“Banyak capung di sini,” ujar Jeje sambil menunjuk ke atas. Puluhan ekor capung beterbangan di halaman Museum Affandi yang letaknya bersebelahan dengan Kali Gajah Wong. Jeje bilang keberadaan capung adalah salah satu indikator bahwa air yang berada di sekitar areal itu bersih.

Langit kelabu mulai menggelegar, siap menurunkan hujan. Di kafe Museum Affandi yang berarsitektur unik—mirip karavan, dulunya adalah rumah Affandi—saya dan Jeje sedang duduk sambil menyeruput minuman ringan.

museum affandi

Kafe Museum Affandi via instagram.com/jejeprimaw

Hampir semua bangunan dalam kompleks Museum Affandi memiliki arsitektur yang tak biasa. Jika kafenya seperti karavan, bangunan utama museum seperti rumah-rumah misterius di negeri dongeng. Atapnya hijau melengkung, bangunannya diplester kasar dan tidak simetris.

Kesan tak biasa itu diperkuat oleh keberadaan makam Affandi dan Maryati, istrinya, yang terletak di halaman antara galeri pertama dan kedua Museum Affandi.

museum affandi

Makam Affandi dan Maryati, istrinya via instagram.com/jejeprimaw

Mirip Vincent van Gogh

Selesai menandaskan minuman, kami beranjak ke galeri pertama museum. Di galeri itulah lukisan-lukisan Affandi dipajang. Tak ada pemandu yang menyambut begitu kami masuk.

Galeri luas itu memanjang dari utara ke selatan. Tidak seperti dinding luarnya yang kasar, bagian dalam galeri dipoles mulus dan dikapur biru pirus. Puluhan lukisan Affandi dipajang di sana, dari mulai karya-karya awalnya sampai lukisan terakhir sebelum ia menghembuskan napas pamungkas.

museum affandi

Ruang pamer utama Museum Affandi via instagram.com/jejeprimaw

Affandi mulai melukis sejak zaman susah. Waktu itu perang masih berkecamuk sehingga terkadang seorang seniman lukis kesulitan mencari kanvas. Jejak-jejak masa-masa susah itu bisa kamu lihat di salah satu lukisan awal Affandi yang kanvasnya penuh tambalan kertas HVS yang ia dapat dari tempatnya bekerja.

Lukisan-lukisan aliran ekspresionisme Affandi sering kali dibanding-bandingkan dengan karya-karya pasca-impresionis ala Vincent van Gogh. Sekilas, memang ada beberapa karya mereka yang tampak mirip.

Salah satu lukisan Affandi via instagram.com/jejeprimaw

Lukisan tampak belakang sesosok perempuan telanjang itu, misalnya, mirip Nude Woman Reclining yang dilukis van Gogh beberapa puluh tahun sebelum Affandi lahir. Bingkai raksasa di pojok ruangan itu, yang memuat lukisan berjudul Parangtritis at Night, juga memiliki nuansa yang sama dengan lukisan-lukisan ladang gandum van Gogh.

Namun, jika dilihat lebih cermat, cara mereka melukis berbeda.

museum affandi

Patung “self portrait” karya Affandi via instagram.com/jejeprimaw

Menggunakan istilah dalam fim sebuah adegan The Hundred Foot Journey (2014), lukisan van Gogh mewakili “the subtlety of flavor” ala Barat (meskipun sebenarnya tidak benar-benar subtil) sementara karya Affandi mewakili Timur yang lebih pekat dalam warna (“If you have spice, use it!”).

Perbedaan mereka terasa semakin kentara ketika saya tiba di bagian dinding yang memuat karya-karya Affandi di masa-masa pengujung hayatnya.

museum affandi

Bintang jasa untuk Affandi via instagram.com/jejeprimaw

Artefak-artefak Affandi selain lukisan

Selain lukisan, galeri utama Museum Affandi itu juga menyimpan karya-karya lain sang maestro, juga benda-benda yang dulu ia gunakan semasa hidup.

Di salah satu pojok terpampang beberapa poster yang dibuat oleh Affandi di Zaman Revolusi dulu. Salah satu yang legendaris adalah poster perjuangan yang bertuliskan: “Boeng Ajo Boeng.”

Terinspirasi dari kalimat rayuan yang biasanya dilontarkan para pramuria yang menunggu pelanggan di depan rumah bordil, kalimat termashyur itu digubah oleh Chairil Anwar dan dilukis oleh Affandi.

museum affandi

Biodata singkat keluarga Affandi via instagram.com/jejeprimaw

Affandi ternyata tidak hanya melukis, ia juga membuat patung. Ia mulai membuat patung sejak 1940-an semasa berkarya di bandung (1935). Tahun 1950-an ia merintis seni patung di Jogja bersama Soedjojono dan Hendar Gunawan.

Namun, tidak seperti van Gogh yang nasibnya begitu mengenaskan sampai-sampai hanya satu lukisannya yang terjual saat ia hidup, Affandi lebih beruntung.

museum affandi

Ruang pamer berisi lukisan anak-anak Affandi via instagram.com/jejeprimaw

Isi etalase kaca itu buktinya. Di sana dipamerkan beberapa penghargaan yang diterima Affandi semasa hidupnya. Penghargaan-penghargaan itu tak hanya diberikan oleh institusi di Indonesia, namun juga dari luar negeri. Ia bahkan dianugerahi gelar doktor honoris causa dari sebuah universitas di Singapura pada 4 Agustus 1974.

Tapi, peninggalan Affandi paling nyeleneh yang dipajang dalam ruang utama Museum Affandi itu adalah sebuah Mitsubishi Galant berwarna kuning. Bentuknya seperti ikan, lengkap dengan sirip yang menghiasi bagian atasnya. Dengan mobil kuning itulah dulu Affandi jalan-jalan untuk mencari inspirasi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar