Travelog

Mendaki Gunung Merbabu di Zaman Kejayaan “Milis”

Seandainya berangkat naik sepeda motor, pasti tak perlu waktu lama bagi kami untuk tiba di Base Camp Gunung Merbabu Jalur Selo yang legendaris. Kami tidak harus naik bis butut dari Yogyakarta ke Muntilan, lalu naik bis dengan kualitas sama ke Sawangan, duduk di atap angkutan pedesaan sampai Ketep Pass, terus kembali naik angkutan sampai sebuah pasar kecil dekat Selo, dan, akhirnya, menumpang mobil bak terbuka sampai pertigaan.

Tapi coret saja kata “akhirnya” di alinea atas. Keliru. Pertigaan itu bukan akhir perjalanan. Dari sana ke Base Camp Merbabu kami mesti lanjut melangkah sekitar satu setengah jam! Mendaki gunung, melewati lembah, melintasi jalanan berpagarkan dandelion, berbelok di kuburan, lalu meniti tanjakan pamungkas sebelum base camp.

Saat itu, pada hari-hari biasa izin pendakian masih diurus di base camp. Di sana kami istirahat sebentar sebelum mengisi wadah-wadah air. Masih tengah hari, tak perlu buru-buru. Lagipula, itu adalah pendakian perdana Indra. Jangan sampai ini jadi pengalaman buruk baginya. Saya dan PJ tak mau bikin dia kapok.

Ketep Pass/Indra

Itu hari ketika kami mendaki kabut tak henti menyelimut. Sesekali hujan turun rintik-rintik membasahi kaos kerah dan celana kargo saya. Hari itu saya bersyukur sekali membawa gaiter; air yang mengumpul di semak belukar pinggir jalur tidak merembes ke dalam sepatu.

Kami bertiga berjalan pelan menembus kabut, menjaga jarak agar selalu bisa dilihat oleh kawan di depan atau belakang. Kala itu, para pendaki Merbabu lebih senang menempuh Jalur Selo di malam hari, sebab tidak ada—atau sedikit sekali—pemandangan yang bisa dinikmati di Jalur Selo. (Dari base camp ke Pos 3, Jalur Selo Gunung Merbabu mirip trek dari Ranu Pane sampai Pos 3 Gunung Semeru.) Jadi, daripada meranggas saat mendaki siang, lebih baik kisut sedikit di malam hari.

Di samping batu raksasa

Sebenarnya kalau bisa malam itu kami berkemah entah di Sabana I atau II. Tapi nyatanya hari sudah gelap saat kami tiba di Pos 3. Jingga sudah hilang dihalau pekat. Lalu, perlahan-lahan, seperti ada yang memberi efek “fade in,” ribuan kunang-kunang bermunculan. Cahaya hijau-kuning stabilo yang mereka pancarkan mati-hidup-mati-hidup menyinari areal Pos 3, seperti dalam film Ghibli, Grave of the Fireflies.

Dengan enggan, kami meninggalkan cahaya kunang-kunang itu dan melanjutkan perjalanan. Dari Pos 3 trek semakin menanjak. Kanopi hutan semakin jarang. Kami terus berjalan dan berjalan sampai tiba di batu raksasa yang berada antara Pos 3 dan sabana. Meskipun hari sudah malam, karena sudah pernah melewati jalur itu sebelumnya, saya bisa melihat trek yang miring, licin, berdebu, dan penuh jurang-jurang kecil yang menganga.

Menjaga jarak aman/Indra

Saya ceritakan pada kawan-kawan soal medan yang harus dihadapi selanjutnya. Karena tidak ada yang dikejar, kami memilih untuk berkemah di batu raksasa itu. Kami tidak punya tenda. Bagi anak kuliah zaman itu, tenda adalah barang mewah yang hanya bisa dibeli oleh hobiis beruang dan kelompok pencinta alam (waktu itu saya belum didiklat). Untuk melindungi diri dari dingin malam, kami membuat “tenda A.” Kami gabungkan dua mantel kelelawar, menyangganya dengan sepasang ranting pohon, kemudian menahan ujung-ujungnya dengan tali Pramuka yang diikatkan ke batu atau semak belukar.

Malam itu sambil menyantap makanan entah apa kami menyandarkan diri ke batu raksasa dan menyimak kuliah PJ tentang bintang-bintang di angkasa. Dari langit, obrolan menjalar ke mana-mana, kemudian meredup, meredup, meredup, dilahap gelap.

Tenda itu bertahan sampai kami membongkarnya keesokan pagi. Warna langit sudah perak ketika kami mulai berjalan menuju Sabana I. Garis-garis Merapi di selatan semakin jelas dan warnanya makin spektakuler. Matahari muncul saat kami berjalan tertatih-tatih menuju kamp terakhir Sabana II.

Muncak tanpa kamera

Beberapa puluh meter setelah kamp terakhir, Indra mengibarkan bendera putih. Kami berusaha untuk menyemangatinya, mengatakan padanya bahwa puncak sudah tinggal selemparan batu. Tapi ia tetap tak mau. Sebelum beranjak turun, ia bilang akan menunggu kami di bawah pohon-pohon edelweiss itu.

PJ dan saya pun melanjutkan pendakian, melewati tipuan-tipuan, hingga tiba di Kenteng Songo. Bendera merah-putih yang berkibar di tengah-tengah tampak kontras dengan langit biru cerah. Di puncak tiba-tiba kami merindukan Indra, soalnya di antara kami bertiga hanya dia yang punya ponsel kamera.

Untungnya selain kami ada rombongan lain yang muncak pagi itu—dan membawa kamera. Kami melakukan pendekatan, menjelaskan persoalan yang kami alami, dan meminta tolong pada salah seorang dari mereka untuk memotret kami di puncak kemudian mengirimkan gambarnya lewat surat elektronik. Facebook, saudara-saudara, yang saat itu masih elegan, perlu diberi hiasan. (Keesokan harinya saya menerima surel berisi foto di puncak Gunung Merbabu dari orang baik itu.)

Sabana Gunung Merbabu Jalur Selo di Pagi Hari/Indra

Kami turun dengan ceria ke kamp terakhir, menjemput Indra, lalu memulai perjalanan turun ke base camp. Siang itu hujan turun sehingga trek menjadi lebih licin daripada ketika naik. Mau tak mau kami jalan pelan-pelan. Pun sudah pelan-pelan, tetap saja PJ jatuh berkali-kali (dan berhalusinasi bahwa ada orang yang menertawakannya dari pojokan setiap kali dia jatuh—bukan saya atau Indra).

Intinya, perjalanan turun lumayan menegangkan. Makanya rasanya lega sekali ketika akhirnya kami tiba di Base Camp Merbabu Jalur Selo, di peradaban. Sekitar jam 3 sore waktu itu. Setelah berhenti sebentar untuk melapor, kami turun semakin ke bawah, ke pertigaan Selo, sebab ada nasi rawon dan makanan-makanan lainnya yang begitu menggoda di sana.

Diselamatkan “milis”

Sebelum melanjutkan cerita, mari lihat ke belakang sebentar. Beberapa waktu sebelum naik Merbabu, saya sempat bertukar pesan via medium komunikasi komunitas yang saat itu sedang jaya, “milis,” dengan salah seorang senior beda fakultas. Kami juga bertukar nomor ponsel. Katanya di tanggal yang sama dengan pendakian saya, ia juga akan nanjak, tapi ke gunung sebelah, Merapi. Sampai saya dan kawan-kawan naik Merbabu, kembali turun, dan makan rawon sore itu, kontak dengan senior itu terlupakan.

Selesai makan, hari sudah gelap. Keterangan dari warga lokal membuat kami menyimpulkan bahwa hanya keajaiban yang bisa mengantarkan kami pulang ke Jogja malam itu juga. Kalau mau cepat, esok hari kami bisa mencegat mobil bak terbuka yang mengantarkan sayur ke Magelang pagi-pagi buta.

Tapi kami tak menyerah begitu saja. Dari warung makan, kami menyeberang ke sisi selatan jalan, duduk di emperan warung, menunggu, walau yang ditunggu adalah ketidakpastian. Saat kami sedang asyik duduk, sebuah sepeda motor, yang dinaiki dua orang pendaki, berhenti tak jauh dari kami. Mereka menghampiri dan bertanya apa yang sedang kami lakukan di sana. Kami jelaskan bahwa kami sedang menunggu angkutan untuk ke Jogja.

“Tadi di Base Camp Merapi ada anak-anak UGM yang mau turun,” ujarnya. “Kayaknya kalian bisa numpang. Tunggu sebentar di sini kami ke sana dulu.”

Sebelum ke Base Camp Merapi, kami bertukar nomor dulu. Di sinilah keajaiban terjadi: nomornya sudah ada dalam buku telepon ponsel saya. Ternyata—susah memang untuk memercayainya—pendaki baik hati itu adalah senior yang saya temukan di milis tempo hari! Tapi keajaiban tak berhenti di situ. Di dalam Kopata yang berisi anak-anak Fakultas Ekonomi UGM itu saya berjumpa seorang kawan yang dengannya saya pertama kali naik Gunung Merbabu beberapa semester lalu!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *