Pilihan EditorTravelog

Meneropong Indonesia dari Ritual Mappalili

Diskusi mengenai bagaimana melihat Indonesia  dengan utuh bersama Arya malam itu cukup dalam. Sembari menyeruput kopi saset dan menghisap rokok, kami berbicara banyak tentang pertanian, salah satunya mengenai konsep pertanian terbarukan yang menjadi perbincangan hangat. Kami juga membicarakan perihal bagaimana petani Indonesia bisa menyerapnya tanpa menghilangkan karakter pertanian lokal. Malam semakin larut dan kami menyudahi pembicaraan kami. Sebelum pulang, Arya mengajak saya untuk besok pergi melihat perayaan adat petani bernama mappalili.

“Ayo besok kita pergi liat mappalili ,“ ajak Arya.

Mappalili itu perayaan adat petani sebelum turun sawah, kan?“ tanyaku pada Arya sebab saya sering mendengar dan membaca mengenai adat tersebut namun belum pernah menyaksikannya secara langsung.

“Iya, besok pagi saya jemput,“ jawab Arya.

Mappalilli sendiri merupakan adat petani sebelum turun sawah di Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan yang setiap tahunnya dilaksanakan di dua kecamatan yaitu Sigeri dan Labbakkang. Secara etimologi, mappalili (Bugis) atau appalili (Makassar) berasal dari kata palili yang berarti berkeliling. 

Sedangkan pemaknaan sesungguhnya dari masyarakat setempat, mappalili adalah perayaan tanda dimulainya menanam padi di sawah dengan harapan dan doa untuk menjaga tanaman mereka dari sesuatu yang akan mengganggu atau menghancurkannya. Ritual ini sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Bugis.

Upacara ini dipimpin oleh bissu, yang juga berperan sebagai pemangku adat. Bissu merupakan manusia suci di kalangan masyarakat Bugis. Bissu dipercaya dapat menghubungkan komunikasi ke Dewata Sewwa’E (Tuhan) sehingga dipercaya sebagai manusia suci. 

Uniknya, bissu memiliki gender dari 4 penggabungan gender yaitu orane (laki-laki), makunrai (perempuan), calalai (perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki), calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan), dan golongan bissu sebagai gender ke-5. Bissu juga berperan sebagai pemangku adat untuk semua ritual masyarakat Bugis seperti pernikahan, pelantikan raja, pembersihan benda pusaka, aqiqah, dan lain-lain.

“Orang-orang sudah pada ke sawah?“ tanya Arya sewaktu kami tiba di Sigeri.

“Ayo kita susul mereka,“ ajakku pada Arya.

Ritual Mappalili
Bissu berjalan dekat arajang/Yusran Ishak

Saya dan Arya datang terlambat. Acara mulai pukul 08.00 tapi kami tiba pukul 09.00 lewat. Pemangku adat, tokoh masyarakat dan sebagian warga mengarak arajang (benda pusaka) ke sawah sebagai rangkaian pertama ritual mappalili. Arajang inilah yang di bawah rombongan mengelilingi (mappalili) Desa Sigeri. Arajang berupa rakkala (alat pembajak sawah) yang terbuat dari kayu. Alat itu dikeramatkan oleh warga setempat sebagai simbol peninggalan nenek moyang dalam membajak sawahnya dan menyiratkan pesan terima kasih pada alat yang diberikan Tuhan untuk mempermudah warga mengelola sawahnya.

Membawa arajang berkeliling juga merupakan suatu doa yang mengandung harapan semoga padi dan seluruh tanaman yang ditanam pada tahun itu dapat berhasil dan jauh dari serangan hama.

Sewaktu kami menyusul rombongan, warga lain yang tidak ikut, turun ke depan rumah mereka dan bersiap menyambut rombongan lewat. Mereka tidak menunggu dengan tangan kosong. Ember berisi air berjejer di setiap depan rumah warga yang akan dilewati rombongan pembawa arajang. Setiap penghuni rumah memegang gayung bersiap menyiram sewaktu rombongan melewati mereka. 

  • Ritual Mappalili
  • Ritual Mappalili
  • Ritual Mappalili

Bukan Cuma itu, siapapun yang lewat di sana wajib untuk di siram. Saya dan Arya yang hendak menyusul rombongan menjadi sasaran pertama. Meskipun naik motor, tetap saja saya basah disiram warga. Serapi apapun dan sebersih apapun pakaian sewaktu lewat depan mereka, tidak bakalan lolos dari siraman warga dan siapapun yang disiram tidak boleh marah. 

“Saya siram dulu ya nak, jangan marah ini sudah waktunya,“ ungkap ibu-ibu yang mencegat motor saya sambil menyiram. Saya sama Arya hanya bisa tertawa senang dengan itu.

“Kita menepi saja sambil menunggu rombongan lewat baru ikut,“ Arya menepikan motornya ke salah satu rumah kosong.

