Minggu ini jagat maya Indonesia digegerkan dengan wacana kenaikan tarif tiket naik ke Candi Borobudur yang berkisar 750 ribu rupiah. Wacana ini berhasil memicu perdebatan panjang di media sosial mengenai pro dan kontra. Tidak sedikit yang mencemooh kenaikan harga tiket yang tidak manusiawi karena terlalu mahal, yang lainnya bersikeras untuk setuju dengan harga tiket yang mahal dengan alasan Borobudur merupakan warisan dunia. Benarkah dengan kenaikan harga tiket menjamin keberlangsungan candi yang terus-menerus tergerus?
Sepanjang ingatan saya, Borobudur selalu menjadi primadona bagi bangsa kita. 73 stupa yang membentuk satu kesatuan, yang apabila dilihat dari udara, memancarkan aura kuno nan megah di antara bukit-bukit yang berdiri di sekelilingnya. Bagi para peneliti, Borobudur adalah taman fantasi yang menyimpan banyak hal menarik untuk diteliti dan dijelajahi. Karena kepopulerannya jua lah akhirnya Borobudur menjadi “lahan basah” banyak pihak. Pemerintah, warga sekitar, peneliti, penganut Budha, pengusaha, dan wisatawan merasa ada hak untuk menata bagaimana seharusnya Borobudur tampil. Setidaknya, menurut Supratikno Raharjo dalam Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan Strategi Solusinya, ada 4 permasalahan yang umumnya menyelimuti kawasan cagar budaya di Indonesia hingga kini: penetapan status kawasan cagar budaya yang belum jelas, perencanaan pengelolaan kawasan yang tidak tuntas, penetapan zonasi yang kurang melindungi keseluruhan aset kawasan, konflik pemanfaatan dan pengelolaan.
Oleh karena itu, ketika isu harga tiket Borobudur naik, berita ini menjadi berita nasional yang menghebohkan. Banyak yang menyerang pemerintah dengan menyebut kenaikan ini sebagai hal yang semena-mena, merenggut banyak harapan wisatawan lokal yang ingin menikmati kemegahannya dari jarak dekat. Pemerintah berdalih isu ini masih sebatas angin lewat yang masih harus didiskusikan lagi secara mendalam, pemerintah juga memberi penjelasan bahwa hanya wisatawan yang ingin naik ke puncak Borobudur yang akan dikenakan biaya tersebut.
Masalah utama pada candi
Masalah utama pada Borobudur adalah masalah klasik yang dialami semua tempat wisata: kelebihan pengunjung atau yang dalam bahasa kerennya overtourism. Dalam sebuah paper yang berjudul Rencana Pengelolaan Pengunjung Borobudur menuliskan data dari Analis Konsultan ITMP (Integrated Tourism Master Plan) idealnya dalam sehari hanya 128 orang yang dalam bersamaan dapat menikmati area candi dengan nyaman, itupun dengan catatan harus adanya pemulihan. Kalau dalam satu kunjungan hanya 128 orang, berapa jumlah maksimalnya dalam sehari? Masih berdasarkan sumber yang sama, maksimal per harinya hanya 1792 orang.
Bagaimana dengan jumlah kunjungan sebenarnya? Sebelum pagebluk pada 2019, data kunjungan yang tercatat sebanyak 3.989.839 orang per tahun atau sekitar 11.000 orang per harinya.
Aktivitas manusia menjadi penyebabnya?
