Sekitar pukul 20.00 malam Minggu (25/4) kemarin, saya mendapat surel dari PSBK berisi tautan untuk menonton Jagongan Wagen edisi April 2020. Dengan antusias saya mengkliknya. Saya memang sudah kangen sekali dengan Jagongan Wagen. Edisi Februari saya tak menonton; edisi Maret (yang juga disiarkan di kanal YouTube PSBK) juga terlewat.

Jadi, ini adalah kali pertama saya menonton streaming Jagongan Wagen. Saya sama sekali belum punya gambaran bagaimana pertunjukan akan dilangsungkan. Menurut jadwal, penampilan akan dimulai jam 20.30. Berarti masih sekitar setengah jam lagi. Lalu, kalau saya masuk ke kanal YouTube PSBK sekarang, apa yang akan saya saksikan?

Ternyata saya langsung disambut oleh Jeannie Park, yang lalu memberikan pengantar mengharukan dalam bahasa Indonesia. Direktur PSBK itu berbicara dengan latar patung Alm. Bagong Kussudiardja sedang duduk santai bertelanjang dada.

Mendadak saya kangen teater mini PSBK.

Setelah sambutan Jeannie Park, saya kira layar akan kosong sebentar, atau lagu-lagu santai akan diputar—jazz barangkali, sambil menunggu jadwal dimulai. Jika menonton langsung di PSBK, ini adalah masa-masa penonton sedang tak sabaran menunggu pertunjukan dimulai; kasak-kusuk tapi tidak ribut. Panggung masih kelam dan awak PSBK serta para seniman sedang bersiap.

Ternyata saya tidak perlu menunggu. Pertunjukan langsung dimulai. Ini bukan streaming langsung ternyata, tapi pemutaran perdana pertunjukan yang sudah disyuting dan melewati proses pascaproduksi. Videonya sudah diunggah kemarin (24/4).

Tak ada basa-basi pembuka ternyata. Para penampil langsung mempertunjukkan karya mereka, sebuah pembacaan ulang dari cerita rakyat Jawa Timur, Keong Mas. “Di Balik Pintu Rumah” langsung mengucur. Babak-babak bergulir dan pergantiannya ditandai dengan sebuah artwork abstrak hitam-putih yang sekilas barangkali bisa disalahkaprah sebagai coretan-coretan iseng kreasi kolaborasi si absurd Pablo Picasso dan si surealis Salvador Dali.

Para penerima hibah Seniman Pascaterampil itu bergantian menyuarakan dialog, atau bergerak-gerak seperti menari—tunggal, berdua, ramai-ramai. Tiap-tiap bacaan yang mereka dendangkan seperti kutipan; keras dan menusuk dan kontemplatif. Dengan indah mereka menampilkan fragmen-fragmen konflik ketika sebuah keluarga berkumpul di ruang bersama, baik nyata maupun maya.

“Bekerja dari rumah; di rumah tidak bekerja. Bekerja dari rumah; di rumah tidak bekerja,” suara para seniman penampil pada suatu fragmen. Momen #dirumahaja semasa corona ternyata tak luput dari kritikan mereka.

Yang berbeda dari menonton pertunjukan lewat monitor

Jika menonton langsung di PSBK, saya pasti akan mengernyit berusaha memperhatikan gerak-gerik para penampil. Telinga saya juga pasti akan awas demi menangkap percakapan-percakapan yang terlontar. Tapi, menonton “Di Balik Pintu Rumah” dari balik pintu rumah membuat saya tak perlu repot-repot mengernyit dan memasang telinga.

Semuanya jelas. Kamera membingkai semuanya dengan jelas dan artistik. Detail-detail ditangkap dengan apik. Kalimat-kalimat terdengar sejernih aliran sungai kecil di celah-celah tebing Himalaya.

Tapi, entah kenapa, saya jadi merasa terlalu digiring. Saya merasa tak bebas memindai panggung—yang hanya berupa ruang kecil dikelilingi empat lampu yang hidup-mati-berubah warna sesuai nuansa cerita. Meskipun tempo pertunjukan ini naik turun seperti gelombang, yang saya hadapi di depan hanya layar datar.

Tiba-tiba saya jadi teringat pengalaman sekitar satu dekade yang lalu ketika menonton pertunjukan musik blues di sebuah panggung kecil di pedestrian Malioboro. Saya ingat betul duo yang sedang tampil itu, yakni seorang gitaris yang jarinya menari-nari di antara senar Stratocaster dan seorang keyboardist yang jarinya lincah memencet tuts piano elektrik itu.

Dilihat dari YouTube, barangkali penampilan mereka biasa saja. Tapi saya merinding ketika itu. Udara seolah-olah penuh oleh “percakapan imajiner” yang terjadi antara mereka berdua. Keringat yang menetes dari pelipis, senyum yang tersungging ketika sang gitaris atau pemain keyboard berhasil merampungkan semua nada, semuanya adalah bagian holistik dari pertunjukan. Dan saya punya zona pandang yang hanya dibatasi oleh kemauan menggerakkan leher. Saya bebas membingkai pertunjukan itu sesuka hati. Barangkali itulah pengalaman menonton pertunjukan seni yang paling berkesan bagi saya seumur-umur.

Itu tak saya dapat ketika menonton pertunjukan seni lewat monitor.

Bukan berarti “Di Balik Pintu Rumah” tidak apik. Pertunjukan ini apik sekali malah. Saya menontonnya sampai habis, sampai bagian ketika para penampil menyelesaikan syuting dan mengakhiri sesi dengan berfoto bersama. Saking menariknya, saya sampai dua kali memutar videonya. Usai menonton untuk kedua kalinya, saya bertanya-tanya dalam hati: “Kapan saya bisa kembali menonton Jagongan Wagen langsung di PSBK?”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar