya hanya tau bahwa di Sumatera Barat disebut dengan nama langlang, malah saya baru tau dari anda ada sebutan lain,” ujar Lina dengan lagak yang agak ragu.
“Coba sebutkan lagi tadi namanya apa di Sumatera Barat?” Lina mulai penasaran dengan kosa kata yang baru ia dengar.
“Nenek saya menyebutnya dengan dengan olang-olang,” saya menjawab dengan yakin.
“Terdengar seperti orang-orang di Pasar Glodok ya,” ujar Lina bercanda.
Lalu saya dan Lina tertawa bersama. Bagi saya, apapun perbedaan sebutan untuk layang-layang, hal paling penting adalah budaya permainan layang-layang tetap dilestarikan.
Idiosinkrasi Pelayang Pancing Nusantara
Saya melihat koleksi lain yang menarik, sebuah layang-layang dimainkan di atas kapal juga dijadikan sebagai alat untuk menangkap ikan. Rekam gambar ini pernah diabadikan dalam uang kertas seribu rupiah. Berlatar belakang sepasang gunung yang disebut sebagai Pulau Maitara dan Tidore, terlihat dua orang nelayan di atas sampan, satu di antaranya sedang memegang layang-layang.
Selain Tidore, para nelayan di Teluk Lampung juga menjadikan layang-layang sebagai alat untuk menangkap ikan. Mereka disebut sebagai pelayang pancing. Di Museum layang-layang terdapat sebuah miniatur kapal berhiaskan daun loko-loko.
Dahulu, para pelayang pancing di Teluk Lampung menggunakan layang-layang dari daun loko-loko yang sudah kering; benang diikatkan pada daun lalu umpan diikatkan pada benang. Tidak ada kail pada pancing layang-layang, umpan berupa potongan ikan tanjan yang dikaitkan pada benang pancing diikat simpul lasso. Mereka berburu ikan ciracas, yang di perairan Jawa disebut dengan ikan cucut (Rhizoprionodon acutus) atau dikenal sebagai milk shark dalam bahasa Inggris. Jenis ikan ini mudah dijumpai di Teluk Lampung, memiliki moncong panjang dan runcing, daging ikan dikonsumsi oleh sebagian masyarakat sebagai bahan pangan. Dewasa ini, para pelayang pancing sudah semakin sedikit jumlahnya.
Pernah Melihat Layang-layang dari Buku
Jauh sebelum melihat layang-layang secara langsung. Azzahra, putri kecil saya sudah pernah mengenal layang-layang dari sebuah buku. Sebagai anak yang tinggal di kota metropolitan, kecil sekali kesempatan baginya untuk bisa menyaksikan orang-orang bermain layangan lebih dekat, berbeda dengan masa kecil saya dimana layang-layang adalah permainan yang sangat dekat dan mudah di jumpai.
Saya membeli sebuah buku yang berjudul Pewarna Langit, buah karya Eva Y. Nukman dan ilustrasi oleh Evi Shelvia, yang diterbitkan oleh Yayasan Litara. Buku itu kebetulan saya dapati di salah satu penerbit, yang menurut saya bagus sebagai pengantar anak-anak mengenal layang-layang dan masuk kedalam ruang imajinasi permainan tradisional.
Buku ini bercerita tentang sepasang kakak beradik yang baru saja pindah ke kota Payakumbuh, Sumatra Barat. Mereka takjub ketika pertama kali melihat benda-benda penuh warna terbang di langit. selain cerita, buku ini juga mengajarkan cara membuat layang-layang sederhana, menggunakan bambu, kertas, lem, benang dan hiasan sebagai pemanis.
Sebagai penutup tur di Museum Layang-Layang, saya diajak untuk membuat sebuah kreasi layang-layang. Satu paket bahan untuk dewasa dan satu paket bahan untuk anak yang lebih sederhana. Azzahra teringat akan buku Pewarna Langit yang pernah saya bacakan padanya.
Berada di Museum Layang-Layang, melihat berbagai koleksi unik nan artistik yang masih terawat baik, serta membuat kreasi layang-layang sendiri kemudian mencoba menerbangkannya menjadikan pengalaman berharga bagi keluarga saya, terutama untuk putri kecil saya, Azzahra.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Atika Amalia yang kini tinggal di Jakarta. Disela-sela kesibukannya sebagai Ibu Rumah Tangga, Atika juga menekuni hobi fotografi.