Saya bersama kawan merencanakan liburan ke Gunung Anak Krakatau. Kali ini kami memutuskan untuk menggunakan jasa open trip sehingga kami tak perlu repot-repot mengurus transportasi dari Pelabuhan Merak sampai ke tujuan, sebab meeting point-nya sudah di Pelabuhan Merak.
Saya bersama kawan-kawan diminta untuk datang ke Pelabuhan Merak sekitar pukul 22.00. Dari Jakarta kami melaju menggunakan bus dari Terminal Pulogebang menuju Pelabuhan Merak.
Sesampai di Terminal Merak yang jaraknya tidak jauh dari pelabuhan, kami lanjut jalan kaki sambil membawa tas masing-masing, lalu segera bertemu dengan pemandu wisata yang telah menanti kedatangan kami dan wisatawan lainnya. Sambil menunggu peserta lain, kami belanja jajanan ringan sebagai bekal perjalanan di minimarket terdekat. Tidak banyak memang, kami hanya membekali diri dengan jajanan asin dan manis serta beberapa minuman kemasan berwarna, termasuk yang rasa kopi.
Menariknya wisata Gunung Anak Krakatau, tidak semuanya mengenai pendakian gunung. Saya dan kawan-kawan berwisata menjelajah pulau-pulau kecil berpantai pasir putih yang diapit hamparan laut biru sejauh mata memandang. Naik kapal, kami “melompat” dari satu pulau ke pulau lainnya ditemani hembusan angin laut yang menyentuh kulit dan mengibarkan rambut.
Setiba di Lampung
Hari pertama kami mulai dari subuh. Sambil menunggu jemputan yang akan mengantarkan ke dermaga, kami beristirahat sejenak dan beribadah. Selepas ibadah, mata ini masih terasa berat untuk dibuka. Kantuk masih hinggap sebab kami kurang tidur saat di feri.
Saat jemputan datang, kami masuk mobil sesuai kelompok masing-masing. Setelah semua terangkut—orang dan barang bawaan—Mitsubishi Colt itu melaju menyusuri jalanan utama Lintas Sumatera yang terkenal panjang, sepi, dan berkelok.
Matahari pagi mulai mengintip dan bersiap menaiki langit, menandakan bahwa hari sudah dimulai. Angin pun berhembus sangat kencang, tapi sejuk, menerpa badan kami karena jendela kendaraan terbuka. Akibatnya, sebagian dari kami yang masih mengantuk pun melanjutkan tidur.
Saya sendiri berusaha dengan amat sangat melawan kantuk demi menikmati pemandangan yang elok, walaupun akhirnya sempat tertidur sepersekian detik dan terkaget bangun kembali.
Mitsubishi Colt yang kami tumpangi menepi di bibir pantai dekat Dermaga Canti. Dari sinilah kami menyeberang dari Lampung ke pulau-pulau sekitar Gunung Anak Krakatau. Di dermaga ini kami sempat ke warung untuk sarapan. Biaya sarapan kali ini, seperti yang sudah disepakati, tidak ditanggung oleh penyedia tur.
Makanan pun habis, perut telah kenyang terisi, kami pun bersiap-siap dan mengenakan pakaian siap basah. Soalnya, setelah ini kami langsung snorkeling di laut lepas. Peralatan standar bagi seluruh peserta tur sudah disiapkan oleh penyedia jasa perjalanan, mulai dari kacamata selam, kaki katak, snorkel, sampai pelampung.
Menginap di Pulau Sebesi
Terus terang saya lupa nama-nama pulau yang kami singgahi. Saya hanya bisa menawarkan foto-foto yang dapat memperlihatkan betapa indahnya gugusan pulau yang ada di sekitar Gunung Anak Krakatau. Yang saya ingat—itu pun setelah googling—kami tinggal di homestay penduduk di Pulau Sebesi. Pulau ini cukup luas dan ada penghuni. Beberapa orang dari keluarga nelayan Pulau Sebesi ada yang mulai “migrasi” menjadi pengusaha akomodasi untuk wisatawan.
Namun, sebelum ke Pulau Sebesi, kami dibawa menikmati pemandangan pulau-pulau yang ditumbuhi pepohonan hijau. Kami juga sempat mampir melihat-lihat, atau snorkeling menjelajahi bawah laut bermain-main bersama ikan-ikan kecil di sekitar terumbu karang aneka warna.
Baru setelah lelah snorkeling dan keliling pulau kami meluncur ke Pulau Sebesi. Setelah bersih-bersih sekadarnya di homestay, kami disuguhi makan siang prasmanan di sebuah pendopo. Di dekat sana, ada warung yang menjajakan aneka dagangan untuk wisatawan. Mau es kelapa? Warung itu menyediakan kelapa utuh yang siap dibuka dan dinikmati di tempat. Sang pemilik warung juga selalu menyiapkan gorengan fresh yang baru diangkat dari penggorengan.
