Para pahlawan dan bapak pendiri bangsa kita dulu juga melakukan perjalanan, lho. Tapi nggak seperti kita—anak muda kekinian yang baperan—yang jalan-jalan karena hobi, mereka jalan-jalan karena alasan lain; entah nyari ilmu untuk melepaskan diri dari penjajahan, perjalanan diplomasi, atau melarikan diri dari kejaran musuh.
Menyambut ultah ke-72 Indonesia tercinta, TelusuRI mau ngasih kamu hadiah spesial, yaitu cerita singkat tentang para pahlawan kita dan perjalanan-perjalanan yang pernah mereka lakukan.
1. Raden Mas Panji Sosro Kartono (1877-1952)
Abang RA Kartini ini merantau ke Belanda selulus HBS di Semarang. Semula dia kuliah di Sekolah Teknik Tinggi Leiden. Tapi kemudian dia sadar kalau itu bukan panggilan hidupnya. Dia ganti haluan dan malah kuliah di Jurusan Bahasa dan Kesusasteraaan Timur. Panggilan hidupnya memang bahasa. Makanya nggak heran kalau RM Panji Sosro Kartono akhirnya dikenal sebagai poliglot pertama Indonesia (bisa 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah Nusantara).
Karir sebagai wartawan perang di The New York Herald Tribune bikin Sosro Kartono harus pergi ke banyak tempat (kebetulan waktu ia memulai karir, Perang Dunia I lagi seru-serunya). Supaya bisa leluasa bergerak, ia bahkan dikasih gelar mayor sama Panglima Perang AS. Tercatat ia pernah “berkeliaran” di Prancis, Spanyol, Austria, dan tentu saja Belanda.
2. Haji Agus Salim (1884-1954)
Kalau saja pemerintah kolonial mengabulkan permohonan beasiswa sekolah kedokteran Agus Salim, mungkin lanskap sejarah Indonesia akan jauh berbeda. Gagal jadi dokter, di umurnya yang masih 22 tahun, Agus Salim muda merantau ke Jeddah dan bekerja di Konsulat Belanda di sana. Tugasnya adalah mengurus jamaah haji dari Hindia Belanda.
Pengalaman-pengalaman di Jeddah lah yang akhirnya bikin Agus Salim jadi diplomat ulung (ia bahkan pernah jadi Menteri Luar Negeri). Perjalanan-perjalanan diplomatik membawa Agus Salim ke banyak negara, antara lain India, Mesir, Amerika Serikat, dan Inggris. Kalau kamu cuma bisa pamer foto di Big Ben atau Trafalgar Square, kamu pasti melongo kalau tahu Agus Salim pernah merokok kretek di Buckingham Palace waktu penobatan Ratu Elizabeth II.
3. Tan Malaka (1897-1949)
Kalau saja zaman dulu sudah ada internet, mungkin foto-foto perjalanan yang dipos Tan Malaka di Instagram bakal bikin dia jadi selebgram. Dibanding perjalanan pahlawan-pahlawan Indonesia yang lain, mungkin petualangan Tan Malaka adalah yang paling jauh dan lama.
Perjalanan pembuka Tan Malaka adalah pelayarannya ke Haarlem, Negeri Belanda, pada tahun 1913 saat umurnya 16 tahun. Lulus sekolah guru, ia pulang ke Tanah Air. Ia sempat jadi guru di perkebunan teh di Deli, Sumatera Utara, sebelum akhirnya pergi ke Pulau Jawa. Tahun 1922 ia dibuang ke Belanda. Sejak itu perjalanannya makin jauh: ke Jerman, Uni Soviet, Filipina, Singapura, Thailand, Tiongkok, Hong Kong, Burma, dan Malaysia.
4. Iwa Koesoemasoemantri (1899-1971)
Anak Unpad yang kuliah di Dipati Ukur mungkin sudah familiar sama nama Iwa Koesoemasoemantri. Pahlawan asli Ciamis ini semula kuliah di OSVIA Bandung. Nggak main-main, OSVIA adalah sekolah calon amtenar. Tapi karena nggak mau tunduk sama kultur Barat, ia pindah ke Jakarta dan belajar hukum.
