Hari Minggu, pagi-pagi sekali saya sudah siap-siap menikmati liburan setelah enam hari sibuk berkegiatan di sekolah.
Dalam perjalanan, saat melintasi Jalan Malioboro, perut saya keroncongan. Sambil berpikir mau makan apa pagi itu, tahu-tahu saya sudah sampai di depan Pasar Beringharjo yang melegenda itu.
Pasar Beringharjo memang sudah terkenal sampai ke mana-mana. Wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta pasti mengunjungi pasar ini. Pasar terlengkap dan terbesar di Kota Istimewa ini menjual berbagai hal, mulai dari rempah-rempah, sayur-mayur, ikan dan daging, perabotan rumah tangga, makanan dan jajanan tradisional (misalnya bakpia dengan berbagai macam isi, entah kacang hijau, ubi ungu, keju, cokelat, dll.), pakaian berbagai corak dan motif, terutama batik, sampai suvenir.
Semakin siang, pasar ini semakin padat pengunjung, entah dari luar kota maupun luar negeri. Tujuan utama mereka sudah pasti berbelanja. Pasar ini memang jadi lokasi favorit untuk belanja barang-barang tradisional yang mungkin jarang dijumpai di kota lain. Lebih seru lagi, harga barang di Pasar Beringharjo rata-rata bisa ditawar.
Jika barang-barang bernuansa tradisional dijual di bagian dalam pasar, kuliner dijual di luar atau di sisi depan pasar. Banyak sekali pilihannya, dari mulai bakpia, geplak, putu, lupis, cenil, pecel, sate, gudeg, urap, jenang, es cendol, es dawet, wedang ronde, dll.
Bukannya di warung, para pedagang menggelar dagangan mereka di tenda-tenda kecil semacam stan yang berjajar sepanjang pinggir trotoar. Makanan diletakkan di meja, sementara pelanggan makan di tempat duduk yang berhadapan dengan meja itu.
Ragam kuliner tradisional yang tersedia bikin saya penasaran. Setelah saya amati satu per satu, akhirnya saya memutuskan untuk mencoba urap.
Mencicipi urap di depan Pasar Beringharjo
Urap ini terdiri dari sayur-mayur yang direbus. Bayam, kacang panjang, wortel, dan kecambah diaduk dengan kelapa parut yang sudah dibumbui untuk menambah rasa. Rasa urap cenderung pedas.
Makanan ini cocok untuk sarapan. Biasanya orang-orang makan nasi urap bersama lauk lain seperti telur rebus/dadar, ayam goreng, tempe/tahu goreng atau bacem, tempe mendoan, bergedel kentang, bakwan, dll.
Untuk menikmati seporsi urap, saya mesti berjuang mencari tempat duduk, sebab stan-stan kuliner di depan Pasar Beringharjo ini di siang hari boleh dikatakan tak pernah sepi pembeli. Tak jarang pembeli harus rela mengantre. Tak terkecuali siang itu. Karena semua kursi di stan kuliner yang saya datangi sudah terisi, saya mesti mencari tempat duduk di dekat trotoar.
Tapi, usaha untuk mencari tempat duduk itu terbayar lunas oleh rasa urap yang enak. Sebagai tambahan, saya memesan tempe mendoan. Rasa mendoan empuk yang gurih dan sedikit asin itu melengkapi rasa urap yang renyah dan manis-pedas.
Harga makanan yang murah dan bikin kenyang berjam-jam
Harga makanan di stan kuliner depan Pasar Beringharjo relatif murah. Dengan membayar Rp14.000 saya sudah mendapatkan sepiring nasi urap dan dua tempe mendoan yang bisa membuat perut kenyang selama berjam-jam.
Saran saya, jika ingin mengeksplorasi kekayaan kuliner di Pasar Beringharjo, sebaiknya datanglah pagi-pagi. Bagi saya, udara pagi yang masih sejuk membuat saya merasa nyaman meski harus mengantre. Di siang hari pengunjung semakin banyak dan sinar matahari juga semakin terik—apalagi jika tempat duduk di bawah tenda sudah terisi.
Jadi, selamat mencoba urap dan aneka kuliner tradisional lainnya di Pasar Beringharjo. Dijamin seru!
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.