IntervalPilihan Editor

Lara Tawa Nusantara: Indonesia dari Kacamata “Tidak Biasa”

Indonesia tidak semata bisa terdefinisikan lewat carut-marut politik di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Tidak. Indonesia adalah juga pelosok, daerah-daerah terpencil dan terlupakan walau di atlas dan Google Map namanya terpampang, tetapi kita tidak tahu banyak tentangnya. Indonesia, juga adalah wilayah-wilayah yang kini seakan asing, pulau-pulau terpencil yang jauh dari radar Jakarta, yang kerap dianaktirikan oleh pembangunan, tempat-tempat yang jarang diberitakan media, yang tidak terdengar dan tidak bersuara, wilayah-wilayah yang terdepak dan kerap disebut sebagai “Indonesia yang merana”.

Kita mengenal Jakarta dengan baik. Setiap sudut kotanya banyak diceritakan sebagai tragedi atau prestasi. Kita juga tahu bagaimana kondisi politik di Jakarta meskipun terpisah ratusan pulau. Tapi apakah kita mengenal dengan baik wilayah lainnya dari negeri yang luasnya sampai belasan ribu pulau, dan apakah mereka mendapat porsi yang sama layaknya Jakarta?

  • Lara Tawa Nusantara
  • Lara Tawa Nusantara

Lara Tawa Nusantara adalah sebuah jendela Indonesia dalam kacamata “tidak biasa” dan berusaha mengangkat daerah-daerah di Indonesia yang luput dari perhatian dalam pementasan bangsa. Buku setebal 349 halaman ini merupakan buku ketiga hasil karya Fatris MF dalam mengamati dan menjelajahi Nusantara, berisikan cerita perjalanan Fatris MF mengarungi tempat-tempat di Indonesia: Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Lombok, dan Bali; baik di pedalaman maupun pesisir. Fatris coba menangkap segelintir kisah kehidupan orang-orang yang tinggalnya jauh dari sorotan, dan mengajak para pembaca untuk merenungi apa saja permasalah bangsa ini.

Kalimantan adalah persinggahan pertama yang akan para pembaca temui kala membuka permulaan bab buku ini. Fatris mendesak masuk ke pedalaman Kalimantan Tengah dari Kota Pangkalan Bun, dari situ ia kemudian menuju sebuah perkampungan bernama Lopus, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau. Belum sampai di tempat tujuan, Fatris sudah mengajak kita untuk berpikir dan merenung. 

“Bayangan saya tentang hutan Kalimantan yang hijau, sirna. Saya hanya melihat dataran mahaluas yang dijejali oleh perkebunan sawit, begitu rapi, begitu membuat decak kagum: masa kejayaan perkebunan yang agung telah dimulai kembali setelah pemerintah kolonial hengkang kaki dari Nusantara.”

“Sepi bergelantungan di pokok-pokok tahun kelapa sawit yang membuat Borneo berubah dari ‘tertinggal’ sekarang telah ‘maju’. Entah maju ke arah mana, tidak satu kitab suci pun yang bisa menjelaskan perkara ini.”

Di Lopus, Fatris menemui orang-orang Dayak yang bernama unik–yang mungkin kita sering dengar tapi tidak terbayangkan menjadi nama orang—sebut saja Mesin, Ponten, Yamaha, dan Arab. Ia melihat rumah-rumah panggung dan menari bersama mereka, juga melihat keterikatan yang terjadi antara Beradu dan Fatris dalam sebuah mitologi yang diceritakan turun temurun oleh orang-orang Dayak Tomun.

Lara Tawa Nusantara

Beralih ke daerah Kalimantan Tengah lainnya, kali ini di Camp Leakey, melihat kehidupan di Camp Leakey yang menganut sistem hukum rimba. Kisah tragis hidupnya Kusasi dan perjalanannya menjadi raja camp, serta pertarungannya melawan Tom.

“Kusasi lahir di tengah belantara hijau di Palangkaraya… Sebuah tragedi telah membuatnya yatim piatu. Seluruh keluarganya tewas, mungkin dibunuh atau diculik. Atau mungkin juga telah menjadi arang, hangus terbakar… Bukankah kayu-kayu besar telah menjadi perkebunan , dan hasilnya disedot ke Jakarta sana? Bukankah di Jakarta orang-orang membutuhkan tisu untuk menyeka air mata dan ingus, bahkan belahan pantat mereka?”

Menyeberang ke Sulawesi, Fatris pergi ke pesisir-pesisir, mencari jawara lautan yang sudah kadung kesohor sedunia. Namun, yang didapatinya adalah kenyataan bahwa kapal legenda pinisi sudah habis masanya, ditelan oleh mesin dan solar. 

“Amanagappa, itu pinisi terakhir. Setelah itu tidak ada lagi yang namanya pinisi,” ujar Haji Safaring yang menerangkan kepada Fatris masa perahu angin sudahlah habis. Pada pelayaran Amanagappa itulah menurut Safaring, pinisi terakhir yang mengarungi samudera dengan angin. Selain pinisi, perahu tanpa mesin tercepat di dunia, sandek, juga mengalami masa-masa yang kurang mengenakkan selepas tenaga angin tidak terlalu dibutuhkan. Juga, cerita mengenai tradisi pemakaman mahal ala Toraja dan asa Mamasa yang bertahan dalam ajaran lama, Aluk Tomatua.

“Dulu, saya ingin masuk agama, diam-diam saya mengintip mereka sembahyang ke gereja. Ada yang tertawa, ada yang bicara, ada yang melihat telepon. Padahal pendeta mereka sedang memimpin doa. Mereka sedang sembahyang. Saya saja tidak suka melihat mereka sembahyang seperti itu, apalagi Tuhan.”

“Dan, satu kali saya pernah ke masjid. Suara dari masjid begitu merdu saya dengar saban pagi. Itu, di balik lapis sana, ada masjid. Saya turuni lembah, saya datangi rumah ibadah orang Islam. Sesampai di sana, saya lihat tidak ada orang. Hanya ada tape yang diberi pengeras suara. Apa orang Islam menyembah tape? Bagaimana cara menyembah tape?”

Lara Tawa Nusantara

Komentar jenaka dari para narasumber yang Fatris temui kadang mengundang gelak tawa, menahan seringai kecut bibir, menampar hati, dan menjadi bumbu penyedap cerita yang membuat para pembaca berpikir “ada benarnya juga”. 

Penjelasan Fatris tidak terbatas hanya apa yang ia lihat dan rasakan selama perjalanan, tetapi juga menyertakan catatan-catatan para pengelana terdahulu. Misalnya di Aceh ia menuliskan sedikit tentang ekspedisi militer Belanda ke Aceh yang tidak pernah tembus sampai akhirnya Snouck Hurgronje masuk dan merusak dari dalam. Tentang G.M. Veer Spyck, seorang pembantai yang takjub akan keindahan Danau Toba, atau tentang Tome Pires yang mencatat kerajaan kuno di Barus.

Catatan ini menjadi sebuah memoar perjalanan yang sempurna, yang tidak hanya menyirat soal tempat-tempat yang memang sudah kadung populer, tetapi juga mencoba melihat permasalahan yang terjadi di sekitarnya sebagai olok-olok. Sindiran, kritikan, satir, dan uneg-uneg adalah hal yang akan kita sering jumpai lembar demi lembar, baik dari Fatris ataupun orang-orang yang ia temui sepanjang perjalanan. Buku ini adalah sebuah manifestasi dari kelucuan, kegalauan, keseriusan orang-orang yang tidak terekspos di negeri ini, yang jika kita semakin tahu maka akan semakin mempertanyakan “kemanusiaan” dalam diri kita.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Resensi: Interval, Esai-Esai Kritis Tentang Perjalanan dan Pariwisata