Travelog

Tercengang di Pasar Ngat Paingan

Menjelang pungkasan 2018, mata telusur menjumpai unggahan Instagram @agendasolo yang mengabarkan keriangan Pasar Ngat Paingan di Boyolali. Bulan berikutnya, saya iseng pergi ke kawasan lereng Merapi, bermaksud menelusuri keberadaan pasar warga yang digelar pada Minggu Pahing itu, sekalian, barangkali, dapat memperbarui khazanah pengetahuan sosioekonomi bertaut Kabupaten Saudagar Sapi.

Selama tinggal di Solo sejak 2014, saya lebih mengenal Boyolali dalam term susu segar yang tendanya tergelar di penjuru kota. Konstruksi tenda-tenda penyedia susu segar hampir selalu serupa—kain putih dengan paduan tulisan warna hijau dan biru menjadi penanda; nasi bandeng; beragam tusukan; sampai jajanan pasar. Pokoknya tenda itu sudah mirip toko serba ada. Ada segala rupa.

Sekitar pukul 09.30 WIB diri sampai di tempat tujuan, Dusun Dangean, Desa Gedangan, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, tentu saja berkat bantuan aplikasi telusur peta dan beberapa kali ajuan pertanyaan kepada warga di kiri-kanan jalan. Di Pasar Ngat Paingan sudah ada gelaran tari yang ditampilkan enam anak perempuan, kira-kira usia sekolah dasar.

Anak-anak yang menari mengenakan kostum unik/Rizka Nur Laily Muallifa

Anak-anak penari itu mengenakan aksesori yang terbuat dari hasil panen warga. Aksesori yang dipasang melingkar pinggang terbuat dari sawi, gelang tangan dan kaki dari daun pisang, kalung dari terong. Gelaran tari itu mendekonstruksi aksesori penari yang jamak kita jumpai. Di lingkungan tinggal di mana mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani, gelaran tari dengan pendayagunaan beragam hasil panen sebagai aksesosi itu menjadi kontekstual, menggelitik mata pandang wisatawan dari kota seperti saya.

Tren desa wisata

Zaman kiwari tak cuma meracuni masyarakat perkotaan dengan kegiatan pamer aktivitas makan atau sekadar nongkrong sambil pesan segelas kopi di sejumlah restoran dengan jenama tersohor. Masyarakat perkotaan juga jadi doyan pelesiran menjamah alam, mendaki gunung, berkemah di pantai, menelusuri kebun teh. Semuanya demi ikhtiar memperoleh foto berkualitas bagus untuk diunggah di pelbagai media sosial. Foto itu gengsi sosial. Hal-hal di luar kepentingan berfoto sudah diibaratkan elegi.

Sejak ponsel pintar dan internet bukan hal yang eksklusif-eksklusif banget, keberadaannya sudah sampai ke desa-desa. Tapi gaung penggunaannya tetap belum mampu mengalahkan kehidupan berponsel masyarakat kota. Masyarakat desa paling santer, ya, mengerti Facebook. Beberapa di antaranya ada pula yang mulai coba-coba Instagram. Itu pun keterhubungannya terbatas pada lingkungan satu rukun tetangga, desa, atau tingkat kecamatan yang mewujud dalam grup WhatsApp arisan.

Langgam Jiwa/Rizka Nur Laily Muallifa

Kendati demikian, selalu kita jumpai sosok yang cukup berwawasan di suatu lingkungan masyarakat. Menanggapi peristiwa gandrung berfoto yang melanda masyarakat perkotaan, sosok-sosok inilah yang akhirnya memprakarsai tumbuhnya sekian desa wisata. Hal ini juga terjadi di Dusun Dangean, sampai akhirnya muncul kegiatan bertajuk Pasar Ngat Paingan yang digelar tiap empat puluh hari sekali.

Pasar ini digelar di tempat berbeda menggunakan asas giliran, dari dusun satu ke dusun lain. Kebahagiaan seperti tumpah di satu tempat setiap kali pasar dihelat. Para warga kompak mengenakan pakaian adat seperti baju lurik, udeng, blangkon, kebaya, jarik, caping. Stan-stan dari bambu dan jerami didirikan memanjang di kanan-kiri jalan dusun. Ibu-ibu berbagi keceriaan saling mencoba makanan dan minuman yang mereka sajikan.

Ngat Paingan itu ujud kesadaran bersinergi. Warga berani mengeluarkan modal di awal baik untuk bergadang, meninggalkan sekejap kesibukannya menggarap lahan, juga berbagi antarsesama. Gagasan menjadikan Ngat Paingan sebagai ikon desa wisata tak mungkin lekas berbuah manis, bila salah satu indikatornya ialah banyaknya wisatawan yang berkunjung ke sana. Perlu proses yang diimbangi dengan konsistensi dan kejutan-kejutan berbasis lokal demi meraih mata simpati wisatawan.

Menumbuhkan Kebahagiaan

Stan Mukira/Rizka Nur Laily Muallifa

Kedatangan saya pada Desember 2018 lalu itu merupakan Ngat Paingan yang kedua. Beberapa wisatawan yang tampaknya datang dari kota menyisir tiap stan, menciptakan obrolan, memperkarakan dagangan, sebelum akhirnya membeli pelbagai makanan tradisional seperti pecel gendar dan dawet. Di kejauhan, saya melihat stan yang menjual minuman herbal. Mukirah, perempuan paruh baya empunya stan itu begitu energik. Kepada setiap orang yang melintasi stannya, ia menawarkan untuk mencicipi minuman herbal racikannya.

Segelas air berwarna cokelat beraroma jahe dengan serutan kelapa muda dan kacang goreng. Di Solo, kita mengenal minuman yang begitu itu dengan nama wedang ronde. Mukirah kemudian menawarkan bulatan-bulatan berwarna merah muda—besarnya mirip bulatan-bulatan pada wedang ronde—untuk melengkapi sensasi minuman herbal racikannya. Rupanya itu hasil eksperimen Mukirah. Di rumah, ia memiliki pohon buah naga yang sedang rajin berbuah. Selain langsung dimakan atau dibuat jus, sebagian buah naga itu dihancurkan untuk dicampur dengan tepung ketan. Adonan itu kemudian dibentuk bulat-bulat dan bagian dalamnya diisi gula aren.

Kami berbincang cukup asyik sampai akhirnya muncul laki-laki bercambang lebat mengenakan kaos bertuliskan National Geographic. Ia Mardiyono, suami Mukirah. Sejujurnya, saya tercengang dan lekas membuat praduga bahwa yang saya hadapi pastilah sepasang suami-istri yang cukup baik pengetahuannya. Dugaan saya tak keliru. Pasangan ini ternyata tengah memulai kegiatannya mengembangkan perpustakaan anak di samping rumahnya.

Perpustakaan anak yang dikelola Mardiyono dan Mukirah/Rizka Nur Laily Muallifa

Konsep perpustakaannya menyenangkan. Setiap kali ada anak yang ingin membaca buku, ia diwajibkan membawa satu botol kosong. Botol-botol kosong ini kemudian akan dimanfaatkan untuk menanam tumbuh-tumbuhan. Sebab, selain mengembangkan perpustakaan, pasutri ini juga memiliki kebun tanaman herbal. Setiap Jumat anak-anak yang berkunjung ke perpustakaan akan mendapatkan jus buah gratis. Buah-buah yang dijus itu berasal dari kebun miliknya.

Mukirah yang senang bergelut dengan dunia anak-anak ingin menularkan kegemaran membaca kepada belia-belia di desa tempat tinggalnya. Ia juga merancang program-program khusus seperti hari mewarnai dan menggambar. Pelbagai pengetahuan ia dapatkan dari kegemarannya membaca sejak muda. Pengalaman berbuku menciptakan kebahagiaan tersendiri bagi dirinya. Kebahagiaan itulah yang ingin ia tularkan kepada anak-anak di lingkungan tinggalnya. Tsah!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *