Sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, Bandung memiliki tantangan serius untuk mencukupi kebutuhan pangan lokal warganya. Betapa tidak, sejumlah data statistik menunjukkan perlunya intervensi dan gebrakan besar yang bersifat kolaboratif untuk mengatasi persoalan tersebut.
Kota berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa pada tahun 2022 itu (BPS Kota Bandung, 2023), dengan populasi terbesar penduduk berusia produktif antara 15–29 tahun (mencapai 24%), harus menggantungkan pasokan sumber pangan segar yang aman dikonsumsi sebanyak 96% dari daerah luar Bandung (Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung, 2022). Baik dari provinsi di Jawa maupun luar Jawa. Jenis pangan itu antara lain tanaman pangan dan hortikultura (beras, buah-buahan, sayuran, palawija, rempah-rempah), hasil peternakan (telur, daging, susu), serta hasil perikanan (ikan segar dan ikan asin).
Selanjutnya tersisa hanya kurang dari 4% saja total kebutuhan pangan yang sanggup dipenuhi dari hasil produksi pertanian lokal. Penyebabnya antara lain ketersediaan lahan pertanian yang sangat kecil, yakni 807,11 hektare, atau hanya 4,8% dari total luas wilayah Kota Bandung yang mencapai 167,31 km2. Angka ini bisa terus menurun akibat konversi lahan untuk pembangunan nonpertanian dan lambatnya regenerasi petani (BPS Kota Bandung, 2023).
Kondisi alam turut memengaruhi stabilitas pasokan pangan di Bandung. Riset Adib (2014) mencatat curah hujan yang tinggi pada tahun 2010 menyebabkan hilangnya 30% pasokan sayuran segar untuk kota ini. Bencana hidrometeorologi lanjutan, yakni banjir, menghambat alur distribusi dan aksesibilitas pasokan pangan ke masyarakat.
Di tengah kondisi itu, Kota Bandung juga menghadapi dampak perubahan iklim yang memengaruhi kestabilan pasokan pangan. Pada tahun 2010, tingginya curah hujan menyebabkan hilangnya 30% pasokan sayuran untuk kota ini (Adib, 2014). Distribusi pangan juga terhambat oleh masalah banjir, terutama di bagian selatan kota, yang sering terjadi dan mengganggu aksesibilitas. Selain itu, inflasi sebesar 7,45% pada Desember 2022 telah meningkatkan harga barang pokok, memperburuk daya beli masyarakat dan menambah tekanan pada akses pangan (BPS Kota Bandung, 2023).
Tekanan lain datang dari pengolahan sampah yang belum optimal. Sebanyak 44,52% sampah perkotaan di Bandung berasal dari limbah makanan, mulai dari limbah rumah tangga, pasar, perhotelan, hingga limbah makanan kedaluwarsa yang terbuang begitu saja. Angka ini sekitar 3,88% lebih tinggi dari rata-rata nasional (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2022). Padahal pengeluaran masyarakat Kota Bandung untuk makan cukup besar dan terjadi peningkatan setiap tahunnya. Jika tidak dikelola dengan baik, masalah-masalah tersebut bisa mengancam kegiatan perekonomian dan ketahanan pangan Kota Bandung.
Untuk itu perlu langkah progresif dan tepat sasaran agar penyediaan sumber pangan lokal tidak terus terjatuh dalam jurang krisis. Tingginya minat orang muda terhadap bisnis dan gerakan kemasyarakatan, ketersediaan lokapasar digital, hingga keterbukaan pada kolaborasi lintas sektor di hulu–hilir mesti disambut baik.
Inisiatif-inisiatif yang bermula dari lingkup kecil, tetapi bisa berdampak besar telah menunjukkan bukti konkret secara perlahan. Orang-orang muda muncul bak tunas pemberi harapan.
Fokus kegiatan Seni Tani menggarap lahan-lahan tidur di kawasan perkotaan menjadi kebun sayur produktif untuk menunjang
ketahanan pangan/Dokumentasi Seni Tani
Inisiatif ketahanan pangan berbasis masyarakat
Persoalan pemenuhan kebutuhan pangan lokal di Kota Bandung mengundang orang-orang muda bergerak. Salah satu yang populer adalah Seni Tani, sebuah kelompok orang muda yang diinkubasi atau diberdayakan dari Komunitas 1000Kebun. Seni Tani berfokus menghidupkan kembali lahan-lahan pertanian perkotaan yang “tertidur” alias tidak produktif di kawasan Arcamanik, khususnya Kelurahan Sukamiskin.
Gerakan tersebut muncul dengan konsep Community Supported Agriculture (CSA), yang menghasilkan produk pertanian ramah lingkungan secara kolektif. Program CSA berupaya mengembangkan sistem pasar pangan lokal secara adil, menghubungkan konsumen dan petani tanpa sekat, hingga melakukan edukasi dan praktik pertanian berkelanjutan untuk generasi muda. Generasi muda di Bandung menjadi kelompok yang paling diperhatikan, mengingat tingginya tingkat depresi akibat pengaruh media sosial dan kesulitan ekonomi selama pandemi COVID-19 lalu.
Berdasarkan riset Pertiwi dkk (2021), pada Agustus 2020, dari 647 responden remaja usia 14–18 tahun di Kota Bandung, sebanyak 58,74 mengalami kecemasan sebagai bentuk kondisi psikologi negatif akibat pandemi COVID-19. Dari jumlah itu, 32,15% di antaranya mengalami depresi sedang atau berat. Mereka mengalami tekanan psikologis yang berat akibat adanya kebijakan pembatasan interaksi dan adaptasi kebiasaan baru oleh pemerintah. Sementara BPS Kota Bandung (2021) menyatakan adanya kenaikan tingkat pengangguran terbuka di kalangan muda (angkatan kerja di atas 15 tahun) di kota tersebut selama pandemi. Dari 105.067 orang (8,16%) pada 2019, meningkat menjadi sebanyak 147.081 orang (11,19%) pada 2020.
Kondisi itu termasuk yang melandasi lahirnya gerakan berbasis orang muda oleh Seni Tani. Setidaknya ada tiga aspek yang diperjuangkan Seni Tani, yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dari sisi lingkungan, Seni Tani mengubah lahan tidur di kawasan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) Arcamanik menjadi kebun pertanian organik. Lalu dari segi sosial, Seni Tani melibatkan orang muda dan komunitas setempat untuk mendapatkan pelatihan urban farming dan menyediakan akses pangan lokal dan sehat. Terakhir di aspek ekonomi, para petani muda kota yang tergabung dalam Seni Tani mendapatkan kepastian pendapatan dari hasil tani mereka dengan pendekatan sistem CSA atau Tani Sauyunan.
Contoh komoditas sayur organik hasil panen dari kebun-kebun yang dikelola Seni Tani maupun petani muda mitra
di Kota Bandung/Dokumentasi Seni Tani
“Sauyunan” bermakna kebersamaan, yang berarti sistem ini akan mendekatkan petani dan masyarakat secara langsung. Sampai dengan Oktober 2024, 189 orang warga Kota Bandung telah menjadi anggota CSA-Tani Sauyunan. Sejak Januari 2021, gerakan ini telah menggarap 913 m2 lahan tidur, mengolah 12.046 kg sampah dapur dan halaman, menghasilkan 6.023 kg kompos, dan memproduksi 1.934 kg sayuran sehat.
Inisiatif hebat dari orang muda tersebut disambut positif oleh AKATIGA, lembaga penelitian nonprofit yang berdiri sejak tahun 1991 dan didirikan oleh sekelompok peneliti ilmu sosial Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan International Institute of Social Studies Den Haag (ISS). Lembaga ini bergerak dengan tiga fokus kegiatan: penelitian sosial, monitoring dan evaluasi program-program pembangunan, serta rekomendasi kebijakan.
Sebagai upaya memastikan kelestarian sistem CSA oleh Seni Tani, kedua pihak kemudian sepakat membangun Konsorsium Paguyuban Pangan (PUPA) dengan program utama penguatan kapasitas komunitas dalam mengembangkan sistem pangan lokal Kota Bandung secara berkelanjutan. Dalam rilis resminya, AKATIGA meyakini CSA Tani Sauyunan sebagai peluang orang-orang muda untuk menciptakan lingkungan sosial, politik, dan ekonomi; yang memungkinkan orang muda memiliki akses dan kontrol lebih besar terhadap sumber daya penghidupan berkelanjutan di perkotaan.
Konsorsium ini adalah bagian dari program Urban Futures yang didukung oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis). AKATIGA berupaya mendukung perkembangan CSA Tani Sauyunan melalui kerangka riset dan advokasi kebijakan. Harapannya, kemudian mendorong ruang kebijakan yang dapat memfasilitasi sistem berbasis komunitas tersebut sebagai alternatif untuk memperkuat sistem pangan berkelanjutan di Kota Bandung.
Dalam pernyataan resminya di acara peluncuran Urban Futures di Pendopo Kota Bandung (8/3/2024), Vania Febriyantie, pendiri Seni Tani, menganggap Seni Tani bagaikan doa yang diaminkan lewat program Urban Futures. Baginya, sangat penting untuk mengenal asal makanan, siapa yang menanam, dan bagaimana cara menanam agar menimbulkan empati pada sepiring makanan yang tersaji. Ia berharap bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk menjaga ketahanan pangan di Kota Bandung secara berkelanjutan.
Program CSA-Tani Sauyunan menghubungkan distribusi produk sayuran antara petani dengan pemesan (pasar)
secara langsung/Dokumentasi Seni Tani
Gandeng tangan untuk ketahanan pangan Bandung
AKATIGA dan Seni Tani tidak bisa berjalan sendirian. Langkah progresif lewat bingkai Konsorsium PUPA perlu kawalan tangan multipihak untuk menjamin keberlanjutan. Sebab, pertumbuhan populasi penduduk merupakan keniscayaan. Kian banyak orang yang harus dicukupi kebutuhan pangan dan nutrisinya. Pun perubahan iklim terus menggerus bumi, menimbulkan ketidakpastian dalam sistem pertanian masyarakat. Butuh banyak tangan orang muda untuk saling bergandengan mewujudkan ketahanan pangan perkotaan.
Urban Futures menjadi salah satu medium untuk mewujudkan itu. Program global lima tahun (2023–2027) tersebut berfokus pada sistem pangan perkotaan, kesejahteraan golongan muda, dan aksi iklim. Di Indonesia, selain Manggarai Barat, pelaksanaan program yang dikelola Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis) dengan dukungan mitra, jaringan, dan pakar lokal tersebut juga berlangsung di Bandung. Acara kick-off Urban Futures Bandung berlangsung pada 5–6 Maret 2024 di Pendopo Kota Bandung. Sejumlah pemangku kepentingan hadir. Mulai dari Yayasan Humanis, Pemerintah Kota Bandung, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung, hingga pelaksana program Urban Futures di Bandung, seperti RISE Foundation dan Konsorsium KOPAJA.
Dalam keterangannya melalui portal berita Pemerintah Provinsi Jawa Barat (8/3/2024), Asisten Perekonomian dan Pembangunan Pemerintah Kota Bandung Eric M. Attauriq menyambut positif kegiatan tersebut. Ia menyebut kolaborasi tidak hanya penting untuk mendukung ketahanan pangan, tetapi juga memberi kemudahan akses pangan berkelanjutan, beragam, dan bergizi. Baginya, Urban Futures sangat relevan dengan budaya kreatif yang dimiliki orang muda Kota Bandung dalam melakukan transformasi sistem pangan yang inklusif dan berkelanjutan.
Di sisi lain, Kepala DKPP Kota Bandung Gin Gin Ginanjar mengungkapkan rasa syukurnya karena, Kota Bandung mendapat kesempatan menyelenggarakan kegiatan Urban Futures. Ia menyebut kegiatan ini merupakan buah dari upaya Pemerintah Kota Bandung dalam menggalakkan program Buruan Sae, sebuah program pertanian perkotaan (urban farming) terintegrasi yang ditujukan untuk menanggulangi ketimpangan permasalahan pangan di Kota Bandung. Program ini mengajak masyarakat memanfaatkan pekarangan atau lahan yang ada untuk berkebun memenuhi kebutuhan pangan di lingkup keluarga.
Pernyataan dari perwakilan pemerintah daerah tersebut menunjukkan komitmen dan dukungan pada ikhtiar mewujudkan kemandirian pangan lokal, termasuk mengakomodasi peluang kolaborasi dengan inisiatif-inisiatif komunitas setempat. Tujuannya adalah agar Kota Bandung tidak bergantung pada wilayah lain.
Direktur Eksekutif Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial, Tunggal Pawestri menyampaikan apresiasi terhadap Pemerintah Kota Bandung. Kota Kembang ini terpilih sebagai kolaborator berkat sejumlah prestasi serta rekam jejak aktivasi Pemerintah Kota Bandung dalam upaya menjaga ketahanan pangan. Lebih lanjut, Tunggal Pawestri mendorong generasi muda untuk menjadi aktor transformasi ketahanan pangan di masa depan.
Maka terbitnya Perda Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2024 tentang Pelayanan Bidang Pangan, Pertanian dan Perikanan, yang berimplikasi mendorong peningkatan produksi pangan lokal, perlu diterjemahkan lebih teknis ke dalam peraturan-peraturan turunan. Tujuannya, payung-payung hukum tersebut akan melindungi upaya peningkatan produksi pangan lokal berbasis masyarakat, memastikan akses pangan secara sehat dan aman, serta mencari bibit orang-orang muda lainnya sebagai garda terdepan dalam peningkatan produksi dan ketahanan pangan lokal di Kota Bandung.
Referensi:
Adib, M. (2014). Pemanasan Global, Perubahan Iklim, Dampak, dan Solusinya di Sektor Pertanian. BioKultur, Vol.III/No.2/Juli–Desember 2014, hal. 420–429. https://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-bkbbfe09eddcfull.pdf.
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2020). Kota Bandung dalam Angka 2020. Diakses dari https://bandungkota.bps.go.id/id/publication/2020/04/27/0a1cfa49906db067b3fb7e5e/kota-bandung-dalam-angka-2020.html.
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2021). Kota Bandung dalam Angka 2021. Diakses dari https://bandungkota.bps.go.id/id/publication/2021/02/26/2fb944aeb2c1d3fe5978a741/kota-bandung-dalam-angka-2021.html.
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2023). Kota Bandung dalam Angka 2023. Diakses dari https://bandungkota.bps.go.id/id/publication/2023/02/28/13fdfc9d27b1f2c450de2ed4/kota-bandung-dalam-angka-2023.html.
Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung. (2022). Rencana Strategis (Renstra) Perubahan Kota Bandung 2018–2023. Diakses dari https://ppid.bandung.go.id/storage/ppid_pembantu/informasi_setiap_saat/dS2XItXwdwGYkIrVET4EaaEYPawo6S1qeq4FFWUZ.pdf.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional. SIPSN. Diakses dari https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/.
Pertiwi, S. T., Moeliono, M. F., dan Kendhawati, L. (2021). Depresi, Kecemasan, dan Stres Remaja selama Pandemi Covid-19. Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI HUMANIORA, Vol. 6, No. 2, September 2021. DOI: http://dx.doi.org/10.36722/sh.v6i2.497.
Foto sampul: Inisiatif orang muda peduli sistem pangan berkelanjutan lewat gerakan Seni Tani di Kota Bandung, Jawa Barat/Dokumentasi Seni Tani
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.