Travelog

Mencari Secuil Lega, Mengukir Kenangan Tak Terlupa di Pantai Watunene

Lagi-lagi Yogyakarta, kota yang tak pernah kehabisan ide untuk menghibur para penghuninya yang penat. Angkringan yang hangat dan ramah di kantong mahasiswa, Merapi yang gagah dan menyejukkan di sebelah utara, hingga garis pantai berpasir putih yang memanggil-manggil mereka yang letih. Dengan berdasar penat dan ingin healing sebelum mulai melakukan penelitian skripsi, saya dan delapan orang mahasiswa semester akhir lain bertolak ke selatan Yogyakarta. Pasir putih, udara asin, air laut yang menghangatkan kaki, dan matahari siang menjadi incaran kami saat itu.

Seusai mengambil sekotak pizza yang sudah dipesan, mobil sewaan kami mulai melaju menuju Jalan Wonosari-Yogyakarta yang tak pernah benar-benar sepi. Perjalanan terasa menyenangkan dengan obrolan ringan, candaan, dan lagu yang kami putar dengan volume maksimum dari ponsel. Kami bergerak tanpa tujuan spesifik, hanya ingin menuju pantai saja.

Pantai Wediombo, sebuah pantai dengan cekungan bebatuan menyerupai kolam menjadi tujuan kami setelah lima belas menit browsing dengan sinyal minim. Pasir putihnya membuat kami bersemangat. Namun sayang sekali, langkah kami dialihkan oleh semesta. Hujan turun perlahan. Pantai Wediombo punya aturan baru yang membuat kami pada akhirnya singgah ke tempat lain.

Perjalanan semakin seru dengan ketidakpastian.

Dari Wediombo kami bertolak ke jalanan sempit kanan kirinya adalah jurang. Jalan berbatu harus dilewati oleh Peter, julukan mobil sewaan berukuran besar yang kami paksa untuk menyusuri jalan Gunungkidul. Kami pun harus turun bergantian untuk melihat apakah jalan bisa dilalui oleh mobil dan berlabuh ke sebuah pantai.

Untungnya, perjalanan ini berbuah manis. Lautan biru membentang di depan mata, ditemani oleh gulungan ombak berbuih. Di bawah sana, terhampar sebuah pantai berpasir putih dengan bebatuan besar. Teman saya memberi tahu bahwa nama pantai tersebut adalah Watunene.

Jalan terjal menuju Pantai Watunene/Dyah Sekar Purnama

Perjalanan menuju garis pantai cukup sulit. Undak-undakan batu dengan tali nilon tipis sebagai pegangan harus kami langkahi perlahan. Bebatuan tersebut terasa tajam dan licin di bawah sandal yang kami pakai. Aduh, mengerikan, tapi menyenangkan juga! Seketika saat pasir putih sudah di dekat mata, rasa sakit hilang. Kaki ini langsung sanggup berlari untuk menginjak pasir selembut tepung tersebut.

Hangatnya pasir pantai, matahari yang mencubit kulit, aroma garam yang terbawa angin, dan gulungan ombak yang membasuh kaki otomatis memberikan efek ‘sembuh’ dalam hati kami. Tawa lepas dari bibir, senyum merekah tanpa malu-malu, saat kami mulai menyibukkan diri bermain air dan menikmati halusnya pasir. Batu karang besar berhiaskan lumut dan tumbuhan terlihat begitu apik di lensa kamera. Langit biru cemerlang membuat sukacita kami makin membara. Lebih lagi, tidak ada pengunjung lain di pantai yang cukup tersembunyi ini.

Keindahan Pantai Watunene dari ujung tebing/Dyah Sekar Purnama

Siang makin matang di atas kepala. Kami pun menghabiskan waktu di bawah teriknya matahari dengan melahap pizza dan meneguk soda yang tak lagi dingin. Cerita dan canda dilontarkan di sela-sela kunyahan, membuat kami di waktu tersebut terasa lebih akrab. Tak butuh waktu lama untuk kami berdelapan merasa kenyang. Pantai Watunene membuat kami terlalu bersemangat untuk bermain dan menelusuri keindahannya. 

Hari semakin sore dan kami berdelapan menikmati kegiatan kami masing-masing. Ada yang duduk santai dan meneduh, jalan berdua, swafoto dan memotret sekeliling, hingga berjalan jauh untuk menyusuri kawasan pantai. Saya tidak mau ketinggalan untuk menikmati keindahan pantai yang senyap ini. Saya dan dua orang teman bertolak ke utara, menuju bagian pantai yang belum dapat kami lihat dari titik awal kami berkumpul bersama.

Teriknya mentari di Watunene siang itu hanya membuat senyuman kami kian mengembang/Dyah Sekar Purnama

Pantai Watunene memiliki kemiripan dengan Pantai Wediombo. Di sini juga terdapat sejumlah ‘kolam alami’ yang terbentuk dari batu karang yang hampir terendam air laut dan membentuk cekungan menyerupai lingkaran. Ada cukup banyak cekungan cekungan menyerupai kolam di Pantai Watunene, mulai dari yang ketinggian airnya menyentuh betis hingga sampai ke dada. Kondisi alam Pantai Watunene yang asri membuat cekungan kolam ini menjadi tempat tinggal biota laut seperti ikan kecil, ganggang, dan kepiting. Selain itu ada juga juga bulu babi di antara karang-karang penyusun kolam. Di sisi lain, tampak tebing batu menjulang tinggi. Ada pula batu karang berlumut, dan bebatuan yang terlihat bagus saat saya foto.

Mentari yang bergerak ke ufuk barat membentuk siluet, lanskap petang itu begitu manis. Udara di sekitar lalu berubah dingin seiring tenggelamnya matahari. Kami bertiga berhenti di garis pantai yang dihiasi jajaran batu besar, air laut merendamnya hingga berlumut. Teman saya sibuk menjepret deretan bebatuan tersebut, mengomentari bahwa lanskap itu menyerupai negara-negara Nordik kala musim panas berakhir. 

Tenggelamnya matahari menandakan bahwa kami harus membereskan barang bawaan dan menyudahi aktivitas di Pantai Watunene. Tebing dan jalanan berbatu di depan tak akan nikmat untuk dilewati saat gelap. Kami mengucapkan sampai jumpa pada ombak yang menggulung makin ganas. Rasa gembira sekaligus rileks memenuhi hati kami selepas bertolak dari Pantai Watunene.Rasa cinta dipajang dalam kata-kata, layaknya sebuah artefak dalam museum, padahal kini hilang seperti tinta yang dibasahi terlalu banyak air mata. Paragraf tersebut terlintas di benak saya kala foto kami mendarat di laman recommended photos ponsel. Pengalaman menyenangkan, orang-orang yang mungkin tidak lagi menyenangkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Dyah adalah seorang mahasiswi semester akhir di Yogyakarta. Kadang mengerjakan skripsi, kadang menulis, kadang memikirkan ide aksi lingkungan, kadang jalan-jalan, kadang bermimpi.

Dyah adalah seorang mahasiswi semester akhir di Yogyakarta. Kadang mengerjakan skripsi, kadang menulis, kadang memikirkan ide aksi lingkungan, kadang jalan-jalan, kadang bermimpi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
“Menatap Lembayung di Langit Bali”