Berawal dari pesan pribadi via Instagram yang akhirnya membawa saya untuk pertama kalinya ke Kampung Untia—sebuah perkampungan relokasi dari Pulau Lae-Lae, Kota Makassar.
Arez, seorang teman dari salah satu komunitas menawarkan saya mengisi sesi kelas pagi untuk para ibu-ibu penerima manfaat dari salah satu program pemberdayaan masyarakat. Jadilah di hari Jumat, saya berkesempatan mengisi kelas pagi dengan materi self-stretching pada kelompok otot yang mudah lelah dan nyeri akibat aktivitas duduk dan menjahit dalam waktu lama.
Menuju Kampung Untia
Pagi itu, bersama seorang kawan yang menyempatkan diri menginap di rumah, kami berboncengan menuju Kampung Untia. Kami cukup beruntung sebab kendaraan tidak sepadat hari biasanya. Setelah melalui jalan lowong yang begitu panjang dan berbelok di bawah jembatan tol reformasi, hingga berbelok pada lorong kecil dengan plang ‘Kampus II PIP Makassar’ kami tiba di lokasi sentral pembuatan produk tas hasil upcycle dari sampah kantong plastik.
Karena tiba setengah jam lebih awal, kami memutuskan untuk menikmati pagi di bawah pohon tepat di pinggir Pelabuhan Untia. Tampak beberapa kapal penangkap ikan dan dua orang nelayan yang tengah mengisi bahan bakar, menjadi pemandangan yang syahdu untuk memulai hari.
Tepat pukul sembilan, kelas pagi pun kami mulai. Sekitar sepuluh perempuan duduk melingkar, saya pun mulai mempraktikkan beberapa gerakan peregangan yang baik untuk kesehatan otot.
Sentral Rappo terletak di tengah-tengah perkampungan ini. Dari luar, bangunan perpaduan kayu dan dinding bata ini tampak biasa saja, tidak begitu luas. Untuk menuju Sentral Rappo, kami hanya perlu berbelok ke pemukiman Kampung Untia, pada jembatan kedua berbelok kanan tepat di lorong kedua, maka Sentral Rappo akan berada di sebelah kiri, tepatnya rumah kedua.
Bangunan ini dapat dikenali dengan mudah, sebab tepat di dindingnya terpampang spanduk besar bertuliskan Rappo. Meskipun kecil, tetapi di dalam sini, beberapa ibu-ibu bersama anak-anak muda tengah berusaha untuk menyelesaikan tuntutan produksi sebelum resmi mengadakan pameran dua minggu ke depan.
Sehari yang Menyenangkan di Rappo
Dalam bangunan sederhana tersebut, ibu-ibu tampak bersemangat merangkai pola mereka, sementara beberapa tim proyek tampak fokus pada layar laptop masing-masing. Setelah mengisi kelas pagi sekitar 30 menit, kegiatan dilanjutkan dengan penyampaian teknis terkait produksi produk yang bakal launching saat pameran. Kak Akmal, founder dari Rappo membawakan sesi ini. Pagi sampai siang hari pun kami habiskan dengan rapat tim, sementara para ibu sibuk menjahit bergiliran di ruang sebelah.
Saya cukup beruntung tidak perlu menempuh jarak belasan kilo sebanyak dua kali, sebab kedatangan saya pagi ini juga dirangkaian dengan penunjukan sebagai relawan dengan tugas menulis narasi profil keberdayaan tiap perempuan penerima manfaat. Dengan kata lain, sebuah kesempatan untuk mendengar lebih dekat.
Tim yang mengatur segala bentuk narasi pameran sekaligus copywriting selama kegiatan terdiri atas dua orang, saya dan Kak Vivi—dua perempuan yang untuk pertama kali menginjakkan kaki di Rappo pagi itu.
Lepas rapat yang cukup menguras energi, kami menikmati makan siang bersama. Menu sederhana yang dimasakkan oleh ibu-ibu habis dalam sekejap. Begitu lewat tengah hari, saya dan Kak Vivi pun mulai bergerak mendatangi rumah perempuan penerima manfaat pertama yakni Ibu Ainun.
Siang yang terik tidak menyurutkan semangat kami berdua untuk menemukan metode wawancara paling efektif serta pertanyaan-pertanyaan yang dapat membuka detail-detail menarik yang akan kami tuangkan dalam narasi keberdayaan tiap perempuan penerima manfaat. Saya dan Kak Vivi berjalan beriringan, sementara Kak Alif, seorang program officer dan penunjuk jalan kami siang itu berjalan beberapa langkah lebih dulu. Kami melewati jalan setapak yang hanya cukup dilewati dua motor berpapasan dan terbuat dari batako.
