Terlibat dalam Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman adalah pengalaman berharga bagiku. Tak tanggung-tanggung, aku ikut ekspedisi sampai dua kali.
Pada ekspedisi pertama aku dikirim ke sebuah pulau di bagian utara Indonesia yang jadi saksi bisu sepak terjang Jenderal Douglas MacArthur saat Perang Dunia II, yakni Morotai. Ekspedisi kedua di paruh kedua 2018 kemarin, yang akan kuceritakan kali ini, mengantarkanku dan kawan-kawan dari Yogyakarta ke sebuah pulau di bagian selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT): Sabu. Pulau Sabu adalah pulau terbesar di Kabupaten Sabu Raijua.
Kami dikirim ke sebuah desa bernama Lobohede.
Di Pelabuhan Biu, Sabu Timur, kami dijemput oleh sang kepala desa, Bapak Dikson Haupia, dan seorang penggiat literasi di Pulau Sabu, Bang Echonk, kemudian dibawa naik truk selama sekitar dua jam ke Lobohede.
Sepanjang jalan, karena tiba sekitar pukul empat dini hari, kami terpana melihat langit malam Pulau Sabu yang penuh bintang. Barangkali beginilah langit kota-kota besar sebelum diarsir oleh polusi. Sesampai di desa, kami terkekeh mendapati bahwa rambut kami semua putih dan kaku. Maklum saja, masih banyak jalan di Pulau Sabu yang belum disentuh pembangunan.
Cium hidung di Desa Lobohede
Desa Lobohede adalah desa pesisir di sisi barat daya Pulau Sabu. Kehidupan komunitasnya berlangsung sebagaimana lazimnya masyarakat tepi laut. Namun ada satu hal yang membuat Desa Lobohede beda dari desa-desa lain, yakni mata pencaharian utama penduduknya: bertani rumput laut.
Begitu tiba, kami diantarkan ke Balai Desa Lobohede yang akan menjadi pondokan kami selama dua minggu di Sabu untuk bersilaturahmi, belajar, serta berkegiatan bersama masyarakat. Beberapa orang warga sudah menunggu kami di sana. Senyum, salam, dan jabat tangan secara spontan saling dipertukarkan. Di sana untuk pertama kalinya aku melihat tradisi cium hidung.
Penasaran, seorang teman bertanya pada Bapak Dikson soal tradisi cium hidung. Ia menjelaskan bahwa cium hidung adalah tradisi yang mengandung filosofi luhur dari para leluhur. Setelah cium hidung, seorang tamu akan dianggap keluarga oleh sang tuan rumah. Saat ada perselisihan keluarga maupun antarwarga, setelah pihak-pihak yang bertikai cium hidung persoalan akan dianggap selesai.
Usai mengobrol dengan Bapak Dikson, kami mulai membereskan barang bawaan. Dari truk, barang-barang kami masukkan ke dalam pondokan.
Rampung mengurus barang bawaan, kami disambut secara resmi oleh warga. Tak banyak yang hadir saat itu. Menurut Bapak Dikson, siang hari begini warganya sedang berada di pantai. “Kebanyakan … petani rumput laut,” ujarnya. Menarik, batinku.
Acara seremonial itu pun selesai. Sebagian kawan beristirahat, tapi ada pula yang mandi. Aku memilih duduk di beranda balai desa, memantik sebatang rokok, lalu melayangkan pandangan ke sekitar. Saat itulah mataku menangkap sebuah objek yang bikin penasaran.
Rumah dari pohon lontar
Karena penasaran, aku pun mengajak beberapa orang kawan untuk menghampiri objek itu, sekalian ke pantai. Ternyata itu adalah sebuah rumah. Kebetulan, waktu kami tiba, di sana sedang ada seorang mama bersama anaknya. Mereka sedang tekun menenun kain tradisional khas Sabu.
Dari mama itu aku tahu bahwa rumah seperti ini disebut “rumah daun” oleh orang Sabu. Hampir seluruh bagiannya berasal dari pohon lontar. “Seluruh bagian lontar digunakan, dari batang, daun … pelepahnya,” jelasnya. Daun lontar kering yang disusun rapi dan diikat dengan pelepah lontar dijadikan atap. Batang pohon lontar, bisa ditebak, dijadikan tiang-tiang penyangga rumah.
Saat mentari bersinar terik seperti siang itu, berdiam di rumah daun terasa sangat nyaman. Semilir angin khas daerah pesisir yang menerobos ke dalam rumah serupa pendingin ruangan di resor-resor mewah. “Dulu rumah seluruh warga … rumah daun,” sang mama bercerita. “Namun semakin ke sini rumah daun mulai ditinggalkan … berganti rumah modern.”
Cerita klasik.
Dari rumah daun, kami meneruskan perjalanan ke pantai. Meskipun pantai sebenarnya tak terlalu jauh dari balai desa, hanya sekitar lima menit jalan kaki, kompor kosmik yang bersinar terik di atas membuat perjalanan itu terasa lama. Barangkali Einstein benar soal relativitas: “Letakkan tanganmu di kompor panas selama satu menit, pasti rasanya seperti satu jam. Duduklah dengan gadis cantik selama satu jam, pasti rasanya seperti satu menit.”
Pantai Lobohede tak ada duanya. Pasirnya putih, lautnya biru, dan ombaknya yang berdebur tak bosan-bosan berkejaran dengan buih-buih putih. Bak sekumpulan anak kecil yang baru pertama kali melihat pantai, kami berlarian di Pantai Lobohede. Ama dan ina yang siang itu ada di pantai barangkali keheranan melihat kami, dewasa tanggung yang bertingkah seperti anak kecil.
Berkenalan dengan petani rumput laut
Lelah bermain air, kami balik kanan maju jalan. Tapi, bukannya langsung pulang, kami tergoda untuk mendatangi salah satu dari sekian gubuk milik petani rumput laut yang berjejeran di bibir pantai. Di sana, para petani rumput laut sedang sibuk beraktivitas. Ada yang sedang menjemur hasil panen, sebagian lain membereskan tali, dan ada pula yang sedang mengikat bibit rumput laut. Mereka juga tampaknya sedang sibuk berdiskusi. Sayang sekali, karena tak mengerti bahasa Sabu, aku tak paham apa yang mereka katakan.
Melihat kami yang tampak malu-malu, salah seorang di antara mereka menjemput bola, menyapa, “Hai, mari mampir.” Sapaan itu berasal dari seorang laki-laki setinggi sekitar 160 cm, berkulit gelap, dengan rambut yang sudah agak memutih. Jika ditaksir-taksir, umurnya barangkali sudah pertengahan 50 tahun. Namanya, belakangan aku tahu, adalah Akor. Bapak Akor adalah petani sekaligus pengepul rumput laut.
Setelah ngobrol beberapa lama dengan Bapak Akor, akhirnya, malu-malu, kuberanikan diri bertanya, “Apakah saya bisa coba mengikat bibit, Bapak?” Ia lalu dengan senang hati mempersilakan, sembari memberikan beberapa tali untukku dan kawan-kawan.
Kami pun mengikuti gerakan tangan Bapak Akor yang tampaknya sudah sangat terampil mengikat bibit rumput laut. Bibit-bibit yang akan diikat itu, menurut penjelasan Bapak Akor, sudah dipotong-potong dari rumpun utamanya menjadi seukuran telapak tangan.
“Bibit-bibit ini asalnya dari Pulau Raijua, pulau kecil di sebelah Pulau Sabu,” jelas Bapak Akor. Petani biasa membelinya seharga Rp80.000/karung. Nantinya, setelah diikatkan pada tali sepanjang 15 meter dan diletakkan di laut, bibit-bibit itu bisa digunakan dua sampai tiga kali, tergantung kondisinya.
“Kalau sudah muncul penyakit seperti ada putih-putih di batang utamanya, tandanya rumput laut sudah tidak baik untuk digunakan dan harus diganti dengan bibit baru,” imbuh Bapak Akor. Kalau masih tetap dipakai akan sangat berisiko, sebab penyakit itu membuat batang rumput laut menjadi rapuh sehingga mudah patah.
Kultur rumput laut Desa Lobohede
Ternyata mengikat bibit rumput laut harus dilakukan dengan penuh perasaan, tidak boleh terlalu kuat namun juga tak bisa longgar. Bagi kami yang baru pertama kali mengikat bibit, ini terasa sulit. Namun, bagi orang-orang Desa Lobohede yang sehari-hari bergelut dengan rumput laut, kegiatan ini sudah semudah bernapas.
“Para petani sudah berangkat dari pagi selepas sarapan, Mas,” Bapak Akor bercerita. “Para suami berangkat lebih dulu, sedangkan para istri [tinggal dulu di rumah] menyiapkan perbekalan untuk makan siang di gubuk sembari menyiapkan keperluan anak-anak [untuk] pergi ke sekolah.” Sepulang sekolah, anak-anak akan menyusul ke gubuk untuk membantu orangtua mereka.
Anak-anak yang belum sekolah juga diajak ke gubuk, sebab dari pagi sampai matahari terbenam rumah akan kosong; semua penghuninya sibuk mengurus rumput laut. Siang itu, kulihat anak-anak itu sibuk menjadi anak-anak. Ada yang berlari-larian, ada pula yang menerbangkan layang-layang, sebagian lain bermain bola, namun ada juga yang membantu orangtuanya menjemur rumput laut.
Senang rasanya melihat mereka bisa menghabiskan masa kanak-kanak dengan bermain dan tertawa lepas bersama kawan-kawan sebaya.
Cukup lama kami mengikat bibit sambil berbincang dengan Bapak Akor dan petani-petani rumput laut lainnya. Tanpa sadar, matahari sudah mulai turun ke peraduannya. Seisi gubuk pun mulai berkemas. Setengah rela kusudahi kegiatan mengikat bibit rumput laut. Ikatanku, setelah diamat-amati, jauh dari kata rapi. Semoga saja saat diletakkan di laut bibit-bibit itu tidak lepas dihempas gelombang.
Minum “sopi” untuk melepas lelah
“Mas, sebentar. Pulangnya bareng bapak saja. Biar yang lain duluan saja,” ujar Bapak Akor saat kami pamit undur diri. Setelah kawan-kawanku beranjak, keluarlah sebuah botol air mineral berukuran sedang. Tapi, dilihat-lihat, isinya bukan air mineral.
Bapak Akor menuangkan air itu ke dalam gelas lalu menyodorkan padaku. Aku pun meminumnya. Rasanya agak manis dan terasa hangat di badan.
“Yang barusan Mas minum namanya sopi,” jelas Bapak Akor. “Itu arak tradisional di sini, Mas.”
Ia lalu bercerita bahwa dulu, sebelum ada rumput laut, masyarakat Lobohede menyambung hidup dengan menjadi penderes air lontar untuk dijadikan gula Sabu dan—tentunya—sopi. Namun, lama-kelamaan, karena pekerjaan menderes air lontar tak lagi menguntungkan, orang-orang Lobohede pindah haluan ke budidaya rumput laut.
Waktu aku di Pulau Sabu, harga jual rumput laut kering bisa mencapai Rp20.000/kg. Jika satu tali mampu menghasilkan 7 kg, bisa dibayangkan berapa keuntungan yang bisa dihasilkan Bapak Akor yang punya sekitar 700 tali.
Rumput laut Desa Lobohede biasanya dibeli oleh para saudagar Makassar. Datang membawa bahan-bahan semacam beras ke Pulau Sabu, mereka pulang membawa rumput laut kering dan hewan ternak seperti kambing.
Sambil bercerita, gelas sopi tak berhenti diputar. Akhirnya, obrolan sore itu ditutup saat gelas pamungkas diserahkan padaku. Agak sungkan sebenarnya. Namun, demi melihat raut wajah mereka yang menyiratkan keikhlasan, gelas terakhir itu kuselesaikan juga. Saat mencoba berdiri, bumi terasa berputar.