Selesai kuliah hukum di Jakarta tahun 1921, Iwa cabut ke Belanda dan kuliah di Universitas Leiden. Setelah itu ia sempat kuliah satu setengah tahun di Moskow, Uni Soviet. Pulang ke Tanah Air tahun 1927, Iwa Koesoemasoemantri terlibat aktif dalam gerakan pro-kemerdekaan. Tahun 1930 ia dibuang ke Banda Naira dan menghabiskan waktu selama sepuluh tahun di sana.
5. Ki Hajar Dewantara (1889-1959)
Mendirikan Indische Partij bersama dua orang kawannya (Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo) bikin Ki Hajar Dewantara dibuang ke Bangka oleh pemerintah kolonial. Seolah-olah Bangka di zaman itu kurang lengang untuk dijadikan lokasi pengasingan, Ki Hajar Dewantara malah dibuang semakin jauh, yaitu ke Belanda. (Orang sekarang pasti malah jingkrak-jingkrak dibuang ke Bangka, apalagi ke Belanda.)
Tapi barangkali ada hikmahnya juga Ki Hajar Dewantara dibuang ke Belanda. Di Negeri Kincir Angin, eks siswa STOVIA ini belajar ilmu pendidikan dan dapat ijazah Europeesche Akte. Kalau enggak, mungkin kamu nggak bakal pernah dengar semboyan tenar yang dicetuskan oleh pahlawan kita ini:“Tut Wuri Handayani.”
6. Sam Ratulangi (1890-1949)
Dari Tondano, Sulawesi Utara, Sam Ratulangi hijrah ke Batavia untuk bersekolah. Dari sana ia ke Belanda untuk kuliah di University of Amsterdam. Lulus sarjana, ia lanjut kuliah master di sana. Selepas S2 ia lanjut nyari gelar Ph.D ke Universitas Zurich, Swiss.
Kembali ke Indonesia, Sam Ratulangi sempat jadi guru sains di sekolah menengah. Ia juga pernah tinggal di Bandung dan bikin perusahaan asuransi. Tahun 1946 waktu Sam Ratulangi jadi Gubernur Sulawesi ia dibuang oleh pemerintah kolonial ke Serui, Pulau Yapen, Papua. Sekarang, selain diabadikan sebagai nama jalan, bandara, dan universitas, sosok Sam Ratulangi juga dilukis di uang pecahan Rp 20.000 terbaru.
7. Mohammad Hatta (1902-1980)
Dari Bukittinggi yang dahulu masih bernama Fort de Kock, Hatta merantau ke Jakarta untuk sekolah di HBS. Dari sana ia berlayar ke Rotterdam dan kuliah di Nederlandsche Handels-Hogeschool (Sekarang Erasmus University Rotterdam). Selain belajar, di Negeri Belanda Hatta juga aktif di Perhimpoenan Indonesia. Selama di Eropa, ia pernah ke Brussels, Belgia, untuk ikut pertemuan Liga Anti Imperialisme (sempat ketemu Sri Pandit Jawaharlal Nehru juga) dan ke Swiss untuk menghadiri pertemuan Liga Perempuan Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan.
Di Indonesia, Hatta semakin aktif dalam pergerakan. Khawatir aktivitas Hatta bakal membahayakan kepentingan pemerintah kolonial, ia pun diasingkan ke berbagai pelosok, seperti Boven Digoel di Papua dan Banda Naira di Maluku.
8. Djamaluddin Adinegoro (1904-1967)
Adik Muhammad Yamin ini juga sekolah di STOVIA. Tapi nggak seperti Ki Hajar Dewantara, ia sekolah di sana sampai lulus. Ia lalu cabut ke Berlin, Jerman, buat belajar banyak bidang—jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik. Adinegoro lumayan lama di Eropa, sekitar lima tahun.
Yang seru adalah perjalanan pulangnya dari Eropa ke Tanah Air. Ia naik kapal dan menyempatkan diri untuk jeng-jeng di beberapa negara, seperti Italia, Abyssinia (Ethiopia), Eritrea, India, dan Sri Lanka. Djamaluddin Adinegoro yang akhirnya menjadi salah satu tokoh pers Indonesia ini membukukan perjalanannya dalam “Kembali dari Perlawatan ke Europa.”