Dua tahun lalu, 2016, ketika merindu suasana gunung, secara impulsif saya mengajak Roiz mendaki Gunung Prau.
Awal Maret kalau tidak salah. Musim hujan masih belum rela mengucapkan selamat tinggal, sementara kemarau masih enggan mengambil-alih tongkat komando.
Makanya tidak disarankan untuk bermalam di areal puncak. Petir masih sering menyambar, terlalu berbahaya untuk melewatkan malam di sana. Akhirnya, sampai sore kami malah nongkrong sambil minum kopi di Bu Djono.
Dini hari barulah kami mulai mendaki Gunung Prau lewat Patak Banteng. Saya dan Roiz ditemani Mamat, kawan kami yang asli Dieng. Lama tidak mendaki, saya agak kewalahan. (Pemanasan sepuluh menit seperti tak berarti.) Perut saya yang biasa mencerna nasi meronta-ronta karena hanya diisi dengan roti.
Ternyata, persiapan yang kurang dan perut yang kurang diisi membuat saya muntah sebelum Pos I. Baru kali itu saya muntah di gunung. Malu rasanya. Tapi, positifnya, insiden itu membuat saya sadar bahwa alam punya caranya sendiri untuk membuat manusia sadar akan kelemahannya.
Gunung Prau seperti milik sendiri
Setelah muntah dan badan saya terasa lebih enak, kami kembali melanjutkan perjalanan mendaki Gunung Prau. Saya hirup udara gunung, saya resapi keindahan gemintang dan lampu yang berpendar dari kehangatan rumah-rumah penduduk di bawah sana.
Sekitar dua jam saya konsentrasi meniti tangga-tangga alami itu, sampai akhirnya kami tiba di areal puncak Gunung Prau.
Sudah lama saya berangan-angan mendaki Gunung Prau. Tapi niat itu selalu urung setiap kali menemukan foto-foto keramaian gunung itu di media sosial. Untungnya, pas kami tiba di puncak, Gunung Prau sepi. Hanya ada beberapa tenda yang penghuninya masih di alam mimpi.
Kami mengambil posisi duduk paling strategis, menghadap pemandangan legendaris: Gunung Sindoro dan Sumbing. Sambil menunggu matahari terbit, saya mengeluarkan Trangia untuk menyeduh kopi.
Sedang asyik-asyik menunggu kemunculan matahari, beberapa orang fotografer mendekat dan mendirikan beberapa tripod di depan kami. Suara pagi jadi sahut-sahutan dengan bunyi rana yang dipencet tanpa henti.
Pemandangan indah saat menuruni Gunung Prau
Sebelum turun saya sempat jalan-jalan sebentar mengelilingi areal puncak Gunung Prau. Saya juga sempat lari-larian sendirian di Bukit Teletubbies dan agak lama mengambil foto bunga daisy khas Prau yang nama lokalnya agak mengguncang norma-norma ketimuran: lonte sore.
Matahari semakin tinggi. Saya dan kawan-kawan pun bersiap-siap untuk turun supaya tidak kepanasan di jalan. Karena hanya membawa logistik seperlunya, tak perlu waktu lama bagi kami untuk packing.
Pemandangan turun jelas beda sekali dari apa yang kami lihat waktu naik. Jika saat naik hanya ada gelap dan pendar lampu, dalam perjalanan turun kami melihat pemandangan yang lebih berwarna.
Di atas, langit biru. Sementara di bawah adalah lembah hijau yang dikapling oleh petak-petak kebun dan rumah-rumah warga. Tak jauh dari Telaga Warna, kolom solfatara mengepul tanpa henti. Mendekati base camp, kami berjalan menelusuri kebun kentang. Tak jarang kami melihat kentang-kentang yang habis dipanen ditaruh sekenanya dalam keranjang plastik atau karung di pinggir jalan.
Kami berpisah dengan Mamat di Base Camp Patak Banteng. Dari sana, saya dan Roiz naik angkot ke rumah Eko di dekat Telaga Warna.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.