Sebagai bangunan yang sudah berusia lebih dari seribu tahun, Candi Borobudur yang telah dua kali dipugar juga mengalami degradasi yang cukup signifikan semenjak pemugaran kedua pada 1973-1983 oleh pemerintah dan UNESCO baik itu yang bersifat fisik maupun kimiawi. Meskipun kondisi bangunan relatif stabil, beberapa faktor pendukung lainnya yang ikut berperan dalam degradasi bangunan candi adalah faktor biotis dan abiotis
Aktivitas manusia yang berjubel itulah yang akhirnya meninggalkan aus, utamanya pada tangga, stupa, lantai stupa teras, dan stupa induk (Kajian Perbaikan Tangga Candi Borobudur) yang pada akhirnya sedikit demi sedikit mengikis dan mengurangi nilai arkeologisnya. Kalau dibiarkan, dalam 50 tahun ke depan, keadaan candi akan jomplang dan tidak lagi bagus secara estetika. Dalam sebuah tesis yang berjudul Minimalisasi Dampak Negatif Pemanfaatan Candi Borobudur Sebagai Objek Wisata, disebutkan bahwa tingkat keausan pada tangga dan lantai bisa mencapai 0,1 – 0,32 cm per tahunnya dengan asumsi rata-rata kunjungan per tahunnya adalah 3 juta orang.
Lha, jumlah kunjungan kok bisa mengakibatkan aus, memang hubungannya apa? Dalam Kajian Struktur Permukaan Halaman Candi Borobudur dan Korelasinya Dengan Keausan Batu Tangga menjelaskan bagaimana hubungan aus dengan aktivitas manusia. Pasir-pasir yang menempel di alas kaki pengunjung bisa menimbulkan gesekan yang dengan jumlah yang besar dapat menimbulkan keausan secara signifikan. Solusinya, masih menurut penelitian yang sama, adalah penataan dan pengendalian pasir halaman, penggunaan alas kaki khusus, pembuatan lapisan pelindung, dan yang terakhir tentu saja pengendalian jumlah pengunjung. Terbaru, penggunaan sandal upanat akan diwajibkan ketika menaiki candi. Sandal ini didesain khusus untuk melindungi candi dari keausan.
Tiket mahal, sebuah solusi?
Apakah tiket yang mahal akan mengurangi jumlah kunjungan? Secara kasat mata, sudah pasti. Harga tiket yang mahal mungkin akan menyeret jumlah wisatawan ke jumlah kunjungan yang ditargetkan menurun. Kenaikan harga memang diperlukan, melihat nilai historisnya serta dengan bandingan-bandingannya dengan nilai serupa (Kawasan Angkor Wat, Machu Picchu, Piramida Giza). Juga, pembatasan pengunjung yang mereka terapkan untuk menghindari kericuhan pengunjung dan memperpanjang usia bangunan yang sudah rentan. Harga tiket yang tinggi ditengarai akan menyaring kunjungan secara efektif. Tapi apakah 750 ribu adalah angka yang pas?
Menurut hemat saya, pembatasan kunjungan cukup dengan kuota dan integrasi pemesanan tiket daring. Soal harga, kisaran 350-400 ribu rupiah pun sebenarnya sudah menyaring orang-orang karena kisaran tersebut pun sudah bikin orang untuk “pikir-pikir.” Bagusnya lagi, kenaikan harga diimbangi dengan kenaikan kualitas, wisatawan pulang tidak dengan tangan kosong; bonus buku, cinderamata, kenang-kenangan, dan yang paling penting pengetahuan tersampaikan. Manfaatnya tentu tidak hanya terasa untuk pemandu lokal yang terpakai, tetapi juga dagangan sekitar ikut dilariskan. Bagaimana kalau dibuat trip Borobudur semisal untuk tiga hari? Ide yang bagus, tapi apakah fasilitas pendukung sudah terintegrasi dan siap?
Bagaimana yang tidak bisa membayar? Pendistribusian pengunjung mungkin bisa menjadi solusinya. Dimulai dengan membangun narasi bahwa melihat Borobudur dari kejauhan sama bagusnya dengan melihat Borobudur dari dekat. Pemerintah daerah juga harus mempercepat pembangunan di kawasan sekitar, terutama akses dan kesiapan desa sekitar menjadi daerah penyangga wisata Borobudur. Kondisi terkini, masyarakat sekitar masih kurang mendapat perhatian karena peran mereka belum signifikan dalam pengelolaan daerah wisata. Bisakah kedepannya pendistribusian ini menjadi kunci untuk menyebar jumlah pengunjung yang tetap banyak tapi tidak terpusat hanya di candi saja?
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.