Media sosial memunculkan banyak kesempatan bagi semua orang untuk partisipatif dalam pembuatan konten. Ada yang memanfaatkannya untuk promosi produk, ada yang membuatnya sebagai citra diri digital, dan ada pula sebagai kampanye. Yang perlu digaris bawahi adalah selain menjamur dengan berbagai konten sampah yang tidak mendidik, ada beberapa akun yang mengimbanginya dengan berbagai konten edukasi, salah satunya yakni akun Instagram Palalah.id.

Seringkali pengumpulan data tidak cukup sekali saja, mereka mesti memastikan semua kebutuhan data terpenuhi
Seringkali pengumpulan data tidak cukup sekali saja, mereka mesti memastikan semua kebutuhan data terpenuhi (Dok. Palalah)

Sebagai salah satu daerah yang mempunyai potensi sejarah yang masih belum banyak digali, Kalimantan Selatan belum tampil maksimal dalam penyajian kesejarahan daerah. Narasi sejarah yang diketahui secara umum oleh masyarakat hanya berkisar pada Perang Banjar dan sejarah berdirinya Kerajaan Banjar, yang mana itupun hanya sebagian garis besarnya saja. Banyak dari generasi muda yang kurang peduli dengan sejarah dan budaya asal tempat mereka, arus kemodernan telah melenakan mereka dengan identitas “global” tapi lupa dengan identitas “lokal”.

Palalah, sebuah komunitas yang terbentuk oleh kecintaan kepada sejarah dan budaya lokal, khususnya budaya di Kalimantan Selatan, turut membagikan momen-momen perjalanan mereka menelusuri belantara Kalimantan. Nama Palalah diambil dari bahasa Banjar hulu lalah adalah suatu kegiatan pengembaraan/penjelajahan/perjalanan. Dengan prefiks pa (dalam bahasa Banjar) maka merujuk pada objek yang melakukan kegiatan, maka secara bahasa palalah adalah orang yang melakukan pengembaraan/penjelajahan/perjalanan. 

Bersama orang-orang yang ahli di bidangnya, Palalah menyisiri satu per satu sumber sejarah (Dok Palalah)
Bersama orang-orang yang ahli di bidangnya, Palalah menyisiri satu per satu sumber sejarah (Dok. Palalah)

Awal mula Palalah diinisiasi oleh dosen-dosen jurusan Pendidikan Sejarah dan juga senior yang berkompeten di bidang sejarah dengan tujuan meneliti sejarah kebudayaan dan tradisi yang ada di Kalimantan Selatan. Lambat laun, Palalah tidak hanya menarik bagi mereka yang berkecimpung di jurusan Sejarah, namun merambah ke berbagai latar belakang. Ada peneliti, dosen, guru, hingga anak kuliah. Semua latar belakang, yang penting memiliki minat sejarah, budaya, dan tradisi yang tinggi bisa untuk masuk ke Palalah. ”Ada yang lulusan ekonomi, ada yang PGSD, ada yang hukum,” papar Adytia Riswan Effendy, seorang guru SMA 1 Muara Uya yang merupakan anggota Palalah, yang juga rajin berkecimpung di media sosial. Berdiri sejak 2015, Palalah menjaga idealismenya dengan tidak berafiliasi dengan lembaga apapun. Semangat yang diusung adalah semangat lintas agama, wilayah, usia, dan budaya dengan jumlah anggota yang mencapai 45 orang.

Dengan didampingi figur senior yang telah lama berkecimpung di bidang sejarah dan budaya seperti Drs. Hairiyadi, M. Hum, anggota Palalah berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Sudah puluhan perjalanan yang mereka lakukan semenjak 2016 dan dibagikan di media sosial Instagram, seperti ke Pegunungan Meratus, Aranio, Margasari, dan lainnya. Tampak para anggota begitu sumringah ketika melakukan penjelajahan. Penjelajahan demi penjelajahan ini adalah untuk menegaskan bahwa masih ada sekelompok orang yang peduli akan budaya lokal yang ada di Kalimantan Selatan dan ingin membagikan pengetahuannya kepada masyarakat umum. “Semisal di Meratus ada kegiatan aruh, diundang oleh orang Meratus dan ada kabarnya kami berangkat.” 

“Kami juga menelusuri kesejarahan seperti yang baru saja ke Candi Laras di Margasari. Dalam waktu dekat ini juga akan kembali ke wilayah Candi Larasnya tapi ke pemukiman lama namanya Pematang Bata, yang asal usul menjadi orang Banjar Batang Banyu.” Mendengar penjelasan Riswan, saya baru ingat, hanya ada dua candi yang ditemukan di Kalimantan Selatan, Candi Laras di Margasari dan Candi Agung di Amuntai sebagai sisa-sisa peradaban Hindu-Budha di Kalimantan Selatan.