Kegiatan selanjutnya menanti. Sekitar jam 3 sore, kami dikumpulkan kembali, diarahkan menuju kapal, dan dibawa menjelajah ke pulau selanjutnya. Banyak dari wisatawan mengabadikan momen ini dengan berfoto kelompok atau berswafoto menggunakan gawai yang mereka bawa, entah telepon genggam atau kamera DSLR.
Latar pulau dengan pemandangan laut biru, juga pulau berpasir putih tak berpenghuni di seberang sana, semuanya jadi sasaran bidik para pemburu foto yang sangat antusias; inilah barangkali yang jadi salah satu tujuan orang untuk berwisata. Gaya demi gaya diabadikan dalam setiap jepretan kamera. Para fotografer berpindah-pindah posisi demi mendapatkan hasil foto yang unik dan menarik untuk dijadikan kenang-kenangan.
Lama kami bersandar di pulau. Matahari pun telah turun dari singgasana langit yang tinggi. Hari yang tadinya terik pun berubah jadi sekadar hangat. Angin sore menerpa kulit kami. Siap beranjak, kapal pun melaju membelah ombak. Sang nakhoda mengarahkan kapal ke tempat selanjutnya.
Kapal lalu berhenti di tengah laut tanpa menurunkan jangkar. Ternyata sang nakhoda hendak membawa kami melihat pemandangan indah di sebelah barat, yakni matahari yang bersiap turun ke cakrawala. Perlahan namun pasti, warna langit berubah dari biru muda menuju gelap dengan aksen oranye dari cahaya matahari. Para pemburu gambar membidikkan kamera ke arah barat, termasuk saya yang suka melihat keelokan matahari terbenam. Akhirnya, matahari pun tenggelam sempurna. Sudah Magrib, saatnya kami pulang ke Pulau Sebesi untuk beristirahat.
Trekking di Gunung Anak Krakatau
Subuh dini hari kami dibangunkan alarm telepon genggam. Segera kami bangun dan bersiap melanjutkan kegiatan. Kami memang mesti beraktivitas dari gelap, sebab tempat yang kami tuju selanjutnya berjarak dua jam perjalanan lebih naik kapal, yakni Gunung Anak Krakatau. Kesiangan, akan sangat terik nanti ketika kami trekking di gunung itu.
Perjalanan bisa dibilang cukup menegangkan. Kami—dan perut kami masing-masing—diombang-ambing gelombang. Goncangan itu tentu tak membuat tertawa melainkan mual. Karena tak tahan di dek dalam, akhirnya saya pergi ke dek luar dan berdiri di buritan. Menurut saya rasanya lebih nyaman, sebab yang terombang-ambing hanya kaki saya sementara badan hanya menyesuaikan.
Lalu tibalah kami di pesisir Gunung Anak Krakatau. Sayang sekali kami tidak bisa menikmati sunrise dari atas gunung. Matahari sudah telanjur terbit. Tapi tak mengapa, selama perjalanan saya sempat mengabadikan momen matahari terbit dengan kamera ponsel. Memang tak banyak, sebab, diiringi suara mesin kapal yang cukup keras, saya fokus menikmati pemandangan itu. “Betapa nikmatnya melihat pemandangan ini,” batin saya dalam hati.
Setelah kapal sandar sempurna, kami istirahat sambil meregangkan badan di pantai. Pihak tur membagikan kotak sarapan. Ternyata nasi goreng serta beberapa hidangan sampingan yang memang sengaja dipilih agar kami punya bekal tenaga untuk mendaki. Kenyang menyantap nasi goreng, kami segera bersiap mendaki.
Jalur yang kami tempuh lumayan menggetarkan dengkul dan kaki. Napas jadi lebih sering dihela, jantung juga berdetak semakin kencang. Lumayan juga ternyata medan Gunung Anak Krakatau. Tak lama sampai akhirnya kami tiba di titik aman bagi wisatawan, di tempat paling direkomendasikan sebagai “puncak perjalanan” sebab aman dari bebatuan dan bau belerangnya tidak terlalu menyengat.
Angin sangat kencang dan matahari pun mulai beranjak naik. Namun semua itu tidak menyulutkan semangat kami untuk berfoto bersama dan menikmati indahnya hamparan laut biru yang menyatu dengan cakrawala. Selesai berfoto, kami pun turun menyusuri jalan setapak untuk kembali ke pantai. Setiba di sana, kami segera naik kapal untuk kembali ke Pulau Sebesi tempat kami menginap. Karena sesampai di Pulau Sebesi hari sudah siang, kami segera berkemas dan bersiap untuk pulang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Bepergian mendaki gunung dan menyelami laut.