Ibu Ainun membuka pintu tidak sampai setengah menit setelah kami mengucap salam di depan rumahnya. Meski wajahnya tertutup kain dan hanya menampakkan sorot mata, saya bisa tahu dari kerutan di pinggiran mata, garis pipi yang terangkat, serta mata yang menyipit bahwa beliau tengah tersenyum. Setelah mempersiapkan kami masuk, Kak Alif pun berlalu kembali ke Sentral Rappo untuk menyelesaikan pekerjaanya.
Rumah sederhana ini mengingatkan saya pada rumah-rumah yang ada di pulau, membuatku tidak tahan untuk tidak bersuara.
“Rumah di sekitar sini mengingatkan saya sama rumah-rumah di pulau ya, Bu.”
“Iya Nak. Di sini memang sebagian besar merupakan masyarakat relokasi dari Pulau Lae-Lae,” terangnya.
Siang itu, saya menemani Kak Vivi mewawancarai Ibu Ainun sembari menikmati sajian kue kering buatan Bu Ainun. Dari cerita mereka berdua yang saya tangkap, sebagian besar perempuan di kampung ini berprofesi sebagai ibu rumah tangga dengan pekerjaan sampingan mengupas biji mete seperti Bu Ainun. Tak hanya sebagai pengupas biji mete, beberapa perempuan juga aktif terlibat dengan program-program yang dijalankan pemerintah, seperti kader KB, kader lansia, hingga kader Posyandu.
Dari rumah Ibu Ainun, kami berdua berpisah arah. Saya harus kembali ke Sentral Rappo untuk mengikuti perkuliahan daring, sementara Kak Vivi akan mewawancarai ibu-ibu lainnya.
Di Sentral Rappo sambil mengikuti perkuliahan, saya beberapa kali terdistraksi oleh tawa dan percakapan para ibu-ibu maupun relawan. Meskipun ini hari pertama saya bergabung, saya bisa melihat bagaimana semua orang mencurahkan energi mereka pada program ini. Saya melihat beberapa relawan sedang sibuk mengguntingi kantong plastik bakal pola bahan, ibu-ibu yang bercengkrama sambil menunggu giliran menjahit mereka, sampai beberapa ibu-ibu yang sibuk memotong dan menjahit kain mereka.
Semua orang tampak akrab dan tertawa bersama sesekali, membuat hari pertama di Kampung Untia ini terasa menyenangkan dan berkesan.
Hal-hal yang Tidak Terlihat dari Kampung Untia
Banyak hal tak terduga di hari pertama saya menginjakkan di Untia.
Saat itu, belum banyak relawan maupun ibu-ibu penerima manfaat saat kami tiba di Sentral Rappo. Saat itu, sebuah mobil bak terbuka dengan penampung air besar terparkir tepat di samping Sentral Rappo. Kata bapak pemilik mobil tersebut, tangki penampung air sentral sudah habis, sehingga perlu di isi lagi. Rp30.000 merupakan biaya yang harus mereka keluarkan untuk mengisi sebuah tangki.
Awalnya saya cukup bingung karena warga di sini lebih sering membeli air untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Fakta ini cukup ironi, mengingat infrastruktur kampung relokasi nelayan ini cukup tertata, bersih, dan tampak kokoh.
Saban hari, persoalan air ini kembali saya temui saat tengah melaksanakan salat Magrib di Masjid Kampung Untia. Saat itu, 30% bangunan masjid sedang mendapatkan renovasi. Saat hendak mengambil air wudu, saya cukup kaget karena air kran yang mengalir adalah payau, beberapa kran bahkan tidak mengalir.
Untia, kampung yang tampak menarik dari luar. Meski sudah memudar, tetapi siapapun yang lewat bisa tahu bahwa tembok-tembok kampung ini pernah di cat aneka warna ngejreng. Tak hanya itu, beragam fasilitas terutama sanitasi di sini cukup mumpuni.
Meskipun saya dan sebagian besar orang-orang juga tau bahwa Kampung Untia telah sering kedatangan program-program bantuan baik dari NGO maupun pemerintah, namun masih banyak hal perlu mendapatkan perhatian di kampung ini. Apapun itu, semua orang tentu berharap program pemberdayaan tidak hanya berakhir di laporan-laporan, tetapi juga mampu memberikan perubahan pada warganya.
Kegiatan di Sentral Rappo selesai tepat pukul lima. Setelah kelas sore, ibu-ibu para penerima manfaat dan juga kami pamit pulang seiring dengan matahari yang mulai tampak temaram dan jalan tol yang menjadi lenggang. Seharian di Rappo berbuah pengalaman yang menyenangkan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.