Para anggota komunitas aktif berdiskusi baik dengan topik yang ringan maupun berat. Sebelum berangkat malalah, masing-masing anggota grup berkoordinasi melalui grup Whatsapp untuk menentukan keberangkatan. Bagaimana untuk pembagian tugas? Siapapun boleh menjadi apa saja, tidak ada pembagian khusus semisal satu orang untuk memotret atau yang lain sibuk mencatat. “Gawi sabumi haja,” kelakar Riswan. Semua pekerjaan dilakukan bersama-sama agar terasa ringan, istilah kerennya “palugada”.

Ada satu pengalaman selama Riswan mengikuti Palalah yang mengajarkannya sebuah pengetahuan baru. Banyak selama ini menduga bahwa orang Bukit (suku-suku yang berada di Meratus) adalah sama dengan orang Dayak. “Setelah ikut menelusuri bersama dosenku yang lebih dari 30 tahun beliau membawa mahasiswa ke wilayah Meratus. Beliau berujar bahwa orang Bukit bukan Dayak, ada perbedaan yang signifikan dengan orang Dayak kebanyakan,” ujar Riswan. “Orang-orang Bukit itulah yang akhirnya menjadi cikal bakal orang-orang Banjar yang sekarang, orang-orang Banjar Hulu.”

Berdasarkan penuturan Riswan, perbedaan signifikan itu dapat terlihat dari bahasa dan tata cara upacara. Dalam upacara orang Bukit seperti bamamang, kosa kata yang mereka gunakan lebih condong ke bahasa Banjar, sedangkan upacara sejenis dalam Dayak tidak ditemukan bahasa Banjar. Dan juga untuk orang Bukit tidak ditemukan upacara kematian, sedangkan pada orang Dayak lebih seringnya upacara kematian. Masih banyak bukti-bukti terkait perbedaan antara Bukit dan Dayak lainnya.

Pengumpulan data secara intensif melibatkan berbagai pihak, salah satunya adalah penduduk lokal (Dok Palalah)
Pengumpulan data secara intensif melibatkan berbagai pihak, salah satunya adalah penduduk lokal (Dok. Palalah)

Orang-orang Bukit adalah Proto Melayu (Kerajaan Tanjung Puri) yang terdesak oleh kehadiran Deutro Melayu (Kerajaan Nagara Dipa) kemudian berpindah ke daerah bukit-bukit nan berjejer memanjang di Kalimantan Selatan yang dinamakan Pegunungan Meratus. Hingga kini kebudayaan mereka tetap lestari Teori orang Bukit berasal dari daerah pesisir dibuktikan dengan salah satu upacara mereka yaitu upacara batajak tihang layar yang secara logika merupakan penanda masyarakat maritim. “Ornamen-ornamen suku Bukit yang ada di Loksado itu pasti ada perahu,” ujar Riswan menambahkan.

“Kosa kata Dayak pun sebenarnya adalah pemberian Belanda untuk membedakan masyarakat yang terdidik dengan yang tidak terdidik, karena Belanda beranggapan orang-orang Dayak adalah orang-orang primitif yang suka mengayau.” Suku-suku biasanya dinamai sesuai dengan letak tempat mereka tinggal (yang umumnya di daerah aliran sungai). Pemakaian kata Dayak memang dulunya berkonotasi negatif, namun seiring berjalannya waktu, kata itu pula yang akhirnya mengikat suku-suku di Kalimantan dengan persaudaraan yang kuat, terutama setelah Perjanjian Tumbang Anoi.

Sebagai seorang guru sejarah, Riswan mengajar sejarah nasional seperti yang ada di kurikulum kemudian menyelinginya dengan sejarah-sejarah yang ada di Kalimantan Selatan. Menurutnya, para siswa lebih antusias mendengarkan cerita sejarah lokal dibanding nasional. Kemungkinannya karena hal ini berkaitan dengan rasa kesamaan lingkungan dan suku, sehingga memunculkan rasa ingin tahu lebih dalam. Penyisipan sejarah lokal yang terlalu sedikit inilah yang membuat pelajaran sejarah menjadi kurang menarik bagi sebagian banyak orang. 
Riswan, sebagai putra daerah tidak ingin dan tidak mau jika budaya Banjar atau budaya lokal lainnya hanya menjadi pelengkap dibanding budaya-budaya kekinian yang banyak menarik minat anak muda. Maka tidak mengherankan jika banyak yang merasa krisis identitas, padahal dulunya padatuan kita telah mewariskan banyak hal baik yang dapat dipelajari dengan semestinya. Meskipun penuh aral, saya meyakini kawan-kawan di Palalah adalah orang-orang yang bauntung wan batuah dan dapat menjadi pembeda di tengah terpaan modernisasi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar