Pagi itu, setelah mandi dan sarapan, saya terburu-buru mengangkut dua ransel saya menuju dua bus kecil yang terparkir di halaman sebuah sekolah di Oe Ekam.
Sudah tiga malam sejak saya menuruni tangga burung besi di Bandara El Tari, Kupang. Saya memang sedang mengikuti sebuah summer school yang mengharuskan saya berpindah tempat dari Jakarta ke Jawa Barat lalu terbang ke Kupang, Pulau Timor, untuk mengunjungi tiga desa: Tli’u, Oe Ekam, dan Oh Aem.
Pagi ini jadwal kami berpindah ke Oh Aem. Bus hijau kecil berlabel Mitra Kokoh itu sejak dari Kupang mengikuti perjalanan kami—hingga besok sore untuk mengantarkan kami kembali ke penginapan di Kupang.
Seorang lelaki kurus sedang menata tas teman-teman saya di atap bus. Saya menyorongkan ransel hitam saya, dia menyambutnya dari atas bus. Setelah beres ditata, ia menggelar terpal lalu mengamankannya dengan tali panjang yang diikat di sana-sini.
Sementara saya terkagum-kagum dengan keterampilan tali temali si lelaki (entah namanya siapa), seorang teman menyodorkan dua lembar masker.
“Pakai dua lapis masker, Vi. Banyak debu,” katanya. Saya mengangguk dan menerima masker pemberiannya. Dalam hati saya membatin, setebal apa debunya sampai-sampai saya harus bermasker dobel? Entahlah. Saya manut saja. Saya letakkan masker di kantong baju sebelah depan, lalu mendekat ke ketua rombongan. Ada pengumuman singkat tentang perjalanan ke desa terakhir itu.
Kata Bang El, ketua rombongan kami, perjalanan ke Oh Aem akan memakan waktu sekitar 4 jam, tidak termasuk waktu istirahat makan siang. Setelah beberapa pengumuman lain—misalnya soal kegiatan yang akan kami lakukan dan kondisi air di Desa Oh Aem—kami pun masuk ke bus.
Rombongan kami dibagi ke dalam dua bus kecil yang masing-masing memuat 20 orang beserta barang perlengkapan. Saya naik ke bus nomor 2, tempat di mana teman-teman “se-genk” saya sudah menguasai tempat duduk paling belakang. Genk saya yang terdiri dari enam orang ini terbentuk tidak sengaja, hanya karena obrolan penuh tawa di rumah makan pada hari pertama. Setelah saling lempar lelucon, kami sukses menjadi enam orang yang sulit terpisahkan selama dua minggu .
Bus berjalan melalui jalan sempit di antara selang-seling aspal dan bebatuan. Kami sempat berhenti di depan sebuah bank di So’e. Beberapa teman butuh menukarkan uang dolar mereka ke rupiah.
Sementara menunggu mereka, saya melipir ke depan kantor pemerintahan. Di halaman parkir sepeda motornya terdapat seorang ibu yang berjualan kue dan minuman hangat. Ia sedang bercakap dengan seorang ibu lain yang kalau dilihat dari pakaiannya adalah staf di kantor tersebut. Saya memesan teh sambil mencuri dengar obrolan mereka.
“Mama, sesuk lebe baik bawa serbet sa, sonde usah pakai tisu,” logatnya medok seperti orang Jawa.
Lalu saya bertanya kenapa ia bisa medok begitu.
“Ohh… beta ini dari Malang. Datang ke sini melu beta pung suami,” perpaduan kemedokan dan bahasa setempat terdengar lucu di telinga. Setelah menghabiskan teh dan membayar, saya kembali ke bus. Perjalanan pun berlanjut.
Tidak jauh dari sebuah gereja tempat kami istirahat makan siang, bus berbelok ke sebuah jalan beraspal yang sedikit lebih sempit. Rupanya, di jalan inilah masker diperlukan. Mungkin hanya 2 km saja dari belokan tadi, jalan yang awalnya berwarna hitam aspal berubah menjadi cokelat muda.
Bus depan seperti meniupkan napas debu cokelat ke bus kami. Si roda empat mulai tidak stabil, jalannya seperti terombang-ambing. Ah… mungkin hanya beberapa kilometer saja, pikir saya—ternyata belasan kilometer. Seorang teman mengatakan bahwa jalan ini sedang dalam tahap perbaikan untuk nantinya diaspal dan jadi jalan yang lebih bagus. Semoga!
Di tengah perjalanan, di antara debu yang pekat, saya melihat serombongan anak sekolah. Rupanya ini jam pulang sekolah. Beberapa dari mereka duduk santai di pinggiran penutup bak truk yang melaju di depan. Lebih banyak yang jalan kaki.
Saat bus sudah dekat dengan rombongan anak-anak ini, ada beberapa yang berlari mendekati Artur, teman saya yang duduk di pintu bus. Mereka minta izin menumpang. Setelah diiyakan, mereka meraih tangga belakang bus lalu bergelantungan di sana. Teman saya menyuruh mereka naik ke atap. Mereka menurut. Tiga anak ini bergantian naik dan duduk di atas. Lima menit kemudian, seorang teman dari depan membawa kresek hitam yang ternyata sudah diisi dengan beberapa camilan dan air mineral, menyodorkan kepada Artur, menyuruhnya memberikan kepada anak-anak di atap.
Bus sepi, mungkin karena kami lelah, atau karena berdoa supaya bus sampai di Oh Aem dengan selamat. Sesekali saya mendengar suara cekikikan anak-anak di atas bus. Entah menertawakan apa. Sesekali mereka memanggil teman-temannya yang berhasil mereka lampaui dengan naik bus ini.
Pikiran saya lalu terbang ke Jogja, tempat saya bekerja sebagai pengajar. Berganti-gantian pikiran saya membayangkan mahasiswa saya dengan anak-anak di atap. Pernahkah mereka, yang mengawali kuliah dengan motor pelat putih itu merasakan jalan kaki berkilo-kilometer untuk mencapai sekolah, menumpang ke atas bus dan bahagia karena bisa menghemat tenaga? Apakah mereka cukup bersyukur karena bisa mencapai pendidikan di universitas, difasilitasi kendaraan baru di perantauan? Lalu saya sendiri? Ah… memalukan sekali melihat kemudahan yang saya miliki dan perkara yang sering saya keluhkan….
Bayangan-bayangan tentang diri sendiri, mahasiswa, dan anak-anak di atas pecah saat terdengar ketukan dari atap.
Anak-anak itu minta berhenti, rumah mereka sudah dekat. Mungkin satu dari beberapa rumah berpagar kayu di depan bus. Bus berhenti, mereka menuruni tangga besi lalu melompat turun. Bus berjalan pelan, mereka mengejar sambil melambaikan tangan.
“Terima kasih, om!” teriak mereka bersahut-sahutan.
Bus melaju, kabut debu menebal. Saya lihat Artur yang sedari tadi duduk di lantai bus dan menghadap jalan. Rambut hitamnya berubah jadi pirang. Dia tertawa-tawa, saya juga. Oh Aem masih jauh.
Hati terguncang-guncang, sama seperti tubuh dalam bus di perjalanan ini. Rasanya sungguh tidak keruan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Merantau dari Banjarmasin ke Yogyakarta sejak 2005. Kadang mencuri waktu untuk jalan-jalan di antara kesibukan meneliti dan mengajar di universitas.