Acara siram-siraman ini sebagai bentuk syukur warga atas tibanya musim hujan. Makanya, ritual ini selalu dilaksanakan antara bulan November atau Desember. Acara siram-siraman ini juga menjadi bentuk rasa gembira warga atas turunnya hujan sebab seperti yang dikutip dari warisanbudaya.kemendikbud.id, ritual mappalili berasal dari legenda bahwa pada suatu waktu masyarakat ditimpa musim kemarau yang berkepanjangan. Tanaman tidak ada yang berhasil, warga pada saat itu menderita dan sakit. Musim itu dikenal patakbak rinring (musim paceklik). Hal itu juga dialami oleh raja sehingga semua persiapan makanan habis. Oleh karena itu, raja meminta ke semua penduduk agar berdoa pada Dewata (Allah SWT) memohon kebijaksanaannya menurunkan hujan supaya kehidupan mereka kembali makmur.

  • Ritual Mappalili
  • Ritual Mappalili
  • Ritual Mappalili
  • Ritual Mappalili

Tidak lama berselang rombongan pun tiba. Bissu sebagai pemangku adat berjalan di depan, disusul orang yang memikul arajang dan pemusik daerah yang sibuk memukul gendang dan meniup suling di atas mobil bak, kemudian disusul rombongan warga. Mereka berjalan kaki mengelilingi desa. Sambil berteriak, mereka disiram oleh warga. Para pemuda pun turut andil dengan saling siram air. Saya dan Arya ikut rombongan dan merelakan diri untuk di siram.

Rombongan menuju pasar desa, di sana terdapat satu pohon yang dikeramatkan. Mereka membawa arajang ke sana untuk kemudian sama-sama berdoa diringan dendangan gendang dan tiupan nyaring suling khas Suku bugis. Warga menari sambil berteriak seirama musik, yang lain menyiram dan gelak tawa pun pecah menyelimuti desa itu.

“Bro, Jepang boleh bangga dengan teknologi pertaniannya, Belanda boleh bangga dengan riset pertaniannya, Amerika boleh berbangga dengan alat-alat pertaniannya, Australia boleh bangga dengan keberhasilannya mengubah air laut menjadi air tawar untuk dipakai bertani, namun mereka tidak bisa mengalahkan petani kita dari hal bagaimana menghargai tanah, tanaman, dan mensyukuri hasil.”

“Negara itu maju dengan pertanian terbarukan yang mereka miliki namun ada bab yang hilang yaitu tanda terima kasih pada alam. Petani kita unggul di sana, buktinya setiap daerah Indonesia untuk setiap tahunnya kita masih bisa dapati ritual seperti ini. Pesta panen setiap tahunnya masih meriah melingkupi negara kita. Inilah kultur moral petani kita yang menjadi bekal untuk menjadi negara dengan sistem pertanian terbaik dunia di masa depan,“ celetukku pada Arya di atas motor. Arya pun hanya bisa cengengesan mendengar celotehanku tentang budaya petani Indonesia yang selalu ku banggakan.

Rombongan kembali berjalan setelah dari pasar desa, mereka menuju soraja (rumah adat) sebagai titik final acara mappaliliArajang kembali dikemas untuk disimpan kembali. Bissu memanjatkan doa sebagai penutup ritual. Berbagai makanan telah disiapkan, semua warga yang hadir dipersilahkan untuk makan bersama sebagai berkat dari perayaan ini dan acara pun selesai.

Mappalili memang jarang sekali terekspos di media nasional. Namun keberadaannya tetap eksis di kalangan masyarakat perkampungan. Hal itu wajar sebab budaya ini dilakukan oleh petani dan petani Indonesia hampir keseluruhan berada di desa. Mappalili memberikan saya kesadaran bahwa betapa dekatnya interaksi manusia dengan alam. Saling memberi manfaat, tidak boleh menyakiti dengan frasa eksploitasi, saling mengungkap rasa terima kasih dan paling utama adalah bagaimana cara bersyukur kepada Tuhan. 

Petani Indonesia masih jauh dari kata sejahtera, mereka masih banyak tergolong miskin, mereka masih banyak yang menderita namun rasa syukur mereka tak pernah putus, bukankah itu sesuatu hal yang sangat indah?

Manfaat yang diterima petani dari hasil pertaniannya mungkin kecil. Seringkali kita jumpai petani kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun terlepas dari itu, setiap tahunnya mereka berkumpul sebagai bentuk penolakan atas abainya mereka untuk tetap berterima kasih. Inilah bentuk kesederhanaan hidup petani, mereka selalu mengucap terimakasih pada sepetak tanahnya yang memberikan mereka kehidupan, sekecil apapun itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Hobi bepergian dan tertawa lalu menulisnya dalam buku harian. Sarjana pertanian namun lebih suka dianggap petani.

Hobi bepergian dan tertawa lalu menulisnya dalam buku harian. Sarjana pertanian namun lebih suka dianggap petani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Pulau Kapoposang dan Tawa di Balik Lautan (2)