Sebelum aku beranjak pulang ke pondokan, Bapak Akor berpesan, “Besok kemari lagi ya, Mas. Teman-teman yang lain diajak. Besok Bapak mau panen rumput laut.”
“Siap, Pak,” jawabku bersemangat.
Memanen rumput laut
Siang hari kedua di Lobohede, aku mengajak kawan-kawan ke gubuk Bapak Akor. Saat kami tiba ia sedang bersiap-siap memanen rumput laut.
Karena hanya ada sebuah sampan gabus, hanya dua orang yang bisa ikut. Kata Bapak Akor, di tengah sana arus lumayan deras. Akhirnya dua kawanku yang berbadan ramping yang ikut memanen. Aku menunggu saja di pantai sembari bermain dengan anak-anak kecil.
Selang sebentar, Bapak Akor dan kawan-kawanku kembali membawa segunung rumput laut. Dengan sebatang kayu, kami semua lalu bersama-sama mengangkat hasil panen ke pinggir, lalu menjemurnya pada tiang-tiang kayu di depan gubuk. Rumput laut akan dibiarkan di tiang itu sampai kering, sebelum dikemas dalam karung untuk ditumpuk dalam gubuk atau langsung dijual pada pengepul.
Kemudian, Bapak Akor mengambil sebuah serok jaring seperti yang lazim kita jumpai di kolam pemancingan. Kami mengikutinya berjalan ke petak rumput lautnya yang berada dekat dengan pantai. Dengan serok itu, ia mengambil patahan-patahan rumput laut yang “tercecer” untuk dikumpulkan dan terus dijemur. Kesempatan itu juga ia gunakan untuk mengecek kondisi rumput laut sekaligus menyianginya.
“Nah, seperti ini, Mas, penyakitnya,” Bapak Akor memanggil kami, menunjukkan contoh penyakit putih-putih yang kemarin diceritakan olehnya. “Kalau sudah begini biasanya langsung diambil karena berisiko patah saat ombak datang.”
Setelah Bapak Akor rampung mengumpulkan patahan dan mengecek petak rumput lautnya, kami pun beranjak pulang. Saat berjalan beriringan menuju gubuk, Bapak Akor tiba-tiba memanggil kami. Ternyata ada gurita.
“Ada yang berani tangkap?” tantangnya. Melihat tidak ada di antara kami yang berani, Bapak Akor dengan sigap menangkap gurita itu. Kawanku memegangnya, aku tidak. Geli rasanya melihat tentakel-tentakel gurita yang lengket itu.
Gurita itu pun kami lepas dan kami berlalu ke gubuk. Ternyata patahan-patahan rumput laut yang terkumpul lumayan banyak, satu jaring penuh. Kami pulang dengan hati senang. Baru dua hari di Lobohede, sudah banyak sekali ilmu baru yang kami dapat.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
2 komentar
Sungguh amaziing mas!! pankapan boleh la diajak ke sana. Ceritamu totalitas bngt, bisa bikin org yg baca penasaran.
[…] Kamarmu di lantai dua serta paling dekat dengan tangga utama. Kata pepatah, buku adalah jendela dunia—dan aku bisa menyaksikannya di sana. Kamarmu biasa kuhampiri untuk mengobrol dan berdiskusi. Tak jarang kamu menawarkan secangkir kopi yang kau giling sendiri. Kau pasti ingat bahwa sebelum naik, ada kata kunci yang selalu kutanyakan lewat WhatsApp: “Open, Mas?” Itu wajib, mengingat kesibukanmu membaca dan menulis—aku tak mau mengganggumu. Aroma khas tembakau tingwe menjadi identitas kamarmu. Kau sangat terbuka untuk mendiskusikan banyak hal, dari mulai filsafat, agama, politik, lingkungan, perjalanan, perkopian, pertembakauan, perkuliahan, organisasi, dan masih banyak lagi. Dari dirimu aku mengenal dunia kata. “Tulis,” katamu, “tulislah apa pun yang kau lihat, kau rasakan, kau cita-citakan, kau keluhkan.” Godaanmu membuatku melahirkan sebuah tulisan, “Memanen Rumput Laut di Pulau Sabu.” […]